"pak, buk, mas, mbak. barangkali sepatunya mau di semir" tawarnya saat melewati satu persatu orang-orang yang berada di pinggir jalan. Namun tak ada yang menghiraukan tawarannya. Mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Matahari mulai meninggi. Dimana sengatnya akan terasa pada kulit bagian luar. Sampailah anak itu pada sebuah taman yang berada di tengah kota. Dihampirinya seorang pria berdasi yang sedang duduk di bangku taman membaca koran.
"maaf mengganggu. semir pak ?" tawarnya kembali.
[menekuk korannya ke bawah] "oh boleh boleh dek. kebetulan sepatu saya kotor"
Anak itu menaruh lipatan kardus dan tasnya tepat di samping bangku taman. Ia menunduk sambil lengan kirinya membasuh air dingin di dahinya. Tak peduli dengan bajunya yang mulai terlihat basah oleh keringat.
"permisi pak" ucapnya sambil mengangkat kaki berbalut sepatu hitam dan meletakkannya di atas kotak semirnya. Posisinya yang duduk membungkuk mirip prajurit yang berlutut kepada rajanya.
Sesekali kepalanya menengadah melihat gedung -gedung di balik punggung pria itu.
"itu gedung apa ya pak ? siapa saja yang berada disana ?" tanyanya sambil telunjuknya menunjuk ke arah gedung.
"oh itu gedung pemerintahan dek. tempat para orang-orang pintar yang memikirkan Negeri ini" sahut pria itu sesaat setelah menoleh ke belakang.
"berarti yang mau berada disana harus sekolah dulu ya pak ?" lanjutnya bertanya.
[membalikkan halaman koran] "ya.. iyalah dek. makanya sekolah yang bener biar pinter" jawabnya seakan tak tahu kalau anak yang berada dihadapannya itu tidak bersekolah.