Aku mencoba mendengarkan cerita Ani yang begitu detil mengutip perkataan Hermawan dan di tangannya aku lihat gulungan kertas berukuran sedang dan aku yakin itulah lukisan Monas Tower. Sedari tadi dia hanya mondar-mandir di depanku dan kali ini dia mulai meletakkan tubuhnya di sofa. Aku simak lagi cerita gadis mungil ini.
“Malam harinya pukul delapan aku mendengar pintu di dobrak, aku mengintip keluar kamar dan itu adalah pintu Hermawan. Sekelompok laki-laki yang tidak aku kenal membawa Hermawan keluar flat tanpa membawa koper dan barang-barang lain yang sudah dia persiapkan”
Aku mulai hawatir dengan kelanjutan ceritanya
“Hermawan melirikku tanpa bisa berbuat bannyak diatas flat aku melihat mereka membawa Hermawan dengan mobil. Dan setelah itu tidak adakabar sampai esok hari.
“Keesokan harinya aku bertanya kepada orang-orang flat tentang kabar Hermawan karena aku yakin kejadian malam itu semua orang tahu hanya saja mereka tidak berani keluar”
“Dia sudah meninggal, di bunuh” kata mereka seraya menangis
Lanjut Ani “Hari itu mereka menemukan orang yang tidak di kenal meninggalkan sebuahh bungkusan plastik besar di halaman flat tidak ada yang berani membukanya kecuali salah seorang petugas keamanan. Mereka terkejut bahwa itu adalah mayat Hermawan, punggungnya bolong oleh peluru dengan tiga kali tembakan, hari itu juga kami menguburkan jenazahnya.”
“Bagi kami dia adalah orang baik yang amat dekat dengan orang miskin meskipun dia sendiri adalah dari lingkungan yang cukup berada” Aku mulai mengambil tisu diujung saku. Membasuh air mata yang seakan mengalir tanpa henti.
Ani memandangku dengan tajam namun dia tidak berhenti bercerita.
“Jalan hidup yang ia pilih yang membuat segalanya harus terjadi. Sebagai aktifis kampus yang mengkritik perilaku politikus negeri ini. Kata-katanya yang pedas di media membuat dia tidak di sukai”
“Dia juga mahasiswa yang berperan aktif menggulingkan orang yang pernah menjadi nomor satu di negeri ini dan aku yakin peristiwa itu terkait dengan kegiatannya di kampus dan para musuhnya”