Aku tersenyum kepada Reno yang berdiri tidak jauh dari kami. Meskipun Hermawan mahasiswa seni UI tapi aku rasa bahasa Inggrisnya lumayan bagus.
Tapi aku sendiri harus belajar lagi bahasa Indonesia dan lebih banyak belajar kebudayaan negeri Borobudur ini, setidaknya bangunan itulah yang aku kenal dari Indonesia.
Sejak itulah kami berteman dekat, dia banyak bercrita politik di negeri ini, di menaruh kepercayaan padaku, walaupun aku sendiri dari kedutaan asing, tidak seperti orang Rusia yang selalu menaruh curiga kepada orang asing. Referensi kami dari peristiwa Mei yang mana banyak temman-teman dekatnya banyak menjadi korban penggulingan Soeharto.
Dia bercerita perjuangan mahasiswa Indonesia menghadapai tank-tank militer angkatan bersenjata. Sampai menduduki gedung MPR/DPR.
Walaupun aku baru mengenal negeri ini aku bisa merasakan kedukaan di wajahnya dari alur ceritanya yang begitu panjang tentang pejabat pemerintah yabg korup hinngga bergulirnya reformasi.,
“Aku senang dengan adanya reformasi” katanya seakan menguji bahasa nasionalnya dariku.
“Kenapa?”
“Selama 30 tahun lebih kami menjadi negara buta, buta politik dan sudah lama kami di nina bobbokkan akan informasi politik, ya hampir mirip dengan negara bertirai sesudah kami tahu dengan adanya reformasi ternyata keadaan negeri ini begitu memprihatinkan, hutang luar negeri melambung dan berbagai hal setelah tirai itu di buka.
“Benarkah?” tanyaku lagi
“Ya,” Hermawan menjawabnya dengan antusias.
Dengan Hermawan aku semakin akrab bagaikan saudara dekat. Suatu hari aku di ajak ke flatnya dia tinnggal tidak begitu jauh. Aku juga berkenalan dengan ayahnya yang sama sekali tidak bisa bahasa Inggris.