“Tadi itu siapa, So?” tanya anak-anak yang gregetan karena rencana mereka gagal total.
Soso menggeleng, “Meneketehe lah, mereka kan tiba-tiba saja datang, mengacaukan rencana kita…” jawabnya. “Mana si Gisa pake acara nongol segala, bikin tambah ruwet aja…”
“Mungkin mereka perampok yang membebaskan temen-temennya…” kata si Peta.
“Aku juga berpikir begitu…” kata Soso. “Kalau mereka kawanan perampok yang membebaskan temen-temennya, bapaknya si Gisa sama Si Tua Ninika yang mereka bawa lari, berarti kan temen-temen mereka juga…”
“Aku juga mau ngomong begitu So, cuma nggak enak sama si Gisa. Apa iya bapaknya juga beneran anggota perampok…” timpal Yuri.
Soso diam, ia juga berpikir soal Si Tua Ninika, apa iya orang yang selama ini dianggap orang gila itu juga bagian dari kelompok perampok. Memang tak ada pribumi yang dirugikan karena menjadi korban para perampok itu. Tapi menjadi perampok tetap saja bukan hal yang membanggakan buat seorang anak yang tak tahu apa-apa kayak si Gisa.
Lagipula, para perampok sekarang, meski tak merugikan pribumi, beda sama zamannya Sandro Khubuluri yang sering membagi-bagikan hasilnya pada orang miskin yang butuh. Sejak Sandro dan beberapa anak buahnya satu persatu dihukum gantung, perampokan memang masih ada, tapi sudah nggak pernah lagi ada acara bagi-bagi sembako gratis. “Sudahlah, kita tunggu saja dulu kabar dari si Devo dan si Jaba…”
“Terus kita ngapain So, lapar nih…” kata si Niko.
Soso mendelik kesal, “Makan tuh batu!”
Biar badannya paling kecil diantara mereka, tak ada yang berani melawan kalau Soso sudah mendelik kayak gitu.
*****