"Juga hutang negara, ... jangan lupa ... jangan asal "ngegas" ", sela Ommy.
Beberapa petugas siluman berseragam hitam-hitam itu sudah tidak nampak lagi di antara gerombolan penyerang itu. Beberapa pemuda dalam gerombolan itulah yang menamai mereka petugas. Padahal tidak jelas, petugas apa dan dari mana. Dengan wajah tertunduk, pemuda-pemuda dalam gerombolan itu menghampiri lima-sekawan yang mereka serang tadi. Bersalaman penuh persaudaraan. Bukan sekadar karena dianjurkan pihak kepolisian yang mendamaikan mereka hari itu tapi lebih atas kesadaran mereka sendiri.
Kesadaran akan pentingnya ketenteraman bangsa mereka sendiri. Kesadaran akan pentingnya suasana damai. Demi keberlanjutan pembangunan untuk Indonesia Unggul. Indonesia Emas 2045. Sadar bahwa mereka semua adalah sesama saudara, sebangsa dan setanah air. Tak perlu berlama-lama bermusuhan. Tidak boleh merasa sulit untuk berdamai usai bertarung. Kini kembali pada aktivitas harian mereka seperti semula. Bekerja, bekerja dan bekerja. Sambil selalu mencari informasi yang benar agar tidak salah bertindak.
Satu hal yang tetap mereka sepakati adalah walaupun berdamai, ... harus tetap saling mengkritisi. Kritis demi kemaslahatan rakyat banyak. Tidak sekadar turuti kemauan pemerintah.
***
Note: Â Judul aslinya sebenarnya "Sulit berdamai usai bertarung" yang sudah penulis rampungkan Februari lalu sepekan setelah hari bersejarah kita, Rabu, 14 Februari 2024. Karena "tunda tayang" maka judulnya berubah menjadi seperti sekarang, dengan sedikit penyesuaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H