Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (67) Kisah Pilu Sang Bapak

2 Februari 2021   19:29 Diperbarui: 3 Februari 2021   19:46 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Soso menggeleng, meski ia memang diberi uang oleh Pak Koba, tapi ia juga punya uang dari hasil kerjanya sendiri, honor dari paduan suara yang masih sering pentas. Meski tentu saja uang itu sudah bercampur baur. "Saya ikut paduan suara di sekolah, sering tampil di Teater Imperial Tiflis. Ada honornya. Ada juga uang saku dari beasiswa..."

Pak Beso menatapnya, kemudian menaruh sepatu yang sedang dikerjakannya. "Bantu aku berdiri!" katanya, sambil menyodorkan dua tangannya.

Soso menariknya. Ia menyangka Pak Beso hanya susah berdiri karena pegal kelamaan duduk. Tapi ketika ia mulai melangkah, ia tampak terpincang-pincang. Kaki kanannya terlihat sulit digerakkan.

"Kenapa kakinya, Pak?" tanya Soso sambil memegangi tangan bapaknya itu.

"Nanti saja kuceritakan..." jawabnya. "Ada kedai orang Turki di ujung sana, dia menjual daging bakar yang ditusuk. Aku sudah lama ingin mencobanya, kalau kau benar-benar punya uang..."

Soso mengangguk. Dua lelaki itu meninggalkan kios tempat Pak Beso bekerja setelah ia meminta izin kepada pemiliknya, orang yang mempekerjakan Pak Beso itu. Di belakang, si Ararat tampak mengikutinya.

"Kau mau kemana?" tanya Soso.

"Aku juga mau makan itu..." jawabnya.

"Bayar sendiri ya, kau kan sudah dapat uang. Jangan lupa jatah temanmu!"

"Iya, aku tahu!" katanya.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun