Mohon tunggu...
Ali Maksum
Ali Maksum Mohon Tunggu... Guru - Education is the most powerful weapon.

Guru, Aktifis dan Pemerhati pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monas Tower

20 Januari 2022   06:00 Diperbarui: 20 Januari 2022   06:03 1890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam tahun baru, lapangan monas hari ini sangat ramai entah apa yang terjadi malam nanti, yang pasti ada beberapa penjual terompet, mungkin yang merasakan malam nanti hanyalah orang-orang kapitalis yang mempunyai waktu atau sengaja menaruh waktu luang khusus merayakan tahun baru. 

Sambil menghitung mundur jam dua puluh empat mereka hura-hura membuang uang merayakannya, tetapi lain lagi dengan kisah penjual terompet ini mereka tidak lebih hanya memanfaatkan waktu emas untuk meraup sedikit rejeki dari uang yang dihamburkan. Tidak peduli apakah keluarga mereka menganggap tahun baru ini sebagai awal keuntungan atau sebagai rutinnitas belaka.

Sementara di tengah-tengah peryaaan tahun baru tank-tank militer masih bertengger di sekitar monas hasil kerusuhan Mei beberapa bulan lalu. Tahun baru 1999 semogga lebih baik untuk negeri ini, meskipun masih di rasakan rawan dengan adanya penculikan aktivis mahasiswa. 

Aku mencoba memberanikan diri keluar di tengah-tengah tank militer, satu-satunya teman yang bisa aku ajjak ngobrol disini adalah Reno, kerena ia sudah cukup lama tinggal diindonesia, bahasa Indonesianya lumayan bagus. 

Aku merasa lega walapun hanya punya teman satu, dia sekarang sekolah setingkat SMA, umunya teman-temannya adalah dari kedutaan, sesuai profesi ayahku. 

Di kedutaan malam ini ada acara makan-makan resmi menyambut tahun baru 1999. Aku paling malas mengikuti acara seperti itu, akhirnya kami memutuskan ke Sudirman.

“Kita ke bundaran HI saja orang-orang berkumpul di bundaran itu, biasa, menyambut tahun baru dengan menghitung mundur waktu ” kata Reno.

Aku masih penasaran perayaan tahun baru di Indoesia, apakah semeriah di Savicurs Tower Rusia yang juga selalu orang-orang berkerumun menghitung mundur sambil menunggu jam 24 malam yang bertengger dia tas tower tersebut apalagi di setiap sudut Red Square, kita bisa melihat jam besar itu, tapi aku menolak ajakan Reno ke Bundaran HI aku masih penasaran di lapangan Monas.  

“I can’t stand the crowd”  kataku dengan nada keberatan, akhirnya aku mengusulkan pindah tempat.

“Can we move to some other spot”

“Where?”

“Monas Tower”,

“Oke, We`ll be there ”

Rambut panjangku kugulung dan aku masukkan kedalam topi, dengan memakai T-shirt tipis di negeri tropis kami menuju monas dan dengan mencari tempat yang tidak begitu padat karena keramaian. dengan melihat Monas Tower dari jarak yang cukup jauh di tengah kerumunan orang-orang laiknya semut.

“Eh siapa itu”  sepertinya pernah lihat? Oh.... itu kan laki-laki tempo hari   melukis di taman ini juga, dia nggak sendirian seorang ibu paruh baya bersamanya mungkin ibunya” ujar Reno dengan bahasa indonesia yang sedikit aku mengerti, berkali-kali aku mencoba melihat ke Monas Tower, berkali-kali juga mataku melihat kearahnya lagi.

“Re....Reno” tanpa megalihkan perhatianku kearah lahi-laki itu aku mencoba menarrik perhatian Reno.

“Apaan?”

“Look!!”

“What are you looking..”

“He`s handsome, isn`t he?”

Lalu aku lihat Reno mencoba mencari laki-laki yang aku maksud.

“Eh iya lho..kenal?”

“Tempo hari waktu aku kesini sama papi aku juga lihat dia disini?” Aku menjawab dengan bahasa Indonesiaku hasil kursus dua minggu.

“Nah pasti kamu nyari dia kan!!” Tebak Reno setengah menggoda. Aku Cuma nyengir tanda mengiyakan, saat pesonanya seperti magnet, menuntun kepalaku untuk berputar kearahnya lagi.

“Udah sana deketin!” ujar Reno mendorongku. It`s now or never. Aku tidak akan membiarkan diriku nanti malam mati karena merasa menyesal dan diliputi penasaran dengan membiarkan   dia beridir di hadapanku tanpa tahu namanya. Semeter, dua meter, lebih dekat.....dan....

“Hallo......” dia tersenyum

“Hai,”

“Can you speak English?

“Yes, I can but a little”

“Name?”

“My name? Hermawan, yours?”

“Violet” sambil memperkenalkan nama Indonesiaku aku menawarkan jabat tangan dan dia menyambutnya.

“You are not from around here, where do you....?”

“Rusia” sahutku tanpa ragu sebelum dia menyelesaikan pertanyaannya yg panjang itu. Lalu aku diam dia menyambutnya dengan hal yang sama, ia kembali mmemandang lukisannya seperti ada jeda waktu, tapi bukannya slow motion, seperti menyuruhku lebih cepat, kugunakan untuk berfikir apa yang akan aku katakan selanjutnya.

“I`ve seen you several times here, what are you painting?”.

“Oh, no...I just do it for fun”

“I want to buy It”

Dia  tersenyum berhias wajah yang mulai memerah.

“I`m flatered but sorry, it is not for sale”

“Well...I Actually just come to Jakarta,I don`t have many friends, just my  friend Reno, he`s there”

“Would you like to be my friend?”

Lanjutku, Hermawan melihat dengan pandangan curiga.

“Please, I don`t mean anything bad, I just want to make  friend with you ” dia mendengarkan dengan sedikit ragu, “Please...!”

“Oke, seem nice”

Aku tersenyum kepada Reno yang berdiri tidak jauh dari kami. Meskipun Hermawan mahasiswa seni UI tapi aku rasa bahasa Inggrisnya lumayan bagus. 

Tapi aku sendiri harus belajar lagi bahasa Indonesia  dan lebih banyak belajar kebudayaan negeri Borobudur ini, setidaknya bangunan itulah yang aku kenal dari Indonesia.

Sejak itulah kami berteman dekat, dia banyak bercrita politik di negeri ini, di menaruh kepercayaan padaku, walaupun aku sendiri dari kedutaan asing, tidak seperti orang Rusia yang selalu menaruh curiga kepada orang asing. Referensi kami dari peristiwa Mei yang mana banyak temman-teman dekatnya banyak menjadi korban penggulingan Soeharto. 

Dia bercerita perjuangan mahasiswa Indonesia menghadapai tank-tank militer angkatan bersenjata. Sampai menduduki gedung MPR/DPR. 

Walaupun aku baru mengenal negeri ini aku bisa merasakan kedukaan di wajahnya dari alur ceritanya yang begitu panjang tentang pejabat pemerintah yabg korup hinngga bergulirnya reformasi.,

“Aku senang dengan adanya reformasi” katanya seakan menguji bahasa nasionalnya dariku.

“Kenapa?”

“Selama 30 tahun lebih kami menjadi negara buta, buta politik dan sudah lama kami di nina bobbokkan akan informasi politik, ya hampir mirip dengan negara bertirai sesudah kami tahu dengan adanya reformasi ternyata keadaan negeri ini begitu memprihatinkan, hutang luar negeri melambung dan berbagai hal setelah tirai itu di buka.

“Benarkah?” tanyaku lagi

“Ya,” Hermawan menjawabnya dengan antusias.

Dengan Hermawan aku semakin akrab bagaikan saudara dekat. Suatu hari aku di ajak ke flatnya dia tinnggal tidak begitu jauh. Aku juga berkenalan dengan ayahnya yang sama sekali tidak bisa bahasa Inggris.

**********

Aku masih belumm puas melihat Monas Tower dan ingin kembali duduk di tamman itu.Hari itu aku menarik-narik Reno dan bilang aku butuh kamus Rusia-Indonesia yang ada di kedutaan. Aku akan mulai belajar bahasa Indonesia.

“Alaaaaah, elo emang pingin ketemu Hermawan kan?” Aku nyinnyir ketahuan maksudku.

“Namanya juga jatuh cinta!” lanjutnya mengejek.

“Siapa yang jatuh cinta?”

Terpaksa aku berbohong, entah mengapa aku ingin sekali bertemu dengan lukisannya, Monas Tower, atau mungkin orangynya sekalian.

***********

Aku dan Hermawan berjalan-jalan ke museum, cuaca cerah dan tidak ada lagi orang yang berseliweran seperti ramainya Monas Tower.

“Kamu mau lukisanku ” tanya dia.

“Monas Tower?” tanyaku, dia mengangguk seraya tersenyumm.

“Of course! Do I have to pay”

“No, no pay, It is my gift for you” aku selalu menyukai logat Inggrisnya

“Bt you really like the painting”

“I can paint another one” jawabnya mmasih dengan tersenyum.

Tahukah kamu mitos Cupid yang di tutup matanya? Ternyata memang benar dia menembakkan panahnya kemana saja dan mengenahi siapapun dan hari itu panahnya mengenai aku yang tengah melihat kkamu maka aku jatuh cinta padamu.

“Her, aku besok harus kembali ke Rusia” ungkapku datar.

“Mengapa sebelumnya kamu tidak bilang padaku..ada apa? ” tanyanya menyelidik.

“I must continou my study”

“But I`ll come back to you” Aku tak segan meralatnya.

Dia tib-tiba diam seribu bahasa serasa kehilanngan barang miliknya. Aku segera menghiburnnya lantas diapun tersenyum sambil mengacak-acak rambut pirangku yang terurai di terpa angin. Akhirnya..dia bersedia mengantarkan ke bandara esok harinya.

********

Julli 2000

Setelah 16 jam perjalanan dengan pesawat dari Moscow aku beristirahat di flat.  Keesokan harinya aku menelefon Hermawan dengan harapan mendengarkan suaranya yang selalu ingin aku dengar, tidak ada yang mengangkat. Maka pagi itu juga aku menuju ke flat Hermawan, kuketuk pintunya.

“Her!.... Hermawan, open the door please” ada yang aneh megapa  aku teriak tidak ada yang protes.

“Violet..”aku langsung menengok ke sumber suara, Animawati, perempuan yang sempat aku kenal dari Hermawan, dia adalah  teman sekampusnya.

“Dimana Hermawan?”

Tanyaku panik kuguncang-guncang tubuh Ani. Tapi dia diam saja tidak bereaksi, “Where is she?”

“Masuklah dulu. Nanti aku jelaskan” Setelah dia menengok kanan kiri dia menutup pintun flatnya begitu lembut. Flat itu berseberangan dengan milik Hermawan, mungkin agak miring.

“Ani, aku kan sudah bilang akan kembali ke Indonesia, mengapa dia tidak mau mengerti”

“Ya, dia telah mengatakannya padaku” lalu Ani diam, dari anak matanya keluar dua butir air mata bening membuat aku tampakk panik.

“What happen?” tanyaku tidak sabar.

“Pagi itu aku tahu kamu meneleponnya bahwa kamu akan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat namun dia tidak mengatakannya padaku kapan kamu kesini”

“Violet akan datang minggu ini ke Indonesia, lukisanku belum sempat kuberikan untuknya, namun dia sudah berjanji padaku untuk kembali ke Indonesia. Aku akan pergi ke Bandung karena Jakarta sudah tidak aman menjadi tempat aktifis kampus sepertiku, tolong berikan lukisan ini untuknya”

Aku mencoba mendengarkan cerita Ani yang begitu detil mengutip perkataan Hermawan dan di tangannya aku lihat gulungan kertas berukuran sedang dan aku yakin itulah lukisan Monas Tower. Sedari tadi dia hanya mondar-mandir di depanku dan kali ini dia mulai meletakkan tubuhnya di sofa. Aku simak lagi cerita gadis mungil ini.

“Malam harinya pukul delapan aku mendengar pintu di dobrak, aku mengintip keluar kamar dan itu adalah pintu Hermawan. Sekelompok laki-laki yang tidak aku kenal membawa Hermawan keluar flat tanpa membawa koper dan barang-barang lain yang sudah dia persiapkan”

Aku mulai hawatir dengan kelanjutan ceritanya

“Hermawan melirikku tanpa bisa berbuat bannyak diatas flat aku melihat mereka membawa Hermawan dengan mobil. Dan setelah itu tidak adakabar sampai esok hari.

“Keesokan harinya aku bertanya kepada orang-orang flat tentang kabar Hermawan karena aku yakin kejadian malam itu semua orang tahu hanya saja mereka tidak berani keluar”

“Dia sudah meninggal, di bunuh” kata mereka seraya menangis

Lanjut Ani “Hari itu mereka menemukan orang yang tidak di kenal meninggalkan sebuahh bungkusan plastik besar di halaman flat tidak ada yang berani membukanya kecuali salah seorang petugas keamanan. Mereka terkejut bahwa itu adalah mayat Hermawan, punggungnya bolong oleh peluru dengan tiga kali tembakan, hari itu juga kami menguburkan jenazahnya.”

“Bagi kami dia adalah orang baik yang amat dekat dengan orang miskin meskipun dia sendiri adalah dari lingkungan yang cukup berada” Aku mulai mengambil tisu diujung saku. Membasuh air mata yang seakan mengalir tanpa henti.

Ani memandangku dengan tajam namun dia tidak berhenti bercerita.

“Jalan hidup yang ia pilih yang membuat segalanya harus terjadi. Sebagai aktifis kampus yang mengkritik perilaku politikus negeri ini. Kata-katanya yang pedas di media membuat dia tidak di sukai”

“Dia juga mahasiswa yang berperan aktif menggulingkan orang yang pernah menjadi nomor satu di negeri ini dan aku yakin peristiwa itu terkait dengan kegiatannya di kampus dan para musuhnya”

Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya duduuk mematung dan cerita Ani berhenti setelah melihat reaksiku. Kekasihku meninggal dan orang-orang membiarkannya.

Violet   

Sungai itu mengalir sampai ke ujung hulu. Mulutku menganga menahan amarah kepada tanah yang telah menguruk kekasihku bersama-sama unsur hara. Mengapa aku tidak kau ijinkan menemanimu?. Kurasakan wajahku memanas merah. Setelah itu baru kusadari air mataku mengalirdi kedua pipiku.

“Her, aku mencintaimu, entah mengapa aku tidak kuasa mengatakannya di museum itu.namun kini rasa itu hanyalah harapan yang tidak tahu sampai mana ujung pangkalnya. Tapi Her..ijinkan aku menyimpan rasa ini satu atau seraus tahun lamanya ” Ani memelukku sambil terisak-isak. 

Telingaku terasa kedap, terasa angin menutup mata dan telingaku atau mungkin aku tidak mendengar apa-apa lagi. Tiba-tiba pandangan gelap dan sangat gelap.

Sore itu aku dan Ani menuju ke pemakaman, kulihat nisan yang masih segar terbujur disana, makam Hermawan. Tower Monasku telah hilang dari pandangan mataku. 

Bayangkan jika Jakarta tanpa monas atau Paris tanpa Eiffel mungkin takkkan ada lagi orang-orang mendongakkan kepalannya sambil melindungi matanya dengan telapak tangan.

Engkau bagai Monas Tower bagi Jakarta atau bahakan Eiffel bagi Paris yang bisa aku lihat di tengah kerumunan orang-orang.

(Cerpen karya: Ali Maksum di muat di tabloid Dinamika edisi 17-Januari-2007, setelah mengalami berbagai perbaikan.)    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun