Mohon tunggu...
Alfina Fadilatul Mabruroh
Alfina Fadilatul Mabruroh Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya menjadi guru tamu untuk mata pelajaran Sosiologi di kurikulum merdeka. Saya guru Sosiologi kelas X yang memiliki kemampuan mengajar materi Sosiologi, merancang dan menyelenggarakan kegiatan pameran Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) program yang dirancang Kemendikbudristek.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori dari Sosiolog Klasik

11 Agustus 2024   21:31 Diperbarui: 11 Agustus 2024   21:48 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengantar

Tokoh Sosiologi atau disebut SOSIOLOG ada banyak sekali. Sosiologi pertama kali dicetuskan oleh Auguste Comte yang kemudian menjadi berkembang sebagai ilmu pengetahuan dengan kategori ilmu sosial. Pada perkembangan Sosiologi sebagai sebuah ilmu, sosiolog tersebar di berbagai penjuru dunia dengan 3 kategori yakni sosiolog. George Ritzer dalam buku Teori Sosiologi Modern edisi Ketujuh (2014) meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit, namun dalam karyanya itu dapat dilihat klasifikasi berdasarkan pada urutan waktu lahirnya teori sosiologi. Klasifikasi yang hampir sama juga dilakukan oleh Doyle Paul Johnson (1986) dalam bukunya Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Ritzer dalam bukunya membagi sebagai berikut:

  • Teori Klasik: Teori yang muncul di awal kelahiran Sosiologi. Fase ini ditandai oleh munculnya aliran seperti:

  1. Sosiologi Perancis dengan tokoh-tokoh: Auguste Comte, Emile Durkheim, dan Saint-Simon. 

  2. Sosiologi Jerman dengan tokoh-tokoh: Karl Marx, Max Weber, dan Georg Simmel. 

  3. Sosiologi Inggris yang dipelopori oleh Herbert Spencer.

  4. Sosiologi Italia dengan tokoh Vilfredo Pareto. 

  • Teori Sosiologi Modern: Teori-teori ini merupakan pengembangan dari aliran-aliran Sosiologi Klasik. Aliran-aliran utama dalam teori sosiologi modern ini meliputi:


    1. Fungsionalisme dengan sosiolog Robert King Merton dan Talcott Parsons yang menyempurnakan pemikiran Auguste Comte,  Herbert Spencer dan Emile Durkheim. 

    2. Teori Konflik dengan sosiolog Lewis Alfred Coser dan Ralf Dahrendorf yang menyempurnakan dan mengembangkan pemikiran Karl Marx tentang konflik kelas.

    3. Interaksionisme Simbolik dengan sosiolog George Hebert Mead, Chales Horton Cooley, Herbert Blumer yang mengkritik pemikiran Max Weber pada teori aksi.

    4. Fenomenologi dengan sosiolog Edmund Husserl, Alfred Schutz, Peter L. Berger yang mengembangkan  pemikiran Max Weber.

    5. Teori Pertukaran dengan sosiolog George Caspar Homans.

Selain sosiolog di atas, terdapat sejumlah sosiolog yang mengembangkan Sosiologi sebagai sebuah ilmu dengan berbagai macam teori seperti: Teori Neo-Marxis, Teori Sistem, Etnometodologi, Fenomenologi, Teori Jaringan, Teori Pilihan Rasional, Teori Feminis Modern, Teori Modernitas Kontemporer, Strukturalisme, dan PostStrukturalisme.

  • Teori Sosial Post-Modern: Aliran teori ini merupakan kritik atas masyarakat modern yang dianggap gagal membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan. Para sosiolog yang tergabung dalam aliran ini antara lain: 


    1. Theodor Adorno, Max Horkheimer, Jrgen Habermas, Herbert Marcuse, dan Erich Fromm yang merupakan soiolog-sosiolog yang sering disebut sebagai anggota dari pemikir Mazhab Frankfurt. Mereka memangtidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok ataupun 'mazhab' atau 'aliran', namun beberapa kajian menggolongkan mereka sebagai pemikir Mazhab Frankfurt mengingat mereka sudah melakukan pemikiran kritis atas pemikiran Karl Marx ketika di Institut fr Sozialforschung di Frankfurt, Jerman.

    2. Michael Foucoult

    3. Jean Baudrillard

    4. Jacques Derrida

    5. Jean Francois Lyotard

    6. Jacques Lacan

    7. Gilles Deleuze

    8. Felix Guattari

    9. Paul Virilio

    10. Anthony Giddens

    11. Ulrich Beck

    12. Zygmunt Bauman

    13. David Harvey

    14. Daniel Niel Bell

    15. Fredric Jameson.

Auguste Comte

Comte merupakan Bapak Sosiologi yang mengembangkan pemikiran di Perancis. Karya Comte dalam arti tertentu dapat dianggap sebagai reaksi melawan Revolusi Prancis yang menciptakan anarki di dalam masyarakat (Raho. 33-34: 2021). Guna mengatasi pemikiran keliru yang menyebabkan anarki itu, Comte mengembangkan fisika sosial yang kemudian disebut sosiologi. Ilmu baru itu dibaginya atas dua, yakni statistika sosial yang berhubungan dengan struktur sosial dan dinamika sosial yang berhubungan dengan perubahan sosial. Dalam kedua cabang ilmu itu dia ingin mencari hukum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Comte memiliki asumsi bahwa perubahan tidak harus dibuat melalui revolusi karena akibat-akibatnya sangat fatal. Sebaliknya perubahan bisa terjadi melalui proses evolusi dengan hasil yang lebih baik.

Guna menguatkan argumentasinya itu Comte mengemukakan teorinya tentang evolusi, yang disebutnya hukum tiga tahap. Menurutnya, dalam sejarah umat manusia ada tiga tahap perkembangan intelektual manusia, yakni:

  • Tahap pertama adalah tahap teologis yang berlangsung dari awal mula sampai dengan tahun 1300. Dalam tahap ini, manusia menafsirkan gejala-gejala alam yang terjadi di sekitarnya secara teologis atau sebagai disebabkan oleh allah atau dewa-dewi. 

  • Tahap kedua adalah tahap metafisis yang berlangsung dari tahun 1300-1800. Dalam tahap ini manusia menafsirkan gejala-gejala alam sebagai disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alam yang bersifat abstrak dan bukan oleh dewa-dewi.

  • Tahap ketiga adalah tahap positif yang merupakan tahap ini manusia menafsirkan gejala-gejala alam tidak lagi disebabkan oleh dewa-dewi atau kekuatan alam yang bersifat abstrak melainkan oleh hukum-hukum alam. Dengan hukum ketiga tahap itu, Comte menekankan pentingnya peranan intelek dalam menemukan hukum-hukum positif yang mengatur kehidupan masyarakat.

Herbert Spencer

Spencer adalah bapak Sosiologi kedua. Herbert Spencer (1820-1902) ialah sosiolog Inggris yang terkenal. Pokok-pokok pikiran Spencer hampir sama dengan Auguste Comte di Prancis. Keduanya sama-sama bersifat konservatif dalam arti bahwa mereka mendambakan suatu masyarakat yang stabil dan harmonis. Keduanya juga sama-sama mengembangkan teori tentang perubahan masyarakat yang bersifat evolutif. Dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin, Spencer berpendapat bahwa dunia berkembang ke arah yang semakin baik. Karena itu dia harus dibiarkan berkembang sendiri tanpa campur tangan dari luar sebab campur tangan dari luar malah akan memperburuk situasi. Dengan demikian ia tidak terlalu setuju dengan usaha-usaha reformasi atau revolusi. Dia berpendapat bahwa institusi-institusi sosial, sama seperti tumbuhan atau hewan, dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara sangat baik. Ia juga yakin bahwa seleksi alamiah terhadap makhluk hidup juga berlaku untuk dunia sosial. 

Spencer mengamalkan teori Darwin (evolusi), masyarakat disamakan dengan suatu organisme yang menurutnya: 

"Masyarakat adalah organisme! Semua gejala sosial diterangkan berdasarkan suatu penentuan oleh hukum alam. Hukum yang memerintah atas proses evolusi sosial. Manusia tidak bebas dalam hal ini, ia memainkan suatu peranan bebas dalam mengembangkan masyarakat."

Kekhasan Spencer dalam analisa sosialnya ialah bahwa ia membandingkan masyarakat dengan organisme biologis seperti hewan atau tumbuhan. Dalam hal ini, ia meminjam konsep dari dunia biologi. Dia sangat tertarik pada struktur masyarakat yang begitu kompleks dan hubungan salingbergantung di antara bagian-bagian dan fungsi dari bagianbagian itu terhadap satu sama lain dan terhadap sistem itu secara keseluruhan. Jadi, dalam analogi antara organisme dan masyarakat, dia menunjukan: 

  • pertama, evolusi sosial selalu terarah kepada situasi sosial yang ideal; 

  • kedua, masyarakat berkembang ke arah diferensiasi struktur untuk memenuhi fungsi-fungsi yang dituntut oleh masyarakat; 

  • ketiga, ia melihat konsekuensi dari evolusi sosial adalah peningkatan pembagian kerja; 

  • keempat, Spencer menyamakan evolusi sosial dengan evolusi dalam biologi, yakni yang kuat bertahan sedangkan yang lemah akan lenyap. 

Dalam hubungan dengan yang terakhir ini, Spencer bisa memahami mengapa dalam sejarah masyarakat tertentu bisa bertahan sedangkan masyarakat lainnya punah.

Karl Marx

Marx bukanlah seorang sosiolog dan tidak pernah menganggap dirinya sebagai sosiolog. Dia adalah seorang ahli ekonomi ketimbang seorang ahli sosiologi. Berbeda dengan sosiolog-sosiolog lain yang mengembangkan teori untuk menciptakan keteraturan di dalam masyarakat, Marx malah tertarik kepada fenomena penindasan yang dilakukan oleh kaum kapitalis terhadap kaum buruh. Dia ingin mengembangkan sebuah teori yang menjelaskan fenomena itu dengan maksud untuk menghilangkan sistem itu. Pokok perhatian Marx adalah terciptanya revolusi dan hal itu sangat bertolak belakang dengan pandangan Saint-Simon, Comte, ataupun Durkheim. 

Kunci untuk memahami Marx adalah idenya tentang konflik sosial. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk merebut aset-aset bernilai. Bentuk dari konflik sosial itu bisa bermacam-macam, yakni konflik antara individu, kelompok, atau bangsa. Tetapi bentuk yang paling menonjol menurut Marx nampak dalam cara produksi barang-barang material. Menurut Marx ada dua kelompok yang terlibat dalam proses produksi itu. Kelompok pertama adalah kaum kapitalis, yakni mereka yang mempunyai dan menguasai alat-alat produksi. Kekhasan mereka ialah menjual hasil-hasil produksi dengan harga yang jauh lebih tinggi dari biaya produksi sehingga mereka mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Kelompok yang kedua adalah kaum proletariat. Mereka adalah orang yang menyerahkan tenaganya untuk menjalankan alat-alat produksi kaum kapitalis dan sebagai imbalannya mereka mendapat upah dan bukannya barang yang mereka hasilkan.

Proses produksi yang demikian menyebabkan dua hal. Pertama, kaum proletariat mengalami alienasi dalam empat bidang, yaitu alinenasi dari pekerjaannya (mereka diperlakukan sebagai bagian dari alat produksi), alienasi dari hasil pekerjaannya (mereka tidak mendapatkan apa yang mereka hasilkan), alienasi dari pekerja lainnya (mereka terasing dan bersaing dengan pekerja lainnya), dan alienasi dari kemampuan manusiawi mereka (terasing dari kemampuan manusiawi mereka sendiri). Kedua, mereka mengalami konflik dengan kaum kapitalis. Konflik itu menjadi tak terhindarkan karena di satu pihak kaum kapitalis ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menekan upah buruh serendah-rendahnya. Di pihak lain kaum buruh juga menuntut upah setinggi-tingginya dengan resiko mengurangi keuntungan kaum kapitalis. Oleh karena keuntungan dan upah berasal dari sumber yang sama, maka konflik menjadi tak terelakkan. 

Marx berpendapat satu-satunya cara untuk keluar dari sistem kapitalis yang tidak adil itu ialah dengan melakukan revolusi. Tetapi ada syarat yang harus dipenuhi supaya revolusi bisa terjadi. Pertama, kaum proletariat harus menyadari diri bahwa mereka adalah orang yang tertindas. Kesadaran menjadi sangat penting untuk menciptakan perubahan. Kedua, mereka harus mengelompokkan diri dalam satu wadah atau organisasi. Secara individual buruh sulit memperjuangkan kepentingannya tetapi lewat organisasi mereka menjadi lebih kuat dalam memperjuangkan aspirasinya. Marx mengakui betapa sulitnya menciptakan kesadaran itu. Tetapi dia yakin pada suatu waktu dengan penyebaran informasi yang terus menerus (propaganda) mereka menyadari bahwa merekalah yang menentukan masa depannya sendiri.

Emile Durkheim

Durkheim juga cemas melihat ketidak-teraturan yang terjadi sesudah revolusi Perancis. Karena itu Dukrheim mencurahkan perhatiannya pada masalah keteraturan sosial (social order). Menurut dia, ketidak-teraturan sosial tidak harus menjadi bagian dari dunia modern dan dapat dikurangi dengan adanya reformasi sosial. Dalam hal ini ia berbeda dengan Marx yang menyarankan adanya revolusi untuk menciptakan perubahan di dalam masyarakat. Durkheim menulis banyak buku. Berikut merupakan beberapa bukunya:

  • Pada buku yang pertama The Rules of Sociological Method (1895/1964) dia mengemukakan bahwa tugas utama sosiologi adalah mempelajari fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial ini adalah kekuatan-kekuatan (hukum, norma, kepercayaan, agama) dan struktur-struktur yang bersifat eksternal terhadap individu tetapi mempengaruhi individu-individu. 

  • Bukunya kedua berjudul Suicide. Dalam buku itu ia menjelaskan pengaruh fakta sosial terhadap prilaku individu yang bunuh diri. Dalam mempelajari tingkataan bunuh diri pada kelompok, negara, wilayah, agama yang berbeda dia menemukan bahwa solidaritas yang terlalu lemah atau kuat dapat menyebabkan orang bunuh diri. Solidaritas yang terlalu lemah menyebabkan anomic suicide, sedangkan solidaritas yang terlalu kuat akan menimbulkan fatalistic suicide.  

  • Emile Durkheim, lebih lanjut membagi bunuh diri menjadi empat tipe tindakan bunuh diri, yaitu egoistic suicide, altruism suicide, anomie suicide, dan fatalistic suicide. 


    • Egoistic suicide merupakan tindakan bunuh diri yang terjadi karena integrasi sosial yang lemah. Hal tersebut terjadi karena tekanan berlebihan pada individu tetapi kurang dalam ikatan sosial pada kelompok sosialnya. Individu-individu ini berjalan terpisah sehingga tidak ada kerjasama atau kolektivitas dalam masyarakat. 

    • Altruism suicide merupakan bunuh diri yang terjadi karena integrasi sosial yang terlalu kuat. Solidaritas yang ada pada kelompok sosial tertentu sangat tinggi, sehingga manusia yang tergabung di dalamnya dituntut untuk mematuhi lingkungan. 

    • Anomie suicide merupakan bunuh diri yang terjadi karena tidak adanya pengaturan terhadap aspirasi dan tujuan individu. Maksudnya, perubahan-perubahan yang mendadak dalam masyarakat, seperti krisis ekonomi yang parah atau periode ekspansi menyebabkan norma yang berlaku sebelumnya dilepaskan. Durkheim, menjelaskan keinginan dan kebutuhan manusia tidak akan pernah ada habisnya. Kedua hal tersebut dihambat oleh adanya norma-noema yang ada dalam masyarakat. Ketika hambatan ini hilang, maka keinginan manusia akan menjadi lepas kendali. 

    • Fatalistic suicide merupakan bunuh diri yang terjadi karena meningkatnya aturan-aturan yang ada dalam masyarakat. Aturan yang kuat ini terlalu kuat dan dirasa berlebihan. Individu yang tidak siap akan tertekan oleh norma dan tatanan nilai yang ada. Faktor-faktor sosial, seperti ketidaksetaraan ekonomi, dukungan sosial, tekanan budaya, dan perubahan sosial, juga dapat memengaruhi berbagai tipe bunuh diri. Oleh karena itu, analisis kajian bunuh diri harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial ini dan mengidentifikasi tipe bunuh diri yang paling relevan dalam situasi tertentu .

  • Pada buku yang ketiga The Division of Labor in Society, dia menganalisa ikatan-ikatan sosial pada masyarakat primitif dan masyarakat modern. Dalam masyarakat primitif ikatan sosial itu adalah moralitas bersama atau kesadaran kolektif yang disebut solidaritas mekanik. Sedangkan dalam masyarakat modern yang ditandai oleh patologi akibat pembagian kerja yang sangat ketat hampir tidak ditemukan kesadaran kolektif seperti pada masyarakat primitif. Guna menjaga kestabilan masyarakat tidak perlu ada revolusi tetapi hukum-hukum atau norma-norma (solidaritas mekanik) yang mengatur kehidupan bersama.

  • Pada buku yang terakhir The Elementary Forms of Religious Life, Durkheim melaporkan hasil penelitiannya tentang masyarakat primitif untuk mencaritahu asal-usul kehidupan agama. Dalam penelitiannya itu, dia menemukan bahwa asal-usul atau sumber dari agama adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat itu sendiri mendefinisikan hal-hal tertentu sebagai sakral dan hal-hal lainnya sebagai profan. Dalam kasus yang diselidikinya, klan atau suku adalah sumber dari agama primitif yang disebut totemisme. Dalam totemisme binatang-binatang atau tumbuhan-tumbuhan tertentu disakralkan atau dianggap semacam dewa. Karena itu, totem dapat dianggap sebagai salah satu bentuk khusus dari fakta sosial yang bersifat non-material atau salah satu bentuk kesadaran kolektif.

Pada akhirnya Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dan agama atau kesadaran kolektif adalah satu dan sama. Agama merupakan satu cara di dalamnya masyarakat mengungkapkan dirinya dalam salah satu bentuk fakta sosial yang bersifat non-material.

Max Weber

Max Weber mengartikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha memahami sebuah tindakan sosial. Menurut Max Weber, ada dua macam tindakan sosial, yakni tindakan sosial yang rasional dan disebut tindakan rasional dan ada tindakan sosial yang non rasional dan disebut tindakan non rasional. Tindakan rasional dalam pemahaman Weber selalu berkaitan dengan pertimbangan sadar sebelum seseorang melakukan sebuah tindakan. Tindakan rasional itu dibagi atas dua yakni tindakan rasional instrumental (rationalitas instrumental) dan tindakan rasional yang berorientasi pada nilai (rasionalitas berorientasi nilai). Sedangkan tindakan non-rasional juga dibagi atas dua yakni tindakan tradional dan tindakan afektif. Dengan demikian ada empat tindakan sosial yakni tindakan rasional instrumental, tindakan rasional berorientasi nilai, tindakan non-rasional tradisional, dan tindakan non-rasional afektif (Doyle Paul Johnson, jilid 1: 220-222). Penjelasan lebih lanjut tentang keempat tindakan sosial itu adalah sebagai berikut:

  • Pertama, tindakan rasional instrumental adalah tindakan yang ditujukan pada pencapaian tujuan-tujuan yang secara rasional telah diperhitungkan si aktor bersangkutan. Di dalam tindakan ini si aktor telah mendefinisikan apa yang mau dicapai melalui tindakan itu dan apa instrumen, alat, atau means untuk mencapai tujuan tersebut. Tindakan rasional instumental nampak dalam sistem pasar yang impersonal. Di dalam sistem pasar yang impersonal kita melakukan transaksi melalui mesin-mesin atau mediamedia online dan tidak perlu melakukan transaksi langsung atau tatap muka dengan pihak lain. Tindakan rasional instrumental ini juga nampak dalam organisasi birokratis di dalamnya orang-orang diperlakukan sebagai instrumen atau bagian dari birokrasi dan bukannya sebagai seorang pribadi yang mempunyai perasaan, kehendak, ataupun kerinduan. 

  • Kedua, tindakan rasional yang berorientasi nilai. Tindakan jenis ini berkaitan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada nilai-nilai. Contoh dari tindakan rasional yang berorientasi pada nilai adalah tingkahlakutingkahlaku keagamaan seperti beribadat para hari Minggu atau sholat pada hari Jumat, berdoa, meditasi, menyanyikan lagu puji-pujian. Dalam tindakan ini, orang melakukan sesuatu karena percaya pada nilai-nilai tertentu seperti keselamatan, kebahagiaan, keberhasilan dalam hidup di dunia dan di akhirat. Mereka percaya bahwa kalau mereka pergi berdoa pada hari Minggu atau sholat pada hari Jumat, maka mereka akan memperoleh keselamatan atau kebahagiaan dalam hidup. 

  • Ketiga, tindakan non-rasional yang bersifat tradisional. Dalam tindakan non-rasional yang bersifat tradisional, orang melakukan sesuatu hanya karena kebiasaan atau sudah terwarisi dalam tradisi. Pertimbangan utamanya adalah kebiasaan atau tradisi walaupun tindakan tersebut tidak mempunyai nilai ekonomis atau tidak menguntungkan. Seorang individu melakukan sesuatu yang pernah dilakukan sebelumnya. Misalnya, orang tidak berani membuka kebun di tanah rawa-rawa karena ada kepercayaan bahwa orang akan jatuh sakit atau mungkin meninggal sebagai akibat kemarahan roh-roh halus yang tinggal di sekitar mata air itu. 

  • Keempat, tindakan non-rasional afektif. Tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau afeksi tanpa terlalu banyak melakukan pertimbangan-pertimbangan rasional. Misalnya, mengapa seseorang membantu para korban yang terdampak bencana alam. Alasan seseorang membantu para korban terdampak bencana alam adalah rasa iba, belaskasih, dan solider. Dalam tindakan non-rasional afektif (Selengkapkanya: Dalam tindakan non-rasional afektif) orang mungkin tidak lagi memperhitungkan untung-rugi dari segi ekonomis dari tindakan tersebut. Mungkin secara ekonomis dia rugi tetapi hal itu tidak menjadi alasan bagi dia untuk tidak membantu karena dia memiliki nilai belaskasih atau solidaritas. Keempat tindakan sosial tersebut di atas merupakan tipetipe ideal. Tipe ideal adalah terminologi yang digunakan oleh ilmuwan sosial untuk menangkap karakteristik-karakteristik penting dari sebuah fenomena. Dengan kata lain, tipe-tipe ideal adalah unsur-unsur konstitutif dari sebuah fenomena atau ciri-ciri utama dari sebuah fenomena. Kata ideal di sini tidak ada hubungan dengan nilai kebaikan atau sesuatu yang positif melainkan ciri-ciri dari sebuah fenomena. Contoh-contoh dari tipe-tipe ideal adalah keempat jenis tindakan sosial tersebut di atas masing-masing dengan karakteristik mengapa suatu fenomena itu disebut tindakan rasional istrumental, sedangkan lainnya disebut tindakan rasional berorientasi nilai. 

Tipe-tipe ideal yang diuraikan oleh Max Weber sering kali berbeda dengan realitas di lapangan. Contoh, seorang sosiolog bisa saja mengatakan bahwa penggunaan salib atau rosario oleh seorang Katolik merupakan tindakan rasional yang berorientasi nilai karena tindakan tersebut didasarkan pada nilai-nilai keagamaan. Tetapi ketika orang Katolik itu ditanyai mengapa dia memakai salib atau rosario, boleh jadi orang itu menjawab bahwa ia menggunakan salib atau rosario semata-mata karena tradisi saja sebagai orang katolik. Di dalam hal ini orang itu tidak melakukan sebuah tindakan sosial yang berorientasi nilai, melainkan tindakan nonrasional tradisional. 

Kemudian Max Weber mengelaborasi lebih jauh masalah rasionalitas atau rasionalisasi. Persoalan yang menjadi pertanyaan pokok untuk Max Weber adalah mengapa institusi-institusi di dunia Barat berkembang pesat sedangkan di belahan dunia lain berjalan secara perlahan. Menurut Max Weber, hal itu disebabkan oleh rasionalitas atau rasionalisasi. Dunia Barat lebih rasional ketimbang dunia Timur. Bagi Weber, rationalitas berarti pertimbangan-pertimbangan yang dibuat sebelum orang melakukan sesuatu. Pertimbangan-pertimbangan itu menyangkut tujuan sebuah tindakan dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan itu (rasionalinstrumental). Weber melihat bahwa birokrasi adalah contoh dari rationalitas. Dalam sistem birokrasi orang mencari caracara yang rasional untuk mencapai tujuan. 

Selanjutnya, Weber memperluas diskusi tentang birokrasi itu ke dalam institusi-institusi politik. Dia membedakan tiga macam otoritas di dalam institusi politik, yakni otoritas tradisional, otoritas kharismatik, otoritas rasional-legal. Menurut dia, otoritas rasional-legal memacu pertumbuhan birokrasi. Sedangkan otoritas tradisional dan karismatik menghambat pertumbuhan birokrasi. Berdasarkan studi perbandingan yang dibuatnya di Eropa, India, dan Cina dia menemukan bahwa otoritas tradisional dan karismatik sangat dominan di India dan Cina sedangkan otoritas rasional-legal sangat dominan di Eropa sehingga birokrasi bertumbuh dengan subur di Eropa. Dalam otoritas yang rasional-legal seorang pemimpin dipilih berdasarkan undang-undang yang dibuat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. 

Selain membuat analisa tentang hubungan antara rationalisasi dan birokrasi, Weber juga mendiskusikan hubungan antara agama dan kapitalisme. Dalam penelitiannya, Weber mencaritahu mengapa sistem ekonomi yang rational seperti kapitalisme bertumbuh subur di Eropa Barat daripada di bagian-bagian dunia lainnya. Dalam studinya dia menemukan bahwa sistem kapitalisme yang rasional itu mempunyai hubungan dengan sistem kepercayaan Calvinisme. Dia menjelaskan argumentasinya itu di dalam bukunya yang berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitilism. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun