Seorang perempuan masa kini tidak lagi dinilai cantik bila: hidungnya tidak mancung, tubuhnya tak semampai, wajahnya tak berbentuk oval, rambutnya tidak tebal, terlalu kurus atau terlalu gemuk, kulitnya berwarna, dan sebagainya. Maksud saya, memiliki kulit berwarna di sini adalah ketika ada perempuan yang memiliki warna kulit eksotis seperti sawo matang atau bahkan berkulit gelap.
Di negara +62 ini, perempuan dengan pigmen warna kulit yang cenderung lebih gelap sering dicap tidak memenuhi kualifikasi perempuan cantik yang entah bagaimana landasan yang digunakan untuk menetapkan standar semacam itu.Â
Hal di atas masih diperparah dengan laju perkembangan IPTEK khususnya di bidang teknologi komunikasi yang membuat jagat dumay alias dunia maya sangat ramai.
Banyak akun yang kerap "memamerkan" standar perempuan sukses masa kini. Banyak hal yang dipamerkan. Mulai dari penampilan wajah dan tubuh. Rumah mewah. Barang branded. Kegiatan para hedonis seperti clubbing, shopping, party, travelling abroad atau hangout bareng squad. Pernikahan megah. Ulang tahun yang spektakuler. Aksi-aksi nyeleneh di luar nalar untuk cari sensasi, dan begitulah seterusnya dan sejenisnya.
Hal-hal demikian, sekarang ini sangat masif dilakukan oleh netizen. Hal yang membuat miris adalah sesuatu yang bersifat materiil sangat diagung-agungkan. Secara masif. Melibatkan para influencer. Harta, benda, tahta (jabatan atau popularitas) dan keluarga (terutama suami dan anak) ikut serta diekspos terus-menerus. Semakin ke sini, semakin dijadikan standar suksesnya seorang perempuan.
Jika sesuatu yang sejatinya bernilai salah namun diiringi oleh banyaknya pengulangan serta banyaknya orang yang melakukan, maka lama-kelamaan akan dianggap sebagai sesuatu yang benar. Akhirnya berpotensi diyakini dan dianut oleh lebih banyak orang. Kebenaran yang sepi (pengikutnya), lama-lama akan mati (ditinggalkan). Sedangkan kesalahan yang ramai (pengikutnya), bertransformasi menjadi kebenaran baru yang sejatinya semu.
Dalam menghadapi fenomena ini, sebagai perempuan kita harus waspada. Terutama yang masih berusia remaja akhir. Bahaya krisis laten di babak kehidupan usia 20 tahun yang saya kemukakan di awal.
Kesetiaan gadget di sisi kita, nyaris tidak ada yang menandingi. Begitu murahnya kuota data sekian puluh gigabyte. Begitu kuatnya jaringan 5G yang sebentar lagi di depan mata. Semuanya akan sangat memudahkan kita untuk mengakses nilai-nilai kebenaran yang semu itu tadi. Nilai-nilai yang menjadikan kekayaan materi sebagai standar perempuan dikatakan sukses.
Seringkali kita sendiri merasakan dampaknya. Ketika membuka akun media sosial dan melihat banyak gambar maupun video yang memamerkan materi, maka alam bawah sadar kita secara perlahan akan mencoba memahami situasi.
Alam bawah sadar akan mulai membanding-bandingkan keadaan diri kita dengan apa yang kita lihat. Alam bawah sadar akan mulai memberi penilaian, bahwa diri kita tidak cantik. Diri kita masih belum sukses dalam pekerjaan. Penghasilan masih belum bisa memenuhi hasrat hedonis. Merasa gagal karena tak mampu mendapat pasangan yang ideal menurut standar hedonis. Merasa rendah ketika rumah masih belum dimiliki sendiri. Merasa gagal karena belum juga dikaruniai buah hati. Begitulah seterusnya dan sejenisnya.
Apabila penilaian semacam itu masih dipelihara, maka tinggal menunggu waktu saja, ketika diri seorang perempuan akan mulai merasakan kondisi yang sangat tidak nyaman.