Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (24) Libur yang Berakhir Cepat

20 Desember 2020   07:07 Diperbarui: 23 Desember 2020   03:07 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu-persatu anak-anak itu berdiri. Saat si Niko berdiri, Yuri memanggilnya. “Niko, kalau kau ngember, awas ya, urusan kita panjang!”

Si Niko cemberut, “Iya, iya… aku tahu…” jawabnya.

Akhirnya, di benteng itu tertinggal beberapa anak saja, Yuri, Devo, Jaba, Soso, Peta, Seva, dan si Gigi, pentolan-pentolan awal aksi itu, minus si Gisa tentunya.

“Terus kita gimana?” tanya Devo pada si Yuri yang sudah mengambil alih kepemimpinan dari tangan Soso secara tidak langsung dan tanpa kudeta.

“Soso, Peta, Seva… kalian pulang dulu, ambil barang-barang kalian, pamit sama orangtua masing-masing. Setelah itu, kalian ke rumah bapakku yang di selatan. Nanti kutemui kalian di sana, kucarikan kereta dan kusirnya untuk mengantar kalian kembali ke Tiflis…” kata Yuri. “Yang lain, Jaba, Gigi, bantu aku ambil kereta yang ditinggal. Dan kamu, Devo, pulang juga, kumpulkan terus informasi perkembangan situasi. Kabari aku kalau ada yang sangat penting…” lanjutnya.

Anak-anak itu saling berpamitan, terutama pada Soso, Seva, dan Peta. Semuanya menyayangkan kejadian itu, mereka baru saja berkumpul kembali. Belum pula terpuaskan rasa kangen mereka, tapi sudah harus dipisahkan lagi. Tapi tak ada yang mengutuk atau menyesalinya. Bagi mereka, apa yang mereka alami tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sahabat mereka, si Gisa.

“Devo.. tolong jagain si Gisa ya…” kata Soso.

Devo mengangguk, “Udah nggak usah dipikirin. Kalian sekolah aja yang bener biar nanti kalau pada sukses, bisa mengubah keadaan di sini!”

*****

Mata Mak Keke berkaca-kaca. Baru saja dua hari ia bersua kembali dengan anaknya, sudah harus berpisah lagi. Tapi Mak Keke sudah tahu kejadian yang sesungguhnya sehingga Soso tak harus menceritakannya. “Nggak ada yang harus disesali. Orang-orang di sini paham maksud kalian…” katanya.

“Terus kenapa Mak nangis?” tanya Soso yang jadi kebawa haru, jadi pengen mewek juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun