Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (38) Anak Tiri dari Bapak Kandung?

3 Januari 2021   07:35 Diperbarui: 4 Januari 2021   10:34 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP by Alip Yog Kunandar

Saat memperhatikan keramaian pesta itu, tangannya ditarik oleh seseorang, Bonia! Bonia membawanya ke samping gereja yang gelap. Ia hampir saja menyosor bibir Soso, kalau saja Soso tak sigap menghalanginya. "Jangan! Kamu adikku sekarang!" kata Soso.

Bonia menatapnya, lalu menangis. Ia membalikkan badannya dan berlari meninggalkan Soso. Ia tersandung. Soso hampir berlari menolongnya. Tapi Bonia segera bangkit dan berlari ke arah belakang gereja yang gelap. 

Soso membiarkannya. Ia tahu, anak itu pasti sangat terpukul dengan pernikahan bapaknya dengan ibunya Soso, karena itu berarti Bonia dan Soso takkan pernah bisa menjadi sepasang suami-istri.

Soso kembali ke keramaian pesta. Ia melihat Mak Keke sedang berdansa dengan Pak Koba, suami barunya, ayah tirinya. Ia teringat desas-desus orang tentang hubungan dua orang itu, termasuk tudingan bahwa Pak Koba tak lain dari ayah kandungnya sendiri. 

Kalau saja itu benar, berarti ia telah menjadi anak tiri dari ayah kandungnya sendiri!

Soso tak mau ambil pusing soal itu. Tapi mendadak ia teringat akan Pak Beso, lelaki yang ia kenal sebagai bapaknya selama ini. Malang betul nasibnya. "Semoga engkau benar-benar pergi ke Rustavi dan bekerja di pabrik baja di sana, lalu kau mendapatkan jodoh yang baru! 

Aku akan tetap menganggapmu sebagai bapak. Biarlah desas-desus itu hanya sebagai desas-desus. Kebenaran, biarlah tetap menjadi misteri. Karena itu akan lebih baik, untuk semua..."

*****

BERSAMBUNG: (39) Mister Black Spot

Catatan:

[1] Ada sebuah lagu yang ditulis oleh Jay Lingston dan Ray Evans dengan judul ini, tapi pemaknaannya berbeda dengan yang dianut oleh kaum nihilis. Lagu yang dinyanyikan oleh Doris Day itu memaknainya sebagai kepasrahan kepada Tuhan dengan mensyukuri keadaan saat ini. Sementara kaum nihilis memaknainya untuk merayakan 'ketiadaan' atau ketidakpedulian dengan hari esok.

[2] Jas panjang khas Georgia dengan potongan depan lurus dan beberapa kancing di depan dada dan perut, bahu lebar dan ramping di bagian pinggangnya.

[3] Alat musik tiup semacam terompet di bagian ujungnya, tapi memiliki lubang-lubang nada seperti seruling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun