Mohon tunggu...
Alif Febry
Alif Febry Mohon Tunggu... -

siapa saya ? ah hanya laki-laki biasa namun akan jadi luar biasa kelak saat menjadi seorang 'Ayah'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sebuah Bendera untuk Negeriku, Indonesia

24 Januari 2016   09:14 Diperbarui: 24 Januari 2016   12:22 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="surabaya.tribunnews.com/2015/12/20/bersatu-itu-indonesia"][/caption]REMBULAN menggantung pada hitamnya langit. Menghiasi pemukiman kumuh dibalik gedung-gedung megah yang menjulang tinggi. Sinarnya sesekali menyentuh kulit wajah seorang anak kecil yang tertidur pulas beralaskan lipatan kardus. Dipeluknya kotak kayu yang mempunyai gagang di atasnya. Posisi tidurnya seperti bayi dalam kandungan. Lelap sekali. Bahkan sekelas serangga penghisap darah pun tak dapat membangunkannya. Terdengar gemercik air memukul atap yang melindunginya. Mengagetkan semua serangga yang mengganggunya. Seaakan Sang Pencipta tak mau jika ada yang akan membangunkannya.

PAGI datang memberi tanda. Menyapa gang-gang kumuh tempat para pencari rupiah. Terdengar suara kaki yang bergesekan dengan tanah becek sisa hujan semalam. Mereka mendatangi tempat penghasil uangnya. Terlihat mereka mulai membersihkan lapak-lapak dagangan yang berada di depan tokonya masing-masing.

"Nak.. Nak bangunlah. Sudah pagi" [tangan salah satu pedagang menggepuk paha anak yang tertidur tepat di depan tokonya]. Seperti hal yang sudah biasa jika ada yang meniduri tokonya.

"i..iyaa.. pak" [terdengar suara lirih]. Sambil mencoba membuka kelopak matanya, anak itu menekukkan tubuhnya kemudian berdiri. Seakan kakinya tak kuat menopang berat tubuhnya.

"maaf pak saya terdidur dsini semalam" sambungnya sembari melipat kardus yang menjadi kasurnya semalam.

Bapak pemilik toko terlihat sibuk bermain dengan barang-barang dagangannya.

"heemmmm" hanya suara itu yang terdengar dari mulutnya yang tertutup.

Mentari belum memberikan cahaya hangatnya. Anak itu melangkahkan kakinya beranjak dari toko itu. Bahu kecilnya di paksa menggendong sebuah tas yang berisi baju-baju pemberian dari orang-orang yang telah ditemuinya. Tangan kanannya menjinjing kotak kesayangannya dan lengan kirinya digunakan untuk menjepit lipatan kardus yang rela menjadi alas tidurnya. Tidur tak perlu kasur, katanya

Cahaya hangat akhirnya muncul di sudut timur. Menyentuh tanah becek pemukiman kumuh itu. Sebut saja pasar yang berada di balik ramainya kota Metropolitan.

**

Kakinya tak lagi menginjak tanah becek. Sampailah ia di pinggir jalan yang menjadi pembatas pasar dan kota. Ia terus berjalan menyisiri ramainya kota. Berharap sesuap nasi dapat di belinya untuk mengisi ruang kosong dalam perutnya.

"pak, buk, mas, mbak. barangkali sepatunya mau di semir" tawarnya saat melewati satu persatu orang-orang yang berada di pinggir jalan. Namun tak ada yang menghiraukan tawarannya. Mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Matahari mulai meninggi. Dimana sengatnya akan terasa pada kulit bagian luar. Sampailah anak itu pada sebuah taman yang berada di tengah kota. Dihampirinya seorang pria berdasi yang sedang duduk di bangku taman membaca koran.

"maaf mengganggu. semir pak ?" tawarnya kembali.

[menekuk korannya ke bawah] "oh boleh boleh dek. kebetulan sepatu saya kotor"

Anak itu menaruh lipatan kardus dan tasnya tepat di samping bangku taman. Ia menunduk sambil lengan kirinya membasuh air dingin di dahinya. Tak peduli dengan bajunya yang mulai terlihat basah oleh keringat.

"permisi pak" ucapnya sambil mengangkat kaki berbalut sepatu hitam dan meletakkannya di atas kotak semirnya. Posisinya yang duduk membungkuk mirip prajurit yang berlutut kepada rajanya.

Sesekali kepalanya menengadah melihat gedung -gedung di balik punggung pria itu.

"itu gedung apa ya pak ? siapa saja yang berada disana ?" tanyanya sambil telunjuknya menunjuk ke arah gedung.

"oh itu gedung pemerintahan dek. tempat para orang-orang pintar yang memikirkan Negeri ini" sahut pria itu sesaat setelah menoleh ke belakang.

"berarti yang mau berada disana harus sekolah dulu ya pak ?" lanjutnya bertanya.

[membalikkan halaman koran] "ya.. iyalah dek. makanya sekolah yang bener biar pinter" jawabnya seakan tak tahu kalau anak yang berada dihadapannya itu tidak bersekolah.

"saya tidak sekolah pak. tapi saya juga ingin memikirkan indonesia. saya cinta sekali Negeri ini pak. bagi saya indonesia itu adalah seorang Ibu. ingin sekali saya memberikannya sesuatu. tapi apa yang dapat saya berikan. saya hanya tukang penyemir sepatu" gumamnya sambil terus asik menyemir sepatu yang dipegangnya.

Pria itu hanya tersenyum. Menatapnya penuh tanda tanya. Ia hanya terdiam tak berani menanggapi pernyataan anak berusia 13 tahun itu.

[menurunkan kaki pria kemudian memasukkan alat semirnya ke dalam kotak] "sudah selesai pak" suaranya mengagetkan lamunan pria itu.

Pria itu berdiri dihadapan anak itu sambil tangannya di arahkan ke belakang mengambil dompet dan mengeluarkan selembar uang berwarna hijau.

[berdiri lalu mengambil uang yang di ulurkan pria itu] "gak ada kembaliannya pak"

"sudah itu ambil saja kembaliannya" sahutnya sambil meninggalkan anak itu.

**

Senja hampir melihatkan gejolak warnanya yang jingga. Anak itu duduk di sebuah gundukan pembatas jalan. Ia bersandar pada tiang yang mempunyai bola lampu di atasnya. Kakinya di luruskan sambil kedua tangannya memijat paha yang sedari tadi di ajaknya mengelilingi kota. Terlihat wajahnya kusut terkena kerasnya kehidupan kota Metropolitan.

Setelah merasa istirahatnya sudah cukup. Ia langkahkan kembali kaki-kakinya meninggalkan tempat yang telah memberikannya seuap nasi.

Sampailah kembali ia pada tanah yang masih becek. Ia berpapasan dengan orang-orang yang mulai meninggalkan pasar itu. Kembali anak itu singgah di toko yang semalam telah ditidurinya. Terlihat bapak pemilik toko masih membereskan dan memasukkan barang-barang dagangannya.

"permisi pak. bolehkah saya tidur disini lagi nanti malam ?" ia berdiri tepat di samping pintu toko.

[terkejut] "oh kamu nak" [terdiam sesaat memandang wajah lusuh anak itu]

"loh kemana orang tuamu nak ?" sambung tanyanya.

"tidak tahu pak. dari kecil saya hidup sama kakek. kata kakek, orang tua saya sedang bekerja diluar sana. tidak tahu dimana".

"kakekmu kemana ?"

"meninggal seminggu yang lalu pak. setelah kakek saya meninggal rumah kami di ambil oleh orang-orang yang memakai jaket kulit hitam. mereka juga memakai kacamata. tak tahu siapa mereka. mereka cuma bilang kalau kakek saya punya hutang pak. tak tahu saya harus kemana lagi. hanya ini yang kakek titipkan" [menunjukkan kotak semirnya, kepalanya menunduk]

Bapak pemilik toko kembali terdiam. Terus dipandanginya anak malang itu. Ia bergumam dalam hati "kasihan sekali anak ini".

"yasudah kamu ikut bapak sebentar lagi. bapak punya gubuk tak terpakai di belakang pasar ini"

Tak ada jawaban dari anak itu. Ia hanya menunduk melihat tanah yang mulai basah karena tetesan air yang keluar dari matanya. Ia berharap bapak itu tak melihatnya.

[mengelus bahu anak itu] "sudahlah nak kau jangan menangis. kau tinggallah disana. siapa namamu nak ?".

"Paimin pak" sambil membasuh air mata dengan lengannya.

Sampailah mereka di gubuk milik bapak itu. Sebuah gubuk kecil yang didingnya terbuat dari anyaman bambu. Sebuah gubuk kecil yang hanya memiliki satu lampu tepat berada di tengah-tengahnya. Terlihat juga sebuah kasur lapuk yang beralaskan tanah.

"di belakang gubuk ini ada sumur. pakailah untuk keperluanmu. bapak harus pulang, jika butuh sesuatu temui bapak di toko" [berbalik meninggalkan anak itu, Paimin].

**

Pagi sudah tiba. Paimin terbangunkan oleh suara ayam jantan yang hinggap di atas gubuknya. Ia juga terbangun karena keringat yang membasahi tubuhnya pertanda semalam hujan tak kunjung. Berat sekali ia membangunkan tubuhnya. Seakan kasur lapuk itu tak mau ditinggalinya. Ia paksakan untuk bangun. Pikirnya, ia tak akan dapat sesuap nasi jika ia hanya berbaring di sana sepanjang hari.

Setelah membasuh wajah dan mengganti pakaiannya. Paimin beranjak dari gubuk itu. Kembali kaki-kakinya diajak untuk mencari sepatu-sepatu kotor. Dilewatinya gang-gang kecil yang melingkari pemukiman itu. Tak sengaja ia melewati sebuah sekolah. Satu-satunya sekolah yang berada di sana, di pemukiman kumuh.

Terdengar suara gemuruh di belakang Paimin. Ia terkejut dan menolehkan kepalanya ke belakang. Terlihat anak-anak seumurnya berlari ke arahnya. Tergesa-gesa sekali mirip maling yang di kejar warga. Mereka mengenakan seragam dan topi yang sama. Mereka melewatinya tanpa permisi. Lalu mereka memasuki gerbang sekolah tepat berada di hadapan Paimin. Seasaat tatapannya tertuju pada mereka. Ternyata mereka terlambat, upacara bendera sudah dimulai. Ya hari hari itu hari Senin.

Paimin menghentikan langkahnya sesaat setelah melewati jejeran gerbang masuk sekolah. Ia serongkan kakinya ke kiri tepat dihadapan pagar yang menghalangi pandangannya. Tangannya memegang rentetan pagar yang tersusun rapi. Di sela dua rentet pagar, wajah Paimin terhimpit bersamanya.

Saat bendera mulai naik dan terdengar lagu 'Indonesi Raya'. Saat tangan anak-anak itu di arahkan ke arah pelipis kanan dengan kepala yang sedikit menengadah. Serentak tatapan mereka tertuju pada bendera yang sudah berada di ujung tiang. Paimin pun mengikutinya di luar pagar.

Paimin melamun. Pandangannya tertuju pada bendera yang berkibar bebas. Terlihat jelas dari luar pagar. Ia terus memperhatikan. Dalam lamunannya ia berfikir, mengapa bendera itu terlihat kusam dan terlihat kotor pada bagian putihnya. Mengapa lambang yang menandakan kesucian Negeri ini sekotor itu. Atau mungkin orang yang bertanggung jawab atas kebersihan bendera tak sempat mencucinya. "ya mungkin tak sempat" ucap paimin. Ia terus berceloteh setelah meninggalkan sekolah itu.

Di perjalanan menuju kota - Di pinggir jalan, Paimin melihat sebuah toko yang menjual bendera. Bendera itu di gantung tepat di depan toko. Dihampirinya toko itu.

"harga bendera ini berapa mas ?" tanyanya sambil memegang bendera itu.

"40rb dek, itu ukurannya 3 meter" jawab pemilik toko.

Paimin terdiam. Ia menundukkan kepalanya melihat dan menghitung uang yang diperolehnya kemarin.

"oh iya mas makasih" sahutnya setelah terhitung uangnya tak cukup.

**

Seperti biasa saat hampir senja Paimin menyudahi pencariannya. Ia sampai di gubuknya tepat saat matahari sudah tak bisa berenang, tenggelam. Ia langsung membasuh badannya lalu ia merebahkan punggungnya pada kasur. Kedua tangannya berada di bawah kepalanya. Ia menatap langit-langit. Masih saja ia memikirkan bendera kusam di sekolah itu. Ingin sekali  ia menggantikannya dengan yang baru. Ia mencoba menghitung kembali uang hasil jerih payahnya.

"ah ini masih kurang" batinnya berbisik.

***

Tanpa sebuah topi yang dapat melindunginya dari terik matahari tak membuatnya mengeluh. Ia terus bersemangat mencari rupiah untuk membeli sebuah bendera. Mimpinya terus terbawa bersama langkah-langkah kecilnya.

Benar saja. Niatnya yang tulus membuahkan hasil. Jerih payahnya tak sia-sia. Ia berhasil mengumpulkan uang melebihi harga bendera itu sesaat setelah menghitungnya di sebuah bangku taman. Terlihat wajahnya kegirangan mirip saat cinta anak remaja yang baru diterima oleh pasangannya. Ia pun tak sabar ingin segera membelinya.

Sore Itu...

Paimin berlari penuh nafsu. Detak dantungnya tak beraturan. Ia datangi kembali toko pinggir jalan yang menjual bendera itu.

"saya ambil yang ini mas" tangannya kembali memegang bendera yang hampir membuatnya gila. Tanpa menawar harga semula ia langsung mengeluarkan uang yang sempat dilipatnya. Seketika rasa lelahnya sirna saat bendera itu sudah resmi menjadi miliknya. Ia lipat benderanya dan diselipkan pada kotak semirnya.

Paimin memacu kakinya kembali. Cepat sekali ia berlari mirip murid yang pada saat itu terlambat mengikuti upacara. Sampailah ia pada tempat yang ditujunya, sekolah. Ia bingung saat melihat gerbang sekolah sudah ditutup. Tapi ia tak kehabisan akal. Ia naik dan meloncati pagar. Tak peduli jika ada orang yang menegurnya.

Paimin sudah berada tepat dihadapan tiang bendera. Ia akan memulai ritualnya. Dilepasnya simpul tali yang terikat dan mulai menurukan bendera kusam itu. Lalu ia gantikan dengan yang baru. Naiklah Sang bendera perlahan-lahan menyusuri tali kusut itu. Terdengar lagu 'Indonesia Raya' dinyanyikannya. Burung-burung yang hinggap di dahan berkicauan seakan mereka juga ikut serta menyanyikannya.

Bendera baru pun telah berkibar di ujung tertinggi. Paimin mulai menengadahkan kepalanya. Dengan bangga ia melakukan hormat kepada Sang Merah Putih.

"Hanya ini yang dapat saya berikan kepada Indonesia" Katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun