BOOK REVIEW
Judul: Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
Penulis: Seno Aris Sasmito, S.H.I., M.H
Penerbit : Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
 Bekerja sama dengan PRENADAMEDIA GROUP
Terbit: 2020
Cetakan : Pertama, September 2020
Buku karya dari salah satu dosen fakultas syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, bapak Seno Aris Sasmito, S.H.I., M.H yang berjudul "Hukum Perkawinan Islam di Indonesia" ini merupakan jenis buku daras/buku ajar. Dimana setiap tahunnya Fakultas Syariah selalu membuat program pencetakan buku jenis ini. Ditahun 2020, Fakultas Syariah bekerja sama dengan penerbit PRENADAMEDIA Group untuk mencetak 10 buku, salah satunya buku ini. Buku ini secara umum sangat penting dalam pengembangan keilmuan terutama di bidang hukum perkawinan. Dalam buku ini membahas secara umum aspek hukum perkawinan nasional, yang kemudian dilanjutkan membahas mengenai hak dan kewajiban suami istri, putusnya perkawinan, hukum perceraian, dan diakhir membahas berbagai aspek dan problematika dalam hukum perkawinan di Indonesia.
Buku ini didesain untuk dijadikan modul perkuliahan/ buku ajar yang dapat memudahkan pembacanya memahami isi materi yang disampaikan. Yang menarik dari buku ini adalah adanya pembahasan awal tentang tujuan pembelajaran. Tujuannya adalah guna membantu pembacanya untuk mengetahui kompetensi apa yang akan dibahas melalui penjelasan pendek. Dengan demikian, meski buku ini diperuntukkan kepada mahasiswa untuk pembelajaran kuliah. Namun, siapa saja yang membacanya dapat mempelajari tentang hukum perkawinan Islam di Indonesia dan berbagai hal yang berkaitan dengan rumah tangga.
Kata "perkawinan" berasal dari kata "kawin" dan secara istilah berarti suatu perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Sedangkan dalam fikih pernikahan memiliki arti suatu akad untuk mengikat diri antara laki-laki dan wanita untuk menghalalkan suatu hubungan antara keduanya sebagai dasar keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan secara khusus dalam pasal tersendiri terkait tujuan perkawinan hanya saja menyebutkan dalam pengertian perkawinan dijelaskan bahwa membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam menekan pada salah satu pasal yang berbunyi ; "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawadah, dan rahmah."
Kata "perkawinan" berasal dari kata "kawin" dan secara istilah berarti suatu perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Sedangkan dalam fikih pernikahan memiliki arti suatu akad untuk mengikat diri antara laki-laki dan wanita untuk menghalalkan suatu hubungan antara keduanya sebagai dasar keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menjelaskan secara khusus dalam pasal tersendiri terkait tujuan perkawinan hanya saja menyebutkan dalam pengertian perkawinan dijelaskan bahwa membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam menekan pada salah satu pasal yang berbunyi ; "Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawadah, dan rahmah."
Rukun dan syarat dari perkawinan  adalah satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Dalam KHI Pasal 14 menyebutkan rukun perkawinan antara lain :
a.Calon suami
b.Calon istri
c.Wali Nikah
d.Dua orang saksi
e.Ijab kabul
Dalam KHI menegaskan bahwa mahar tidak masuk ke dalam rukun nikah, tetapi mahar menjadi kewajiban yang harus diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan atas kesepakatan kedua pihak. Syarat -- syarat melangsungkan perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu :
a.Persetujuan kedua calon mempelai.
b.Adanya izin dari kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.
c.Usia calon mempelai sudah 19 tahun.
d.Antara calon suami dan calon istri tidak dalam hubungan darah.
e.Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
f.Tidak sedang dalam masa iddah.
Dalam suatu perkawinan kedua belah pihak tidak boleh ada halangan. Artinya untuk melangsungkan perkawinan terdapat larangan-larangan tertentu. Menurut pasal 39, bahwa larangan sebuah perkawinan antara pria dan wanita disebabkan oleh :
1.Pertalian nasab
2.Pertalian susuan
3.Pertalian kerabat semenda
Melakukan pencegahan terhadap sebuah perkawinan yang akan dilangsungkan bisa saja dilakukan apabila melanggar syarat-syarat perkawinan sebagamana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pencegahan ini bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang ternyata perkawinan itu hakikatnya dilarang. Oleh karenanyam sebelum perkawinan itu terjadi, sebaiknya dicegah terlebih dahulu. Pihak yang dapat melakukan pencegahan pada prinsipnya adalah keluarga dari mempelai. Selain itu, pencegahan perkawinan juga bertujuan untuk menegakkan rukun dan syarat yang ada pada perkawinan yang hakikatnya sebuah perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal abadi.
Perjanjian perkawinan merupakan persetujuan yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan saling berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan, dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah (PPN). Dalam melakukan perjanjian perkawinan diharuskan memenuhi persyaratan yaitu :
a.Tidak bertentangan dengan syariat Islam atau hakikat perkawinan.
b.Tidak ada unsur paksaan dari kedua belah pihak mempelai.
c.Isi perjanjian harus jelas, sehingga tidak menimbulkan kesalah pahaman.
Setelah membahas pengertian, rukun dan syarat perkawinan, kemudian selanjutnya membahas mengenai hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban merupakan suatu hubungan yang berkaitan dalam perkawinanoleh suami maupun istri. Hal ini dijalankan guna menciptakan kehidupan perkawinan yang  harmonis. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (pasal 30). Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum, suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga(pasal 31). Suami istri harus memiliki tempat tinggal yang ditentukan oleh keduanya (pasal 32). Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormat setia dan memberi bantuan lahir maupun batin(pasal 33). Suami wajib melindungi istrinya, istri mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, jika suami atau istri melalaikan kewajiban maka dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan(pasal 34).
Apabila hak dan kewajiban  yang dijelskan dalm UU No.1 Tahun 1974 dilakukan secara seimbang oleh suami dan istri dalam membangun rumah tangga. Maka akan tercipta perkawinan yang harmonisa (samawa). Suatu kehiidupan rumah tangga yang harmonis akan membawa keluarga lebih tenang dan khusyuk dalam beribadah.
Secara terminology nafkah berarti sesuatu yang wajib diberikan oleh suami untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya. Dalam hal ini nafkah dibagi menjadi dua yaitu nafkah materiil dan nafkah nonmaterii, adapun yangtermasuk nafkah materiil yaitu nafkah pakaian dan tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan, dan biaya pengobatan. Pengaturan nafkah dalam KHI dijelaskan dalam pasal 80 ayat 4 yang menyatakan bahwa :
a.Nafkah, kiswah. Dan tempat tinggal.
b.Biaya rumah tangga, perawatan dan pengobatan, biaya pendidikan .
c.Kewajiban suami berlaku setelah ada tamkin dari istrinya.
Meski nafkah menjadi kewajiban suami atas istri namun istri juga dapat membebaskan kewajiban suaminya untuk menafkahinya.
Selanjutnya mengenai putusnya perkawinan dalam istilah fikih dikenal dengan istilah "talak" yang berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian. Menurut Sayid Sabiq talak adalah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinann dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Dalam KHI bab XVI Pasal 1 mendefinisikan bahwa "talak adalah ikraar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131." Selanjutnya istilah talak ini dalam UU Perkawinan disebut dengan istilah "Perceraian". Dasar putusnya perkawinan datur dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 38 yang menjelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena kematan, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan.
Menurut KHI Pasal 114 putusnya perkawinan dapat terjadi karena perceraian atau talak. Bentuk-bentuk atau macam talak menurut KHI antara lain :
1.Talak raj'i, talak yang ke satu atau dua. Dalam talak ini suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.
2.Talak ba'in sughra, dalam talak ini tidak boleh rujuk tetapi bleh akad baru dengan mantan suaminya meski dalam keadaan iddah.
3.Talak ba'in kubra atau talak ketiga. Talak jenis ini tidak dapat rujuk kecuali bekas istrinya sudah melakukan perkawinan dengan orang lain terlebih dahulu sebelum rujuk dengan mantan suaminya.
4.Talak sunni, talak yang dibolehkan atau talak yang dijatuhkan kepada istri saat sedang suci dan tidak dicampuri pada saat suci.
5.Talak bid'i, talak yang dilarang. Melakukan talak kepada istri saat sedang haid atau saat keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada saat keadaan suci.
6.Khulu', perceraian yang terjadi karena permintaan istri dengan memberikan tebusan kepada suami.
7.Li'an, seorang suami yang menuduh istrinya telah melakukan perzinaan ataupun istri yang menolak tuduhan ari suaminya maka harus dilakukan talak Li'an.
Sementara itu, menurut Undang-undang Perkawinan macam-macam perceraian ada dua yaitu :
1.Cerai talak, adalah seorang suami yang ingin menceraikan istrinya ke Pengadilan agama dengan mengajukan permohonan untuk mengadakan sidang dan ikrar talak.
2.Cerai gugat, adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada suami melalui Pengadilan Agama.
Dari macam-macam cerai diatas ada beberapa alasan perceraian menurut KHI, yaitu :
1.Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar  disembuhkan.
2.Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut tanpa alasan.
3.Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4.Salah satu pihak melakukan kekejaman berat yang membahayakan pihak lain.
5.Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
6.Antara suami istri terdapat perselisihan yang tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7.Suami melanggar taklik talak.
8.Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya permasalahan dalam rumah tangga.
Pada dasarnya perceraian itu tidak dilarang selama alasan perceraiannya berdasarkan dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang. Perceraian memiliki akibat hukum yang luas, baik dalam keluarga bahkan dalam hukum kebendaan dan hukum perjanjian. Akibat putusnya perkawinan antara lain yaitu :
1.Terhadap hubungan suami istri.
Perceraian memberikan konsekuensi yuridis yang berhubungan dengan status suami istri, maka suami istri bebas menikah lagi dengan siapapun. Dengan ketentuan pihak istri memperhatikan masa iddah nya.
2.Terhadap pembagian harta bersama.
Masalah harta disebabkan karena munculnya harta bersama. Biasanya apabila sudah terjadi perceraian akan timbul masalah hukum tentang pembagian harta bersama akibat dari perceraian tersebut.
3.Terhadap nafkah.
Nafkah adalah kewajiban bagi suami untuk istri dan anaknya. Akan tetapi, saat terjadi perceraian kewajiban tersebut tidak berlaku lagi sesuai syarat dan ketentuannya berdasarkan keputusan Pengadilan.
4.Terhadap anak.
Orang tua yang bercerai tidak serat-merta lepas dari tanggung jawab mereka terhadap anak-anaknya. Terutama untuk anak yang masih dibawah umur. Berdasarkan ketentuannya bahwa pengasuhan anak ditentukan atas keturunan yang sah. Adapun anak yang dilahirkan diluar perkawinan maka hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarganya.
Perkawinan campuran adalah antara seorang pria dan wanita yang berbeda kewarganegaraan atau salah satu berkewarganegaraan Indonesia. Dalam Pasal 58 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan dapat memperoleh kewarganegaraan suami atau istri dan dapat juga kehilangan kewarganegaraan menurut cara-cara yang telah diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan Pasal 56 Perkawinan yang terjadi diluar negeri dengan salah satu pihak adalah orang asing, maka prosesnya wajib mengikuti hukum yang berlaku di negara tersebut. Perkawinan tersebut dianggap sah, dan saat kedua pasangan berdomisili di Indonesia perkawinan keduanya harus diakui keabsahannya. Dalam hal ini sesuai dengan kaidah hukum perdata internasional yaitu lex loci celebration, bahwa perkawinan campuran keabsahannya ditentukan oleh ketentuan hukum negara perkawinan dilangsungkan.
Di Indonesia pun demikian, apabila perkawinan campuran terjadi di Indonesia. Maka, proses perkawinannya juga mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan kaidah hukum  perdata internasional yaitu locus regit octum. Bahwa perbuatan hukum itu dikuasai oleh hukum dari negara dimana perbuatan itu terjadinya. Akibat Hukum Perkawinan Campuran
a.Kewarganegaraan, dengan adanya perkawinan campuran ini kemungkinan yang akan terjadi yaitu suami atau istri akan mendapatkan kewarganegaraan mengikuti salah satu pihak. Sebaliknya, suami atau istri juga dapat kehilangan kewarganegaraan sebelumnya setelah melakukan perkawinan campuran ini.
b.Harta Benda, Â harta benda yang diperoleh selama perkawinan disebut dengan harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing pihak dan harta yang diperoleh dari hadiah/warisan menjadi kekuasaan masing pihak selama para pihak tidak menentukan ketentuan lain. Harta bawaan adalah harta yang diperoleh oleh masing-masing pihak sebelum terjalinnya sebuah perkawinan. Pada Pasal 21 ayat 3 UUPA Menyatakan bahwa warga negara asing tidak diperbolehkan memiliki hak milik atas tanah meskipun diperolehnya melalui akibat dari harta bersama, yaitu percampuran harta dalam perkawinan.
c.Status Anak, anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran memperoleh hukum publik maupun hukum perdata dari ayahnya. Untuk mengetahui status anak dari perkawinan campuran dapat berpedoman pada UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958.
Problematika dalam perkawinan selanjutnya yaitu nikah siri. Nikah siri adalah pernikahan yang dilangsungkan diluar pengetahuan pegawai pencatat nikah atau kepala KUA sehingga pasangan tersebut tidak memiliki akta nikah yang sah. Nikah siri juga dikenal dengan istilah pernikahan bawah tangan. Keberadaan nikah dibawah tangan juga berdasarkan sah atau tidaknya pernikahan sebagaimana yang tercantul dalam pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UU Perkawinan yaitu :
a.Pernikahan tidak memenuhi rukun dan syarat nikah dalam Islam, yakni akad nikah yang terdiri dari calon mempelai, wali nikah, dan dua orang saksi.
b.Pernikahan tidak memenuhi syarat yang dibuat oleh pemerintah untuk memperoleh kepastian hukum.
c.Pernikahan tidak diumumkan atau tidak dirayakan di hadapan khalayak umum.
Itsbat nikah adalah penetapan atas perkawinan seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam ajaran agama Islam. Suda terpenuhi semua rukun dan syarat-syarat nikah, tetapi pernikahan yang terjadi ini belum tercatatkan oleh pejabat pencatat nikah atau kepala KUA . itsbat atau penetapan merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama guna mendapatkan kekuatan hukum oleh pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H