Mohon tunggu...
Alot Andreas
Alot Andreas Mohon Tunggu... Guru - Saya pensiunan guru, pernah mengajar bhs Inggris di sebuah SMA swasta di Jakarta, sebelumnya mengajar di beberapa SMP sbg guru honorer (baik di Maumere maupun di Kupang . Pernah menjadi kepala SMP Negeri di Bola-Maumere; memfasilitasi berdirinya beberapa ormas tkt lokal, pernah menjadi ketua umum alumni Unika Widya Mandira Kupang di Sikka; pernah menjadi MC (bhs Inggris) dan interpreter dalam festival budaya tahunan NTT. Dalam bidang pendidikan, saya pernah lulus IELTS thn 1993 utk ke Flinders University tapi tdk diberangkatkan tapi msh sering update score profisiensi sy via bbrapa kali TOEFL. Sekarang dipercayakan sebagai Ketua Dewan Pembina sebuah yayasan baru (Sandadin-Evergreen Foundation) berlokasi di Maumere. Gagal diberangkatkan ke Flinders University, pd thn 2006-2008 saya lanjutkan studi tkt master di Surabaya (bid. Teknologi Pembelajaran).

Hobi saya menulis dan tentu saja termasuk membaca. Untuk bisa menulis dengan baik tentu saya wajib banyak membaca. Sesuai hobi saya itu maka dalam keseharian saya, saya dipandang sbg orang yang amat "immersed in my work/hobby" oleh orang di sekitar saya. Tapi mereka juga menyukai suara saya ketika saya membawakan lagu2 'slow rock", kadang dangdut, sesekali juga reggae. 'Sense of humor' tentu saja saya miliki juga karena 'variety is the spice of life'. Tidak bisa monoton saja. Meski biasa nampak sibuk, saya tetap punya jadwal jalan kaki, gerak badan ala aliran 'self-defence' yg pernah saya geluti, kunjungi kebun di kampung sekaligus utk bersilaturahim (katanya 'bersilaturahmi' kurang cocok istilahnya, lebih sopan 'silaturahim'). Dengan begitu, saya bisa menyerap informasi berbentuk 'data primer' dibanding hanya 'nanya' ke orang tertetu. Oh iya, saya memang amat tertarik dgn informasi seputar desa/kampung yang bagi saya menjadi komunitas yang lebih banyak "mirisnya" daripada "cerita suksesnya." Sudah laaammmaaa sekali saya suka prihatin dengan kehidupan 'wong deso' yang tak banyak berubah meski sudah begitu banyak rejim yang berkuasa dengan berbagai program pro-rakyatnya. 'Ikan, sih. Bukan kail yang diberi ke mereka!', kata beberapa teman saya. Memang kita tidak bisa menafikan penerimaan berbagai jenis dana dari pemerintah tapi itu cukup utk makan bebrapa pekan saja. Sehingga ketika mendengar salah seorang capres sekarang bilang "Tidak boleh lagi ada orang miskin di Indonesia!", saya menjadi gusar. Mana ada negara yang tak ada orang miskinnya. Selalu ada; cuma pendapatan perkapitanya yang beda dengan negara yang lebih miskin. Topik favorit lainnya, di bidang pendidikan, khususnya ttg cara belajar (termasuk good parenting), lebih khusus ttg cara belajar bhs asing. Topik lain tentu saja berkaitan dgn politik, kemudian sejarah dan budaya, kemudian sedikit filsafat dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tetap Kritis dalam Damai

7 Juni 2024   03:33 Diperbarui: 10 Juni 2024   08:58 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tetap Kritis Dalam Damai

Cerpen: Alot Andreas

Hari itu udara memang terasa panas memanggang. Meski senja sudah semakin dekat, kegerahan belum juga mau pergi. Matahari juga nampak tak mau segera menyelinap di balik gunung. Sinar sorenya masih cukup menyengat. Suasana kampung usai pemilihan umum pilpres dan legislatif hari itu belum juga berkurang keramaiannya. Orang masih lalu-lalang. Juga kendaraan. Kumpulan orang-orang yang sedang berbincang --bincang masih nampak di mana-mana.

 Kebetulan jarak antara tiap TPS tidak seberapa jauh sehingga suara petugas KPPS yang sedang mengumumkan sah tidaknya coblosan terdengar bersahut-sahutan. Sambil menyaksikan proses penghitungan di sebuah TPS, nampak warga duduk berkelompok. Tiga sampai lima atau enam orang tiap kelompok. Sudah bisa ditebak isi pembicaraan mereka. Beberapa kelompok nampak berbicara dengan volume sedang-sedang saja. Hanya satu kelompok yang terdiri dari beberapa pemuda yang berbicara dengan suara nyaring diselingi gelak tawa. Kebetulan agak jauh dari TPS. Tapi kadang terasa mengganggu juga.

Nampak Ken, tukang ojek yang memang berperangai riang dan suka menguraikan pembicaraannya secara panjang lebar sedang beraksi. Ia sudah berkali-kali dibatasi oleh teman-temannya untuk bicara soal dukungan dan pilihan politik. Tapi tetap saja ia memaksakan diri untuk bicara. Ommy yang lebih akrab dengannya berusaha membujuknya dan ia akhirnya dengan sukarela patuh juga.

Penghitungan hasil perolehan suara untuk pilpres dan DPR serta DPD telah berakhir agak lama. Sekarang sedang dihitung perolehan suara untuk DPRD tingkat dua atau kabupaten. Setelah barusan selesai penghitungan untuk DPRD tingkat satu. Tiba-tiba suasana menjadi sedikit ramai oleh kehadiran Tapian dan Mar, rekan Ommy dan Ken. Keduanya baru saja berkeliling mencari tahu perolehan suara caleg jagoan mereka. Tentu juga mencaritahu hasil suara perolehan untuk pilpres.

"Paslon nomor 2 unggul di 3 TPS sekaligus. Persis berurutan. TPS 1, TPS 2, dan TPS 3. Sementara di TPS 4 smpai 7 diungguli oleh paslon nomor 1 dan 3. Keduanya berbagi, dua-dua. Itupun secara berurutan juga", urai Tapian begitu menghampiri tempat duduk Ken dan Ommy.

 "TPS 4 dan 5 dimenangkan oleh paslon 1 dan sisanya dimenangkan paslon nomor 3," sambung Mar.

Ommy dan Ken awalnya hanya manggut-manggut. Tapi sesaat kemudian keempatnya seperti dikomando, serentak beranjak meninggalkan TPS 4 tempat mereka mencoblos barusan.

Keempatnya memang mendukung paslon capres dan cawapres yang berbeda; juga caleg yang berbeda. Sejak lama mereka sudah saling tahu kartu masing-masing. Hanya Tapian saja yang masih abu-abu. Tak terus terang menyatakan mendukung yang mana.

Tak terasa mereka sudah tiba di kafe om Bonny. Memang mereka sengaja meninggalkan kendaraan roda dua mereka di sekitar TPS tadi. Jarak tempuh hanya hampir seratusan meter dari tempat mereka berbincang tadi.

"Selamat sore anak-anak muda bangsa. Selamat datang di kafe Randiwu!" Om Bonny  memang biasa begitu. Tak harus orang baru. Pengunjung lama pun selalu disapa seperti itu.

"Randiwu! Bertemu atau datang bersama ke suatu tempat. Kalau datang sendirian, tidak cocok untuk kafe saya ini." Ucapan ini pun sudah jadi ucapan rutinnya untuk setiap pengunjung. Pengelola kafe milik pak Husni, salah seorang anggota legislatif incumbent ini memang unik. Meski hanya pengelola tapi nama Bonny selalu disebut bersamaan dengan nama kafe.

Tidak itu saja. Om Bonny tak lupa menunjuk ke arah tulisan yang terpampang pada dinding kafe, bertuliskan "Rendezvous". Tulisan itu disertai penjelasan kecil di bawahnya, persis seperti yang baru saja Om Bonny ucapkan. "Bertemu atau datang bersama; kalau sendiri, tidak cocok."

Tanpa diberitahu, Om Bonny sudah dengan sigap menghidangkan minuman sesuai selera keempat pemuda itu. Kopi dengan setengah gula. Unik memang. Kedengaran mirip seperti setengah gila.

"Makan siang gratis plus susu gratis! Saya pikir kurang bagus! Dari segi penanaman mental kerja masyarakat, kurang mendidik."  BLT, PKH, ... Bansos saja, ... orang sudah cenderung malas!" Ken memulai pembicaraan. Ia pendukung berat paslon 3.

"Pikirkan saja demi kesehatan anak-anak. Demi kesiapan menuju Indonesia Unggul 2045. Keluarga miskin perlu dibantu", sergah Mar. Selama ini memang ia selalu ikut setiap ada kampanye paslon 2 ke mana-mana.

"Setuju, bantu. Tapi baiknya kalau ada jangka waktu. Misalnya 2 atau 3 tahun. Sambil bantu, kembangkan ketrampilan apa, begitu. Biar masyarakat bisa mandiri. Jangan sampai masyarakat tergantung terus pada bantuan pemerintah."  Ken memberi alasan.

"Memang harus begitu. Pemerintah harus berdayakan masyarakat. Bukan memanjakan begitu saja." Ommy yang sekubu dengan Ken seolah memperkuat argumen mantan rekan kerjanya di sebuah koperasi itu.

"Bukan manja! Itu membantu! Mereka sudah tidak mampu, kita biarkan saja. Itu berarti pemerintah tidak peduli sama rakyatnya." Kata Mar mempertahankan pendapatnya. Tidak sampai di situ saja, ia lanjut berkata:

"Dalam pembukaan UUD'45 ditulis, negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpang darah Indonesia. Jadi, beri makan itu konstitusional."

 "Iya, benar... konstitusional. Tapi harus realistis. Tahu, tidak ... ?  Untuk biaya BLT, PKH, Bansos dan bantuan lain itu semua diambil dari hutang. Hutang kita sudah besar. Kita mau ngutang lagi untuk beri makan siang gratis dan susu gratis?" tanya Ken serius.

"Sejauh yang saya dengar, ... Negara hidup dari pajak. Biaya operasional negara ini diambil dari pajak. Ada macam-macam pajak", Mar tak mau kalah.

"Nah itu! Kamu tahu negara ini hidup dari pajak. Berarti pajak bumi dan bangunan pun akan naik. Pajak jalan atau pajak kendaraan pun naik. Jadi justru tidak membantu masyarakat. Malah mencekik masyarakat yang hidupnya masih jauh dari kata cukup!" sergap Tapian.

"Jangan cepat-cepat persalahkan pemerintah. Kita yakin pemerintahan yang baru tidak akan menaikkan pajak sembarangan." Doni yang baru bergabung langsung ikut nimbrung. Sepupu Mar ini sejalan dengan pilihan politik Mar. Dengan pengalamannya pernah bekerja di kantor pajak, Doni mencoba menjelaskan. Tapi dipotong begitu saja oleh Ommy.

"Anda tahu pasti?! ... Pasti? Pemerintah nanti tidak naikkan pajak?"

"Niat baik pemerintah itu harus kita junjung tinggi, sobat", timpal Doni.

"Iya, ... tapi dengan dana begitu besar untuk makan siang gratis dan susu anak sekolah gratis, dari mana uangnya kalau pemerintah tidak naikkan pajak?" Ommy tetap ngotot. Pajak, menurutnya, tentu akan naik.

"Makanya dengar dulu, ..." Doni menaikkan volume suaranya.

"Coba ... coba jelaskan! Kamu yakin, tidak naik?!"

"Dalam urusan pajak itu, ... kita kenal dengan nama Tax Ratio. Itu adalah ukuran kinerja penerimaan pajak dalam suatu negara. Pajak Ratio itu adalah perbandingan antara Total Penerimaan Pajak dengan PDB atau Produk Domestik Bruto suatu negara." Doni menguraikan.

"Apa itu PDB segala macam itu?" Ommy tak sabar.

"Ya, ... dengar dulu. PDB itu total nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara, dikurangi nilai barang dan jasa yang digunakan dalam produksi", lanjut Doni.

"Terlalu rumit, Don. Sampaikan saja bahwa akan diatur pajak sedemikian rupa, sehingga kita bisa biayai makan gratis dan susu gratis untuk anak." Mar mengajak Doni untuk tidak melanjutkan uraian yang tidak sederhana itu.

Mendengar itu, Kensi tak sabar. Dengan setengah berteriak ia menyela pembicaraan Mar. Sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah Mar.

"Apa, ... kamu yang biayai?! Itu urusan negara! Kamu bicara seolah-olah kamu pemerintah yang tahu semua hal itu?!"

"Begini, ... dengar dulu baik-baik. Ini memang amat teknis. Tidak mudah dicerna otak semua orang. Paling kurang sudah ada pemahaman dasar tentang perhitungan produk domestik bruto. PDB adalah metode yang dipakai untuk menghitung pendapatan nasional suatu negara", Doni ingin meneruskan uraiannya, biar lebih jelas lagi. Pemahaman pajaknya memang mumpuni.

" Sudahlah Doni ... Kita semua ... " Mar mengangkat kedua tangannya sambil telapak tangannya diarahkannya ke bawah. Memberi signal agar tenang. "Kita tidak mudah memahami hal itu. Yang penting, sederhananya, ... negara biayai semua itu dengan bersumber dari pajak. Dan pajak itu memang ada macam-macam." Mar mencoba menurunkan tensi yang sedang meninggi. 

" Coba, ... kita kembali dulu pada soal kemungkinan pemerintah menaikkan pajak tadi. Betul atau tidak?" Tapian terus mengejar.

"Begini, ...", Doni bermaksud lanjutkan uraiannya. Tapi disambar saja oleh Mar.

"Yang saya dengar itu, tingkatkan Tax Ratio dan turunkan Tax Rate." Mar pun terus berusaha membela pemerintah.

"Jangan-jangan ... subsidi BBM pun dipangkasi. Artinya harga bensin, minyak tanah, naik." Tapian terus mendesak. Ingin tahu apa pajak betul dinaikkan.

"Teman dengar dulu, ... Dalam urusan pajak itu, ada banyak upaya untuk naikkan Tax Ratio antara lain dengan menaikkan Pajak Penghasilan Orang Pribadi." Mar beharap, dengan penjelasannya, Tapian bersama Ken dan Ommy bisa paham dan reda.

"Itu!... Itu!...Pajak Penghasilan apa tadi, ...apa tadi, ... nanti naik!" teriak Tapian. Memang yang ingin diketahuinya, lagi-lagi soal pajak naik atau tidak.

"Itu maksudnya pajak penghasilan orang yang kaya. Termasuk pajak kekayaan. Jadi pemerintah pajaki orang kaya supaya bisa santuni orang miskin." Doni tak kalah gesit menangkis serangan Tapian. Ia tahu betul kalau Ken, Ommy dan Tapian sejak lama memang menjadi kader partai yang kini belum berhasil alias kalah dalam perhitungan cepat hasil pilpres.

Namun Tapian sepertinya belum terpuaskan. Nada bicaranya masih tetap tinggi. "Betul begitu?" Kamu tahu persis begitu?!"

"Ya, pokoknya pemerintah tidak akan mempersulit rakyatnya." Mar mengiyakan. Maksudnya biar suasana lebih dingin lagi. Tapi muncul lagi sambaran dari Ommy dan Ken.

"Jangan percaya begitu saja! Kita bisa percaya kalau sudah mendengarnya langsung dari paslon yang menang pilpres. Jangan hanya mengumbar janji tapi akan membebankan negara." Seru Ommy lantang. Dalam hati ia bingung juga. Kalau siapkan makan gratis dan lain-lain itu lalu tidak menaikkan pajak-pajak, tidak masuk akal. Atau ...? "Pasti ngutang!" Cetusnya dalam hati.

"Ah, ...ribet! Rumit! ...  Saya tidak bisa mengerti semua itu!" Teriak Ommy.

"Rumit ... ?! Apa maksudmu?" Ken menyambar.

"Ya pasti ngutang-lah! Kalau pajak naik, bebankan rakyat lagi! Kalau subsidi dihilangkan, rakyat juga yang rugi. Pasti ngutang! Pasti ngutang! Untuk beri makan gratis dan lain-lain!"

Teriakan Ommy mengagetkan semua pengunjung "Randiwu". Setelah kedatangan Ken, Ommy, Tapian dan Mar ke kafe itu disusul Doni, pengunjung lain pun ramai mendatangi Randiwu.

Om Bonny, orang yang biasa nampak tenang dan berDNA riang tak sampai hati menyaksikan semua itu. Perdebatan makin panas. Masing-masing pihak mempertahankan pendapatnya. Sampai cenderung untuk tidak saling dengar lagi. "Mereka amat terpengaruh dengan situasi politik negara akhir-akhir ini." gumamnya dalam hati.

"Sebaiknya kita undang orang yang lebih tahu bicara untuk kita. Kita mendebatkan sesuatu yang kita sendiri tidak terlalu tahu. Bagaimana anak-anak bangsa? Setuju dengan usul om Bonny ini?"

"Om Bonny, ... memang kami tidak terlalu tahu PDB, Tax Ratio, dan lain-lain itu. Tapi secara sederhana saja ... Katanya selama inipun negara sudah punya banyak hutang. Saya dengar hutang pemerintah sampai dengan tahun lalu, 2023, saja sudah sebesar DELAPAN RIBU T lebih. Dan rencana tahun baru ini, 2024 akan ngutang 600 T lagi. Fanstastis!"  Suara Kensi bergetar.

"Dalam dolar atau rupiah?" sela Tapian. Pendukung paslon nomor 1 ini kadang nampak seperti netral tapi kadang jelas memihak. Ada caleg dukungannya di salah satu partai koalisi pendukung paslon 1. Itu sebanya ia harus condong ke sana.

"Apa itu delapan ribu T, 600 T?" tanya om Bonny. Seperti berebutan bicara dengan Tapian.

"Rupiah! ... Dan saya dengar untuk program makan gratis, susu gratis inipun dari ngutang! Banyak janji beri bantuan seperti ini, pasti "ngegas" lagi utangnya!" Teriak Kensi sengit. Tapi tak lupa ia menjawab pertanyaan om Bonny tadi tentang T, singkatan dari Trilyun.

Doni yang memang punya misi membela kubu mereka terus berusaha masuk dalam diskusi panas itu.

"Itu kemungkinan besar diambil dari  meng-efisien-kan semua biaya operasional negara selama ini. Juga meningkatkan penerimaan pajak yang selama ini belum maksimal. Ada yang belum bayar pajak sesuai kewajibannya. Jangan-jangan kamu juga yang sering telat bayar pajak atau tidak sama sekali!", kata Doni.

Kensi, Ommy dan Tapian tidak bisa terima pernyataan Doni. Hampir bersamaan mereka teriaki Doni.

"Kalau sudah mengumbar banyak janji, jangan lagi mencari-cari kesalahan rakyat! Kamu juga harus bicara soal penguasaan tanah negara yang ratusan ribu hektar oleh orang-orang tertentu sementara rakyat kesulitan mendapat lahan untuk bertani!" Ommy protes keras.

"Juga korupsi itu! ... Korupsi itu menguras uang negara dan hanya mengenyangkan segelintir orang!" teriak Ommy dibenarkan Kensi.

 Tak disadari kelima pemuda itu, ... ternyata sudah banyak pemuda lain yang menghampiri kafe milik pak Husni itu. Suara tinggi bersahut-sahutan dari debat panas mereka ternyata menjadi pemicu kehadiran gerombolan pemuda itu. Entah apa yang mereka tangkap dari pembicaraan kelima pemuda itu. Yang jelas, mereka seperti tak puas dengan bahan pembicaraan Ommy dengan keempat sobatnya di kafe Randiwu itu.

"Pajak tidak boleh naik! ... Subsidi listrik, juga subsidi BBM jangan dihilangkan!" Teriak para pemuda dalam gerombolan itu.

  "Jangan hanya untuk beri makan siang gratis, beri susu gratis... lalu naikkan pajak! Hilangkan subsidi!" Teriak yang lain.

Tanpa pikir panjang, mereka menyerang kelimanya dengan batu, kayu, dan bahkan dengan air comberan. Pokoknya terjadi huru-hara yang tak terkendali. Padahal tidak diawali dengan pertengkaran antara mereka melawan kelima pemuda itu. Kelima pemuda itu memang bingung. Mengapa mereka diserang? Tapi tak sempat bisa bertanya lagi. Gerakan massa yang begitu besar tak mungkin bisa dikendalikan lagi. Mereka berusaha lari menyelamatkan diri tapi tetap dikejar. Membabi buta!

Aneh, memang! Entah roh jahat apa yang rasuki massa sore itu. Yang mereka teriakkan hanya:

"Pajak tidak boleh dinaikkan! Dan ... subsidi-subsidi harus tetap ada!"

Ternyata ada beberapa "petugas" berseragam hitam-hitam yang telah menghipnotis kumpulan massa itu. Mereka menyuntikkan informasi bahwa pajak akan dinaikkan dan subsidi akan dihilangkan untuk mengumpulkan dana bagi program makan siang gratis dan susu gratis. Tambahan pula, di dalam gerombolan itu ternyata ada orang-orang yang sudah lama  mengincar Mar dan Doni. Mereka tidak suka karena keduanya mendukung paslon nomor 2 sampai membuat paslon nomor 1 dan 3 kalah suara.

Ada juga yang isukan keduanya bagi-bagi uang. Tanpa diketahui gerombolan itu, di antara kelima pemuda itu, ada semua paslon. Kensi dan Ommy pendukung paslon nomor 3, Mar dan Doni pendukung paslon nomor 2; sedangkan Tapian pendukung paslon nomor 1. Kelimanya memang berdebat namun hanya sebatas debat. Tidak sampai adu fisik. Yang aneh, ... justru gerombolan itu. Tanpa ba, bi, bu, langsung menyerang.

Untung saja polisi yang menjaga tiap-tiap TPS itu amat sigap. Huru-hara tak berlangsung lama. Dan petugas dari Polres pun sudah berada di lokasi keributan itu, melanjutkan penanganan masalah itu. Sementara polisi-polisi petugas TPS segera kembali ke tempat tugas masing-masing. Sebagian penyerang sempat dimasukkan ke dalam sel tahanan. Menghindari bentrok fisik yang bisa saja sulit dikendalikan karena saking besarnya jumlah massa.

*****

Setelah diinterogasi secara lengkap barulah diketahui bahwa mereka semua salah paham saja. Belum mengecek baik-baik, sudah ambil tindakan. Apalagi mereka semuanya rata-rata sedang keletihan. Beberapa hari ini mereka kurang tidur. Sibuk ke sana dan kemari, menemui orang-orang, menggalang dukungan untuk urusan pemilu ini. Dengan stamina yang buruk, mereka mudah tersulut emosi.

Di salah satu pojok aula kantor polisi itu, kelima pemuda itu terlihat berdiskusi serius. Meski sempat cedera karena serangan tadi, mereka masih juga sempatkan diri untuk membincangkan nasib rakyat, sesama mereka yang setelah pemilu ini kembali menggeluti pekerjaan masing-masing. Bekerja membanting tulang untuk sesuap nasi. Untunglah kalau di beri makan siang gratis, juga susu gratis untuk anak-anak. Juga makanan bergizi untuk ibu hamil. Tapi berbagai kebutuhan lain, tetap menjadi tanggungjawab masing-masing warganegara.

"Ternyata kita ini perjuangkan kepentingan yang sama, ... agar rakyat tidak dirugikan oleh kebijakan pemerintah", kata Kensi lirih.

" Iya, ... sebenarnya program makan siang dan susu gratis itu juga untuk bantu rakyat. Hanya saja kita butuh penjelasan. Darimana anggarannya?! Kita takutkan pajak-pajak naik dan subsidi-subsidi dihilangkan hanya untuk himpun dana bagi program gratis-gratis itu", sambung Tapian.

"Juga hutang negara, ... jangan lupa ... jangan asal "ngegas" ", sela Ommy.

Beberapa petugas siluman berseragam hitam-hitam itu sudah tidak nampak lagi di antara gerombolan penyerang itu. Beberapa pemuda dalam gerombolan itulah yang menamai mereka petugas. Padahal tidak jelas, petugas apa dan dari mana. Dengan wajah tertunduk, pemuda-pemuda dalam gerombolan itu menghampiri lima-sekawan yang mereka serang tadi. Bersalaman penuh persaudaraan. Bukan sekadar karena dianjurkan pihak kepolisian yang mendamaikan mereka hari itu tapi lebih atas kesadaran mereka sendiri.

Kesadaran akan pentingnya ketenteraman bangsa mereka sendiri. Kesadaran akan pentingnya suasana damai. Demi keberlanjutan pembangunan untuk Indonesia Unggul. Indonesia Emas 2045. Sadar bahwa mereka semua adalah sesama saudara, sebangsa dan setanah air. Tak perlu berlama-lama bermusuhan. Tidak boleh merasa sulit untuk berdamai usai bertarung. Kini kembali pada aktivitas harian mereka seperti semula. Bekerja, bekerja dan bekerja. Sambil selalu mencari informasi yang benar agar tidak salah bertindak.

Satu hal yang tetap mereka sepakati adalah walaupun berdamai, ... harus tetap saling mengkritisi. Kritis demi kemaslahatan rakyat banyak. Tidak sekadar turuti kemauan pemerintah.

***

Note:  Judul aslinya sebenarnya "Sulit berdamai usai bertarung" yang sudah penulis rampungkan Februari lalu sepekan setelah hari bersejarah kita, Rabu, 14 Februari 2024. Karena "tunda tayang" maka judulnya berubah menjadi seperti sekarang, dengan sedikit penyesuaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun