Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya duduuk mematung dan cerita Ani berhenti setelah melihat reaksiku. Kekasihku meninggal dan orang-orang membiarkannya.
Violet
Sungai itu mengalir sampai ke ujung hulu. Mulutku menganga menahan amarah kepada tanah yang telah menguruk kekasihku bersama-sama unsur hara. Mengapa aku tidak kau ijinkan menemanimu?. Kurasakan wajahku memanas merah. Setelah itu baru kusadari air mataku mengalirdi kedua pipiku.
“Her, aku mencintaimu, entah mengapa aku tidak kuasa mengatakannya di museum itu.namun kini rasa itu hanyalah harapan yang tidak tahu sampai mana ujung pangkalnya. Tapi Her..ijinkan aku menyimpan rasa ini satu atau seraus tahun lamanya ” Ani memelukku sambil terisak-isak.
Telingaku terasa kedap, terasa angin menutup mata dan telingaku atau mungkin aku tidak mendengar apa-apa lagi. Tiba-tiba pandangan gelap dan sangat gelap.
Sore itu aku dan Ani menuju ke pemakaman, kulihat nisan yang masih segar terbujur disana, makam Hermawan. Tower Monasku telah hilang dari pandangan mataku.
Bayangkan jika Jakarta tanpa monas atau Paris tanpa Eiffel mungkin takkkan ada lagi orang-orang mendongakkan kepalannya sambil melindungi matanya dengan telapak tangan.
Engkau bagai Monas Tower bagi Jakarta atau bahakan Eiffel bagi Paris yang bisa aku lihat di tengah kerumunan orang-orang.
(Cerpen karya: Ali Maksum di muat di tabloid Dinamika edisi 17-Januari-2007, setelah mengalami berbagai perbaikan.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H