Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (24) Libur yang Berakhir Cepat

20 Desember 2020   07:07 Diperbarui: 23 Desember 2020   03:07 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP By Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (23) Pembajak yang Dibajak

*****

Satu-satunya rencana kelompok pimpinan Soso dalam pembajakan itu yang berhasil adalah rencana terakhir; apapun yang terjadi, mereka akan berkumpul di Benteng Gori. Tadinya direncanakan di Uplistsikhe, tapi terlalu jauh untuk memantau situasi. 

Benteng Gori adalah sebuah citadel[1] yang sudah dibangun abad ke-13, dan sudah jadi tempat pertahanan jauh sebelum itu. Bentuknya yang sekarang dibangun atas perintah Raja Kartli, Rostom, tahun 1630-an. Perancangnya adalah Cristopolo Casteli, seorang misionaris Italia yang tinggal di Gori masa itu. 

Pada awal kedatangan Rusia, benteng ini menjadi markas pasukan pelempar granat, karena letaknya yang strategis, berada di atas bukit, dan dekat dengan jalur perlintasan. Tapi setelah wilayah-wilayah Georgia dikuasai sepenuhnya dan perlawanan mulai redup, benteng itu ditinggalkan.

Jika dikunjungi siang hari, dari kompleks pertahanan itu, orang bisa melihat kota kecil Gori jika memandang ke arah barat atau selatan. Jika memandang ke timur dan utara, terlihat Sungai Mktvari dan Gorekhi yang merupakan anak Sungai Kura, persis berada di bawah benteng, dan di seberangnya adalah ladang-ladang penduduk dan perbukitan. Bagian paling menarik dari benteng itu adalah Tskrha-kara –sembilan gerbang—yang terpengaruh gaya Persia.

Satu-persatu kelompok Soso mulai berdatangan ke Benteng Gori. Tak bisa bersamaan karena mereka terbagi dua kelompok yang berada di barat dan timur jalan jalur ke Tskhinvali, sehingga harus mencari jalan sendiri-sendiri ke Benteng Gori tanpa harus ketahuan. Mereka yang berada di sebelah barat jalan harus memutar, melewati perbukitan, dan menyeberangi Sungai Gorekhi  sebelum sampai ke benteng. 

Kelompok itu punya beban lebih, karena ada sebuah kereta yang harus diamankan. Karena tak mungkin mengendarainya, kuda-kuda penariknya dilepaskan, keretanya disembunyikan. Kelompok yang di timur jalan, meski tak membawa kereta, mereka harus memutar dan mencari cara menyeberangi Sungai Gorekhi tanpa melewati jembatan, sehingga perjalanannya lebih sulit dan memutar jauh.

Dari 13 anak yang tadi bergabung, Tiga yang tidak kelihatan. Pertama si Gisa, yang tertangkap, dan nasibnya entah bagaimana. Dua lagi adalah si Devo dan si Jaba. Mereka memang tidak langsung menuju benteng, tapi balik ke kota untuk mencari informasi tentang nasib si Gisa.

“Tadi itu siapa, So?” tanya anak-anak yang gregetan karena rencana mereka gagal total.

Soso menggeleng, “Meneketehe lah, mereka kan tiba-tiba saja datang, mengacaukan rencana kita…” jawabnya. “Mana si Gisa pake acara nongol segala, bikin tambah ruwet aja…”

“Mungkin mereka perampok yang membebaskan temen-temennya…” kata si Peta.

“Aku juga berpikir begitu…” kata Soso. “Kalau mereka kawanan perampok yang membebaskan temen-temennya, bapaknya si Gisa sama Si Tua Ninika yang mereka bawa lari, berarti kan temen-temen mereka juga…”

“Aku juga mau ngomong begitu So, cuma nggak enak sama si Gisa. Apa iya bapaknya juga beneran anggota perampok…” timpal Yuri.

Soso diam, ia juga berpikir soal Si Tua Ninika, apa iya orang yang selama ini dianggap orang gila itu juga bagian dari kelompok perampok. Memang tak ada pribumi yang dirugikan karena menjadi korban para perampok itu. Tapi menjadi perampok tetap saja bukan hal yang membanggakan buat seorang anak yang tak tahu apa-apa kayak si Gisa. 

Lagipula, para perampok sekarang, meski tak merugikan pribumi, beda sama zamannya Sandro Khubuluri yang sering membagi-bagikan hasilnya pada orang miskin yang butuh. Sejak Sandro dan beberapa anak buahnya satu persatu dihukum gantung, perampokan memang masih ada, tapi sudah nggak pernah lagi ada acara bagi-bagi sembako gratis. “Sudahlah, kita tunggu saja dulu kabar dari si Devo dan si Jaba…”

“Terus kita ngapain So, lapar nih…” kata si Niko.

Soso mendelik kesal, “Makan tuh batu!”

Biar badannya paling kecil diantara mereka, tak ada yang berani melawan kalau Soso sudah mendelik kayak gitu.

*****

Saat sebagian anak pada tertidur sambil umpel-umpelan di pojok benteng untuk mengurangi dingin, terdengar langkah kaki kuda yang pelan. Si Devo dan Jaba datang. Soso, Peta, dan Yuri yang tetap berjaga segera menghampiri mereka. Wajah si Devo dan Jaba tampak tegang dan lelah. Mereka membawa sebuah kantong kecil dan memberikannya pada Soso dan kawan-kawan, “Makan tuh, lumayan ada roti sisa di rumahku…” kata si Devo. Anak-anak itu berebutan. Hanya yang masih tidur saja yang nggak kebagian.

“Gimana Dev?” tanya Soso.

“Gawat So…” kata si Devo. “Yang tadi itu kawanan perampok. Mereka memang bermaksud membebaskan teman-teman mereka…” lanjutnya. “Kata bapakku, polisi membuat dua rombongan, satu lewat jalur barat dan satu lewat jalur timur. Bapaknya si Gisa dan orang-orang yang akan dibawa ke Tskhinvali dibawa lewat jalur timur, yang kita tunggui tadi. Nah, ternyata para perampok itu juga membagi dua kelompok, ada juga yang berjaga di jalur barat. Rombongan polisi yang di barat juga diserang, katanya ada dua polisi yang mati di sana, tiga penyerang mati ditembak, dan satu masih hidup dan sudah dibawa ke kantor polisi…”

Semua diam, menunggu kelanjutan laporan si Devo. “Di tempat kita tadi, satu polisi mati, lima luka, yang parah dua. Dua perampok mati, tapi tawanan polisi semuanya lepas, ada enam ternyata, termasuk bapaknya si Gisa dan Si Tua Ninika….” lanjut Devo. 

“Terus si Gisa gimana?” tanya Soso seolah mewakili yang lain, karena yang lain tak berani bertanya.

“Nah itu yang gawat….” jawab Devo. “Si Gisa dianggap bagian dari kelompok perampok itu. Dia sih nggak apa-apa, tapi ditahan dan lagi diinterogasi. Bapakku bilang, si Gisa punya dua pilihan, menceritakan yang sebenarnya, atau mengaku bagian dari kelompok perampok itu. Kalau menceritakan yang sebenarnya, nasib kita yang gawat, polisi pasti akan menangkap kita semua. Tapi kalau mengaku sebagai bagian dari kelompok bapaknya, ya sudah, kita mungkin aman, tapi dia, ah, nggak tega aku ngomongnya… ya gitu deh, kalau dia mengaku sebagai kelompok bapaknya, ya ancamannya sama dengan yang akan diterima bapaknya…”

Semua yang mendengar terdiam, yang terdengar hanya suara anak mendengkur.

“Bapakku sekarang lagi ngumpulin orang-orang tua kita, menjelaskan kejadian ini. Harapannya agar orang-orang tua kita mengerti yang sebenarnya. Karena juga sudah mulai ribut banyak yang nyariin kuda yang kita pakai, disangkanya ada yang nyolong…” lanjut Devo. “Nggak tau nanti kesananya akan gimana. Bapakku juga serba salah. Lapor ke atasannya, bisa-bisa bapakku yang dituduh sebagai pembocor informasi. Karena selama ini banyak operasi polisi yang selalu diketahui duluan oleh para perampok itu. Kalau enggak, kita yang terancam. Setidaknya, kata Bapakku, kalaupun kita tidak digolongkan sebagai anggota komplotan, kita tetap akan dituduh sebagai kelompok yang menghalangi tugas kepolisian!”

Semua diam lagi, anak yang tidur malah mendengkur lebih keras. Soso jengkel, mulut anak yang ngorok itu dikemplangnya. Anak itu terbangun kaget, berdiri dan kepalanya kejedot tembok benteng. Lalu misuh-misuh, tapi kemudian diam setelah menyadari situasinya. 

“Tapi nggak usah mikirin Bapakku, pokoknya dia akan berusaha sebisanya agar setidaknya kita tidak dihubungkan dengan para perampok itu. Kalaupun nanti kita dihukum, dia hanya akan berusaha agar hukumannya tidak terlalu berat, paling kita dianggap kinto, anak-anak berandal, nakal. Ya, paling dikurung dua sampai empat minggu lah….” lanjut si Devo.

Anak-anak yang mendengarkan semuanya menghela nafas. Empat minggu di sel polisi mungkin tidak terdengar mengerikan, tapi menyebalkan. Beberapa di antara mereka sudah ada yang pernah mengalaminya karena kasus-kasus kenakalan. Soso sendiri tak terlalu takut dengan itu, tapi kalau sampai ia dihukum selama itu, bagaimana dengan nasib sekolahnya?

“Aku juga cerita soal kamu, So, Peta, dan Seva yang ikutan aksi ini. Bapakku hanya bilang, sebaiknya kalian bertiga segera balik ke Tiflis. Sementara yang lain, kalau nanti kita ditangkap, jangan sampai menyebut-nyebut nama Soso, Peta, dan Seva…” Devo melanjutkan.

“Waah, aku juga nggak mau ditangkap. Aku kan mau jadi polisi. Kalau aku ditangkap dan dihukum, susah dong nanti aku, SKCK-ku nggak bakalan keluar atau ada catatan khususnya…” kata si Niko sambil menggerutu.

Semua anak yang sudah terbangun melirik padanya. Niko pun terpaksa diam.

“Urusan itu nanti kubantu. Bapakku bisa bantu…” kata Devo pada si Niko. “Gimana, So?” ia bertanya pada Soso.

“Jujur saja aku nggak mikirin soal hukuman itu. Tapi memang kalau sampai dihukum selama itu, apalagi lebih, aku, Seva dan Peta bakalan kena masalah di sekolahan…” jawabnya.

“Udah gini aja…” Yuri ikutan nimbrung, “Kita ikuti saran bapaknya Devo. Kalau nanti kita ditangkap, kita ceritakan saja apa adanya, kita diajak si Gisa. Tapi nggak usah nyebut-nyebut Soso, Peta, dan Seva. Bilang saja aku yang mimpin. Jangan juga bawa-bawa si Devo, nanti kasian bapaknya. Pokoknya, jangan sebut-sebut Soso, Peta, Seva, dan Devo. Titik. Kalau ada yang ngember, kita selesaikan urusannya denganku nanti setelah keluar. Boleh pilih, mau diselesaikan di arena formal atau non formal!”

Semua diam.

“Aku juga dong, pliis, namaku nggak usah disebut-sebut…” kata si Niko lagi.

Yuri mendelik lalu berdiri, “Kau! Kau mau urusannya diselesaikan sekarang?” bentaknya.

Niko diam, dalam hatinya ia mengutuk keterlibatannya malam itu. tapi nggak berani juga dia berurusan dengan si Yuri. Siapa juga yang berani melawannya duel. Lagian bisa juga nanti si Yuri bertindak kejam, menagih utang-utang keluarganya.

Yuri duduk lagi. “Sekarang begini. Dengarkan baik-baik. Kalian semua pulang ke rumah masing-masing. Kalau ditanya sama orangtua masing-masing, ceritakan apa adanya. Tapi jangan bawa-bawa nama Soso, Seva, Peta, dan Devo. Sebut saja aku yang punya ide untuk membantu si Gisa. Ngerti?” Yuri mengedarkan pandangan pada teman-temannya. Semua mengangguk. “Ya sudah, pulang sana. Sendiri-sendiri, jangan rombongan!”

Satu-persatu anak-anak itu berdiri. Saat si Niko berdiri, Yuri memanggilnya. “Niko, kalau kau ngember, awas ya, urusan kita panjang!”

Si Niko cemberut, “Iya, iya… aku tahu…” jawabnya.

Akhirnya, di benteng itu tertinggal beberapa anak saja, Yuri, Devo, Jaba, Soso, Peta, Seva, dan si Gigi, pentolan-pentolan awal aksi itu, minus si Gisa tentunya.

“Terus kita gimana?” tanya Devo pada si Yuri yang sudah mengambil alih kepemimpinan dari tangan Soso secara tidak langsung dan tanpa kudeta.

“Soso, Peta, Seva… kalian pulang dulu, ambil barang-barang kalian, pamit sama orangtua masing-masing. Setelah itu, kalian ke rumah bapakku yang di selatan. Nanti kutemui kalian di sana, kucarikan kereta dan kusirnya untuk mengantar kalian kembali ke Tiflis…” kata Yuri. “Yang lain, Jaba, Gigi, bantu aku ambil kereta yang ditinggal. Dan kamu, Devo, pulang juga, kumpulkan terus informasi perkembangan situasi. Kabari aku kalau ada yang sangat penting…” lanjutnya.

Anak-anak itu saling berpamitan, terutama pada Soso, Seva, dan Peta. Semuanya menyayangkan kejadian itu, mereka baru saja berkumpul kembali. Belum pula terpuaskan rasa kangen mereka, tapi sudah harus dipisahkan lagi. Tapi tak ada yang mengutuk atau menyesalinya. Bagi mereka, apa yang mereka alami tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sahabat mereka, si Gisa.

“Devo.. tolong jagain si Gisa ya…” kata Soso.

Devo mengangguk, “Udah nggak usah dipikirin. Kalian sekolah aja yang bener biar nanti kalau pada sukses, bisa mengubah keadaan di sini!”

*****

Mata Mak Keke berkaca-kaca. Baru saja dua hari ia bersua kembali dengan anaknya, sudah harus berpisah lagi. Tapi Mak Keke sudah tahu kejadian yang sesungguhnya sehingga Soso tak harus menceritakannya. “Nggak ada yang harus disesali. Orang-orang di sini paham maksud kalian…” katanya.

“Terus kenapa Mak nangis?” tanya Soso yang jadi kebawa haru, jadi pengen mewek juga.

“Aku nggak nangis. Mataku kecolok jenggotmu!” jawab Mak Keke.

Soso terkekeh, nggak jadi acara haru-haruannya. “Ya udah deh Mak, baik-baik di sini ya…” kata Soso.

“Kau juga, di sana jangan nyari masalah. Masalah kita udah kebanyakan, nggak usah jadi kolektor masalah, nggak bakalan laku dijual apa dilelang juga!”

“Iya Mak…” kata Soso. Ia memeluk tubuh ibunya yang mulai renta, padahal umurnya belum tua-tua amat.

Soso menenteng buntelan barangnya yang bahkan belum dibuka itu. Ia hampir saja melangkah kalau nggak inget sesuatu. Dibukanya buntelannya itu, dikeluarkannya kaftan yang ia beli di Tiflis. “Mak, ini oleh-oleh dari Tiflis…” katanya sambil menyerahkan pakaian berwarna hitam itu.

“Aneh, orang tuh ngasih oleh-oleh pas datang, bukannya pas mau pulang!” kata Mak Keke sambil menerimanya, tapi ia girang juga mendapatkannya.

“Daster siapa yang kamu colong?” tanya Mak Keke saat mengamati pemberian Soso itu.

“Enak aja daster, itu kaftan, made in Persia, saya beli di Tiflis. Mak kurang gaul banget sih…” kata Soso.

Mak Keke terkekeh, “Ini buat kondangan bagus nggak So?”

“Udah ah, terserah Emak, mau dipake kondangan kek, mau dipake ngelayat orang mati kek, mau dijadiin daster buat tidur juga terserah.. ya udah ya Mak, keburu siang nih…” kata Soso.

“Ya udah.. besok-besok oleh-olehnya jangan baju So, anting kek, cincin kek, atau sukur-sukur kalung permata!” kata Mak Keke.

“Iya, ntar saya ngerampok bank dulu di Tiflis!” jawab Soso asal.

“Jangan sampe ketangkep lho ya…” kata Mak Keke, nggak kalah asal.

Soso buru-buru kabur. Nggak rampung-rampung kalau ngomong terus sama ibunya itu. Ia pun bergegas menuju rumah Yuri yang berada di bagian selatan Gori, dekat jalur ke Tiflis. Rumah itu sudah dijadikan losmen juga sama Pak Koba, tapi nggak seramai losmennya yang berada di tengah kota.

Sampai di sana, Peta, Seva, dan Yuri sudah menunggu. Dua kereta kuda juga sudah tampak di depan losmen yang masih sepi, maklum hari masih lumayan gelap. Siapa pula mau bangun pagi di kala cuaca di luar sedingin itu.

Begitu Soso datang, Yuri langsung ngomong, “Udah, langsung aja, mumpung masih sepi…” katanya. Ia juga mendekati Soso dan menyodorkan sebuah bungkusan kecil. “Nih dari si Bonia. Dia marah-marah karena kamu nggak pamit dulu!”

Soso menerimanya. Iya juga, dia nggak sempat pamitan sama anak itu. Lah jangankan pamit, inget aja enggak. “Ya udah, bilang makasih ya Yur…” kata Soso. Ia segera melemparkan buntelan pakaiannya ke atas kereta kuda.

“Keretanya bukan yang itu dodol…” kata Yuri.

Soso celingukan, ternyata Peta dan Seva sudah naik di kereta satunya lagi. Soso cengar-cengir, “Kirain dua kereta!”

“Enak aja, satu aja biayanya dah mahal tuh…” kata si Yuri. “Udah sono buruan!”

Soso segera bergabung dengan Peta dan Seva. Kusir diberi perintah oleh Yuri. Kereta pun mulai bergerak ke arah timur.

*****

BERSAMBUNG: (25) Bedah Buku Marx

Catatan:

[1] Benteng yang di dalamnya terdapat pemukiman untuk mengungsi saat sebuah kota dalam pengepungan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun