Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (24) Libur yang Berakhir Cepat

20 Desember 2020   07:07 Diperbarui: 23 Desember 2020   03:07 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat sebagian anak pada tertidur sambil umpel-umpelan di pojok benteng untuk mengurangi dingin, terdengar langkah kaki kuda yang pelan. Si Devo dan Jaba datang. Soso, Peta, dan Yuri yang tetap berjaga segera menghampiri mereka. Wajah si Devo dan Jaba tampak tegang dan lelah. Mereka membawa sebuah kantong kecil dan memberikannya pada Soso dan kawan-kawan, “Makan tuh, lumayan ada roti sisa di rumahku…” kata si Devo. Anak-anak itu berebutan. Hanya yang masih tidur saja yang nggak kebagian.

“Gimana Dev?” tanya Soso.

“Gawat So…” kata si Devo. “Yang tadi itu kawanan perampok. Mereka memang bermaksud membebaskan teman-teman mereka…” lanjutnya. “Kata bapakku, polisi membuat dua rombongan, satu lewat jalur barat dan satu lewat jalur timur. Bapaknya si Gisa dan orang-orang yang akan dibawa ke Tskhinvali dibawa lewat jalur timur, yang kita tunggui tadi. Nah, ternyata para perampok itu juga membagi dua kelompok, ada juga yang berjaga di jalur barat. Rombongan polisi yang di barat juga diserang, katanya ada dua polisi yang mati di sana, tiga penyerang mati ditembak, dan satu masih hidup dan sudah dibawa ke kantor polisi…”

Semua diam, menunggu kelanjutan laporan si Devo. “Di tempat kita tadi, satu polisi mati, lima luka, yang parah dua. Dua perampok mati, tapi tawanan polisi semuanya lepas, ada enam ternyata, termasuk bapaknya si Gisa dan Si Tua Ninika….” lanjut Devo. 

“Terus si Gisa gimana?” tanya Soso seolah mewakili yang lain, karena yang lain tak berani bertanya.

“Nah itu yang gawat….” jawab Devo. “Si Gisa dianggap bagian dari kelompok perampok itu. Dia sih nggak apa-apa, tapi ditahan dan lagi diinterogasi. Bapakku bilang, si Gisa punya dua pilihan, menceritakan yang sebenarnya, atau mengaku bagian dari kelompok perampok itu. Kalau menceritakan yang sebenarnya, nasib kita yang gawat, polisi pasti akan menangkap kita semua. Tapi kalau mengaku sebagai bagian dari kelompok bapaknya, ya sudah, kita mungkin aman, tapi dia, ah, nggak tega aku ngomongnya… ya gitu deh, kalau dia mengaku sebagai kelompok bapaknya, ya ancamannya sama dengan yang akan diterima bapaknya…”

Semua yang mendengar terdiam, yang terdengar hanya suara anak mendengkur.

“Bapakku sekarang lagi ngumpulin orang-orang tua kita, menjelaskan kejadian ini. Harapannya agar orang-orang tua kita mengerti yang sebenarnya. Karena juga sudah mulai ribut banyak yang nyariin kuda yang kita pakai, disangkanya ada yang nyolong…” lanjut Devo. “Nggak tau nanti kesananya akan gimana. Bapakku juga serba salah. Lapor ke atasannya, bisa-bisa bapakku yang dituduh sebagai pembocor informasi. Karena selama ini banyak operasi polisi yang selalu diketahui duluan oleh para perampok itu. Kalau enggak, kita yang terancam. Setidaknya, kata Bapakku, kalaupun kita tidak digolongkan sebagai anggota komplotan, kita tetap akan dituduh sebagai kelompok yang menghalangi tugas kepolisian!”

Semua diam lagi, anak yang tidur malah mendengkur lebih keras. Soso jengkel, mulut anak yang ngorok itu dikemplangnya. Anak itu terbangun kaget, berdiri dan kepalanya kejedot tembok benteng. Lalu misuh-misuh, tapi kemudian diam setelah menyadari situasinya. 

“Tapi nggak usah mikirin Bapakku, pokoknya dia akan berusaha sebisanya agar setidaknya kita tidak dihubungkan dengan para perampok itu. Kalaupun nanti kita dihukum, dia hanya akan berusaha agar hukumannya tidak terlalu berat, paling kita dianggap kinto, anak-anak berandal, nakal. Ya, paling dikurung dua sampai empat minggu lah….” lanjut si Devo.

Anak-anak yang mendengarkan semuanya menghela nafas. Empat minggu di sel polisi mungkin tidak terdengar mengerikan, tapi menyebalkan. Beberapa di antara mereka sudah ada yang pernah mengalaminya karena kasus-kasus kenakalan. Soso sendiri tak terlalu takut dengan itu, tapi kalau sampai ia dihukum selama itu, bagaimana dengan nasib sekolahnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun