Satu-persatu anak-anak itu berdiri. Saat si Niko berdiri, Yuri memanggilnya. “Niko, kalau kau ngember, awas ya, urusan kita panjang!”
Si Niko cemberut, “Iya, iya… aku tahu…” jawabnya.
Akhirnya, di benteng itu tertinggal beberapa anak saja, Yuri, Devo, Jaba, Soso, Peta, Seva, dan si Gigi, pentolan-pentolan awal aksi itu, minus si Gisa tentunya.
“Terus kita gimana?” tanya Devo pada si Yuri yang sudah mengambil alih kepemimpinan dari tangan Soso secara tidak langsung dan tanpa kudeta.
“Soso, Peta, Seva… kalian pulang dulu, ambil barang-barang kalian, pamit sama orangtua masing-masing. Setelah itu, kalian ke rumah bapakku yang di selatan. Nanti kutemui kalian di sana, kucarikan kereta dan kusirnya untuk mengantar kalian kembali ke Tiflis…” kata Yuri. “Yang lain, Jaba, Gigi, bantu aku ambil kereta yang ditinggal. Dan kamu, Devo, pulang juga, kumpulkan terus informasi perkembangan situasi. Kabari aku kalau ada yang sangat penting…” lanjutnya.
Anak-anak itu saling berpamitan, terutama pada Soso, Seva, dan Peta. Semuanya menyayangkan kejadian itu, mereka baru saja berkumpul kembali. Belum pula terpuaskan rasa kangen mereka, tapi sudah harus dipisahkan lagi. Tapi tak ada yang mengutuk atau menyesalinya. Bagi mereka, apa yang mereka alami tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sahabat mereka, si Gisa.
“Devo.. tolong jagain si Gisa ya…” kata Soso.
Devo mengangguk, “Udah nggak usah dipikirin. Kalian sekolah aja yang bener biar nanti kalau pada sukses, bisa mengubah keadaan di sini!”
*****
Mata Mak Keke berkaca-kaca. Baru saja dua hari ia bersua kembali dengan anaknya, sudah harus berpisah lagi. Tapi Mak Keke sudah tahu kejadian yang sesungguhnya sehingga Soso tak harus menceritakannya. “Nggak ada yang harus disesali. Orang-orang di sini paham maksud kalian…” katanya.
“Terus kenapa Mak nangis?” tanya Soso yang jadi kebawa haru, jadi pengen mewek juga.