Mohon tunggu...
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim Mohon Tunggu... Administrasi - biasa saja

orang biasa saja, biasa saja,,,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Klan Aristokrat Hulu Sungai Kalimantan Selatan

2 November 2024   00:22 Diperbarui: 2 November 2024   00:22 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

"Tulisan ini sebenarnya saya persiapkan untuk karya ilmiah dengan standar jurnal tertentu, namun sepertinya akan memakan waktu lama, maka saya putuskan saja untuk mempublis disini dengan bahasa populis, saya memohon maaf dengan catatan kaki yang masih amburadul."
"Tulisan ini saya persembahkan untuk seluruh kabupaten di Hulu sungai, yang mana di bulan desember nanti akan banyak berulang tahun."
"tulisan ini juga adalah ekspresi permintaan maaf saya kepada seseorang, selama 20 tahun saya menyimpan dendam, tapi hari ini saya mulai memahami apa yang terjadi dimasa lalu, saya lah yang bersalah, mungkin ada janji yang belum saya tepati, ada tingkah laku saya yang kurang tepat dan semua itu membuat dia sedih, untuk itu saya memohon maaf, saya tahu tidak mudah untuk memperbaiki keadaan dan menata hati, tapi saya selalu berharap dia tersenyum (dia sangat cantik ketika tersenyum), tidak berputus asa, dan mau memaafkan saya."


Mengenal Klan Aristokrat Hulu Sungai kalimantan Selatan

Oleh: Andin Alfianoor Ansyarullah Naim

Memudiki Barito dari Muara Barito menuju ke Banjarmasin mungkin akan membosankan, hal berbeda akan terasa ketika kita sampai di Marabahan, sebuah persimpangan Sungai kita dapati, butuh waktu beberapa jam dari muara barito dengan kapal atau perahu mesin menuju Marahaban.

Marabahan, sesuai namanya adalah muara dari Sungai Bahan, yang merupakan salah satu anak Sungai Barito, Sungai Bahan mengalir dari sebelah timur laut dari Sungai Barito, Sungai Bahan hari ini lebih terkenal dengan sebutan Sungai Negara dan pernah suatu hari dahulu disebut dengan Sungai tabalong. Sungai Barito datang jauh dari utara berhulu di Pegunungan muler, sedangkan Sungai Bahan mengambil airnya dari sumber-sumber di sepanjang deretan Pegunungan Meratus di sebelah timur laut Sungai Barito.

Pegunungan Meratus memanjang dari selatan ke utara hampir tegak lurus, beberapa anak-anak Sungai Barito yang terkenal di daerah Kalimantan selatan selain dari Sungai Bahan adalah Sungai Martapura, Sungai Alalak dan beberapa Sungai besar lain di utara yang kini masuk wilayah Kalimantan Tengah.

Pulau Kalimantan bagian selatan yang meliputi wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Sebagian besar merupakan daerah-daerah yang dengan banyak sungai kecil,  berawa-rawa serta lahan gambut, bahkan dahulu (sebelum perkebunan sawit tumbuh subur menggusur hutan-hutan), sebagian besar hutan-hutan besar pun tumbuh di dalam rawa-rawa, di musim kemarau tanah menjadi kering dan becek dengan wilayah tanahnya tetap tak mudah dijalani dengan kaki-kaki manusia, karena ditutupi akar-akar pohon berlumut dengan jebakan lubang-lubang di antara akar pohon itu sangat berbahaya, dan Hutan-hutan itu pula rentan terhadap kebakaran. ketika musim hujan sebagian besar wilayah itu menjadi banjir dengan waktu yang lama dalam beberapa bulan dan daerah-daerah rawa pun berubah menjadi bak lautan luas tanpa batas, dipenuhi lautan nyamuk yang siap menyerang kapan saja, dimana-mana hutan-hutan besar dengan pohon-pohon tinggi yang menutupi permukaan tanah dari cahaya matahari dengan tanahnya yang tetap banjir.

Di Kalimantan Selatan dan Tengah, modernitas semenjak pembangunan di abad 20 yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda mula membangun jalur darat secara lebih serius, hingga hari ini jalan darat tersebut masih kita gunakan, meski dilain sisi ada dampak dengan pelan dan pasti menghilangkan budaya transportasi Sungai, yang berdampak dengan pelan menghilangkan ingatan akan budaya sungai itu pada generasi mudanya bertahun-tahun setelahnya, Hal yang kemudian juga berdampak sangat kuat bagi generasi baru untuk memahami daerahnya sendiri ketika banyak hal dalam budaya mereka yang masih beraroma sungai tapi limbung ketika ditatap dengan kacamata daratan yang dimiliki oleh generasi mudanya.

Pada kalimantan selatan terdapat dampak lainnya yaitu berubahnya pusat ekonomi dan peradapan ke daerah baru yang dibangun kolonial dengan berbasis daratan, khususnya daerah-daerah di Afdeling Hulu Sungai. Distrik-distrik lawas seperti Distrik Negara, Distrik Margasari, Distrik Amuntai yang merupakan wilayah kuno terkenal dan menjadi pusat peradapan selama ratusan tahun. Sebagai salah satu pusat kebudayaan kuno berbasis Sungai dan rawa dalam perkembangannya telah dikalahkan pamornya oleh Kota-kota baru yang dibangun pemerintah Kolonial seperti kota Rantau, Kota kalua, Kota Tanjung, Kota Kandangan dan Kota Barabai sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian baru yang dibangun di awal abad 20. Ibukota Afdeling pun dipindah dari Kota Amuntai Ke Kota Kandangan, kota-kota di daratan ini dibangun untuk pengawasan daerah dengan akses yang lebih nyaman yaitu moda trasportasi darat dan juga merespon berkembangnya ekonomi berbasis perkebunan yang didorong Belanda, seperti perkebunan tembakau dan karet yang sukses besar di Afdeling Hulu Sungai dari awal abad 20.[1] 

 

Daerah-daerah rawa-rawa yang dahulu menjadi pusat peradaban yang metropolis dan modern sesuai jamannya berubah menjadi lebih tertinggal dan meredup daripada kota-kota baru yang dibangun oleh pemerintah Kolonial di daerah daratan. Daerah-daerah lama tersebut, meski dengan penduduknya tidak pernah berkurang (tidak menyusut), semakin terlupakan dan tak dikenal dengan baik lagi oleh generasi baru di daerah daratan. Dahulu ada istilah orang darat, yaitu sebutan mengejek dari penduduk kota pinggiran Sungai negara atau batang banyu kepada orang-orang yang berada di daratan dengan konotasi yang negative seolah-olah orang darat yang di pedalaman tersebut kurang berbudaya dan modern, sekarang meski istilah itu masih ada terdengar namun rasanya terasa seolah sudah terbalik.

 

Laporan pertama mengenai hulu sungai ada dalam buku karangan van De roy terbit tahun 1700 berdasar laporan perjalanan tahun 1690[2], dalam laporan ini memberikan informasi mengenai tokoh, kota-kota di hulu sungai, penguasa dan ekonomi  Hulu Sungai. Kapten Harvard tahun 1790 an memberikan laporan di Tabalong terdapat besi , Batu bara, minyak yang keluar dari tanah, serta timah[3]. Selama abad ke 18 atau tahun 1700an, Kota Negara Daha menjadi ibukota Banua lima atau kota-kota di bantaran sungai negara dan sungai tabalong dan menjadi pusat perdagangan lada di pedalaman, lada menjadi salah satu penyebab utama konflik ekseternal dan internal di Kerajaan Banjar pada abad ke 18, karena itu wilayah di sungai Bahan dan sungai Tabalong merupakan wilayah Kesultanan banjar yang dipimpin oleh seseorang yang ditunjuk oleh istana Martapura yang terkadang penguasa di Negara Daha lebih berpengaruh dari sultan di martapura atau kayutangi. Banyak tokoh-tokoh pemimpin Kota Negara Daha yang menjadi pemimpin berpengaruh dan menjadi saingan sultan di martapura[4], sebut saja seperti seorang saudara sultan yang Bernama Sultan Negara, pangeran mas dipati, Dipati Jaya Negara, raden pembayun,[5] Kiai adipati singasari, tumenggung dipanata atau yang kemudian setelah pembubaran kesultanan Banjar bergelar Raden adipati danureja dibawah pemerintahan belanda lansung. dilaporkan sering sekali konflik antara para mantri di Negara dan Sultan Martapura mengenai perdagangan Lada berakhir dalam pemberontakan dan perang.[6] 

 

Dalam laporan perjalanan muller ke Hulu sungi tabalong tahun 1840, beliau melaporkan mengenai lokasi candi laras yang sangat luas, tapi tidak memberikan informasi mengenai posisi candi di amuntai, pada saat di negara beliau dijemput pemimpin negara yang Bernama Raja Mahmud Saleh,  beliau juga menambahkan bahwa wilayah yang hari ini disebut Barito Timur merupakan bagian dari kekuasaan hulu sungai.[7]

 

Hari ini jika kita memudiki Sungai Bahan, kita akan menemui beberapa perkampungan dengan penduduk yang mulai memadat semakin ke hulu, Distrik-distrik terkenal seperti Distrik Margasari, dan Distrik Negara.

 

Pada Distrik Margasari terdapat Muara Muning yang merupakan hilir dari Sungai Tapin, pada Distrik Margasari jua terdapat situs Candi Laras yang luasnya menurut  Muller hampir 100x100 meter, sebuah peninggalan dari Kerajaan bercorak Hindu Budha yaitu Kerajaan Dipa. Sungai muning mengalir jauh ke timur memanjangi rawa-rawa dan menuju daratan yang lebih kering dan menaiki Pegunungan Meratus. Ada beberapa anak Sungai muning yang bisa kita ketahui seperti Sungai Tapin dan Sungai Tatakan. 

 

dan mempunyai legenda tersendiri mengenai asal usul Namanya[8]. Sebutan "Margasari" terdengar sangat sansekerta yang diduga sudah ada semenjak awal pengaruh Hindu-Budha memasuki daerah Hulu Sungai, Margasari menjadi pintu gerbang menuju pedalaman Hulu Sungai dan menjadi batas khayal perbatasan Distrik Hulu Sungai dan daerah-daerah Kuala atau Pesisir. Seorang sejarawaran berdarah Margasari Pa Nanang pernah berujar di Margasari lah peradapan orang Hulu Sungai dimulai dan diakhiri, sebuah anekdot yang beliau sarikan berdasar data historis Margasari yang dimulai ketika bangunan Candi dibangun oleh orang-orang keling,[9] kemudian membangun Kerajaan modern dengan gaya hindu budha, dari margasari lah mereka memasuki lebih jauh kedalam menuju pusat hulu Sungai yang lebih banyak penduduknya dan menyatukan mereka dalam kesatuan politik baru dengan terbangunnya Kerajaan-kerajaan seperti Man Sarunai, Tanjung Puri, Dipa, Daha. 

 

Margasari pernah menjadi pelabuhan kerajaan Dipa dan Daha, membawa kemakmuran bagi kerajaan tersebut, dalam sebuah massa revolusi politik dimasa-masa akhir Kerajaan Daha di Margasari lah tempat pertempuran terakhir antara Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera yang mengakhiri kerajaan Daha dan dimulainya stabilitas Dinasti baru Wangsa Suriansyah dalam Kesultanan Banjar yang bercorak Islam dan mewarisi seluruh wilayah kerajaan Daha yang menguasai hampir tiga per-empat pulau Kalimantan. Beberapa ratus tahun kemudian di Margasari yang terlupakan kembali membuka pintunya dengan Pemberontakan Datu Aling di Tambai Makkah dekat kampung Lawahan di anak Sungai Muning Margasari, yang mengakibatkan kesultanan banjar akhirnya dibubarkan oleh Kolonial belanda dan menyambut era pemerintahan modern ala Kolonial Hindia Timur Belanda.

 

Berlayar beberapa jam lagi menuju Utara, kita akan mendapati Distrik Negara, dikenal juga Kota Negara Daha, distrik tua lokasi ibukota Kerajaan Daha, yang berada tepat di ujung Sungai Bahan. Di Negara Daha Sungai Tabalong dan sungai Batang Alai Besar bertemu dalam sebuah pertigaan dan membentuk Sungai Bahan. Kota Negara Pernah pusat ekonomi dan politik utama Hulu Sungai selama ratusan tahun dari masa Kerajaan Daha, Kerajaan Banjar, Kolonial Belanda sampai masa Kemerdekan di tahun 70an.

 

kota Negara merupakan bekas ibukota Kerajaan Daha, kota Negara sangat stategis karena berada ditengah-tengah hulu Sungai, dan merupakan daerah pertemuan Sungai tabalong dan Sungai Alai. Sebagai sebuah kota di tengah Rawa-rawa pada dasarnya mempunyai persimpagan banyak aliran Sungai besar maupun kecil, alami ataupun buatan manusia. Negara tidak hanya terhubung ke Sungai barito melalui Sungai bahan yang mengalir ke arah selatan yang bermuara di Muara bahan, tapi juga terhubung ke Sungai barito melalui Sungai Tabalong yang tidak jauh di utara kota Negara. Ketika kita menuju utara lagi memudiki Sungai Tabalong, kita akan bertemu distrik Amuntai, dimana kampung-kampung penting berada, seperti Alabio, Sungai banar dan Kota Amuntai, Kalua dan Tanjung sampai ke ujung wilayah Muara uya, dan daerah-daerah yang hari masuk wilayah Kabupaten Barito Timur yang dahulu masuk dalam wilayah administratif Hulu Sungai.

 

Kota Amuntai dipercaya sebagai pusat Kerajaan Negara Dipa, di Amuntai pula dipercaya selama ratusan tahun ada gunung candi, yang kemudian dieksavasi pad atahun 1960an dan berhasil ditemukan reruntuhan bangunan kuno yang hari ini disebut Candi Agung yang berada tepat di tengah-tengah kota Amuntai. Ada aliran sungai yang menuju daerah bernama Danau Panggang, dahulu disebut pulau dengan sebutan telaga Panggang, dimana salah satu aliran Sungainya mengalir ke Sungai Barito yang disebut dengan muara Paminggir, jarak antara kota negara dan barito sebenarnya tak terlalu jauh,yang artinya jarak hulu Sungai dengan Sungai Barito adalah dekat sekali.

 

Paminggir adalah jalur kuno yang menghubungkan antara hulu Sungai dan pedalaman barito di utara, dan juga menghubung ke daerah dayak besar dan dayak kecil. Pembicaran mengenai hubungan hulu Sungai dengan daerah barito jarang didiskusikan, padahal jika melihat besarnya kerajaan Dipa dan kerajaan Daha tentu memerlukan sumber daya yang besar pula untuk membangun dan mempertahankannya, dan hulu Sungai tidak bisa serta merta diputuskan hubungannya dengan daerah pedalaman sebagai penopangnya. Saya menyakini hubungan antara hulu Sungai dan pedalaman barito dan daerah dayak besar dan dayak kecil tetangganya adalah sebuah hubungan yang kuat dan saling mengisi, maka bisa saja orang-orang hulu Sungai sebagian juga berasal dari pedalaman, atau malah sebaliknya. Hulu Sungai dimana beebrapa kerajaan pernah berdiri merupakan pusat Peradapan Barito yang sebenarnya, melalui Barito lah interaksi dengan pedalaman dan bahkan seluruh kalimantan terjalin baik secara politik maupun ekonomi dan kebudayaan.

 

Beberapa daerah yang disebut dalam laporan De Roy pada tahun 1690 diketahui didaerah yang kita kenal saat ini sebagai margasari, muara piau dan sebagainya,[10] selanjutnya dalam laporan kapte harvat 1790 atau seratus tahun kemudian wilayah di pedalaman margasari seperti Sungai Tapin disebut sebut[11]

 

Dari Kota negara, kita bisa juga memudiki sungai alai yang datang mengalir dari sebelah timur laut, dari sana kita akan menemui sebuah Danau besar, bernama Danau bangkau, Danau Alami terbesar kedua di kalimantan Selatan. Daerah ini disebut pula dengan sebutan Alai, daerah lawas yang terkenal dengan sumber daya alam dan manusianya. Sungai-sungai terkenal ada disini seperti sungai Batang Alai, Sungai labuan Amas, sungai tabu darat, sungai taniran, Sungai Amandit yang semuanya bermuara ke Danau Bangkau. Secara geografi daerah Alai berada disebuah lembah yang cantik yang berbeda dengan daerah sekitarnya Alai mempunyai suhu cuaca yang lebih dingin dan sejuk dengan pohon-pohon yang lebih hijau, seorang penulis dari kolonial Belanda menyebut Alai dan Amandit sebagai sebuah daerah yang indah daripada daerah sekitarnya,[12] ada beberapa penyebutan lain seperti bandung van borneo atau batu van borneo untuk daerah Alai pernah disebutkan dalam beberapa tulisan[13]. Beberapa kemungkinan yang bisa kita telisik sendiri mengenai penilaian diatas, misalnya iklimnya yang lebih dingin dari daerah sekitarnya, dimana pepohonan lebih hijau dan udara lebih dingin dan segar, banyak persawahan dan pemandangan pegunungan yang bisa dikatakan cukup indah, suasana yang mengingatkan mereka seperti daerah pedalaman pulau jawa bagian barat yang banyak dihampari persawahan dan pemandangan pegunungan yang khas, atau daerah-daerah indah lainnya di sumatera barat, apalagi disertai dengan udara yang lebih dingin yang segar. Kemiripan alam ini lah yang sangat mungkin menjadi sebuah pembanding paling masuk akal mengenai barabai dan bandung. 

 

Informasi tertulis yang menyebut daerah "Alai" cukup ramai dalam buku-buku yang terbit tahun 1700an, dan menjadi lebih banyak lagi selama perang Hulu sungai yang dimulai tahun 1860. Hikayat Banjar menyebut wilayah Alai ini, bisa saja tidak ada informasi tertulis yang ditemukan mengenai batang alai hingga hari ini yang lebih tua dari hikayat banjar, buku laporan barat yang mungkin sejaman dengan hikayat Banjar adalah buku The roy yang terbit diawal 1700an. Di lain sisi mengenai wilayah hulu Sungai sendiri dapat ditemukan pada informasi Negarakertagama majapahit yang nama Tabalong sebagai wilayah pengaruh Majapahit, dan ini diangga lebih tua dari hikayat banjar, tapi Negarakertagama tidak menyebut wilayah Alai.

 

koleksi diambil dari Buku Francoin Valentyn
koleksi diambil dari Buku Francoin Valentyn

Peta kerajaan jatuh dari buku Karangan Francoin Valentyn  dengan judul
Oud en nieuw Oost-Indie "Verhandeling Der Zee Horenkesns En Zee Gewassen In en omtrent Ambonia  En de naby gelegene Eylanden, Mitsgaders een naaukeurige Befchryving van Banda en de Eylanden onder die Landvoogdy begrepen. Als ook der Eylanden Timor en Solor , Celebes ofte Macasar , Borneo en Bali. Mitsgaders van de Koningryken Tonkin, Cambodia, en Siam" yang terbit tahun 1726 pada halaman 236

  

De roy yang melaporkan beberapa nama kota diwilayah yang disebut alai tahun 1690 beberapa nama daerah di wilayah yang disebut Alai,  Rombongan De Roy disambut oleh seorang tokoh Pemimpin Yang Bernama Tumenggung Gusti yang istananya berada di kampung Banua Assam, De roy Bersama Tumenggung Gusti kemudian menghadap seorang Raja di yang bertempat tinggal di Kampung Jatuh, De roy meminta izin kepada raja untuk mengunjungi daerah pegunungan dimana emas ditambang, de Roy juga menyebut  kampung-kampung lain seperti Pamangkih, Palajau, Jatuh, Banawa tengah, kaminting, dan Jati (ada dibirayang) dan parrak (palas?). laporan Valentin yang terbit pada tahun 1726 menyebut jatuh adalah sebuah kerajaan tersendiri yang terpisah dari Banjarmasin dengan menyertakan sebuah peta. Menarik pula disini de roy tidak menyebutkan daerah-daerah diatas negara daha, seperti yang kita ketahui saat ini seperti amuntai, kalua dan sebagainya, kemungkian besar karena dia tidak menjelajah sampai ke daerah tersebut. Sebuah tulisan dari buku cetakan tahun 1780 terdapat informasi mengenai beberapa daerah muslim di pedalaman, beberapa nama kampung di daerah Alai ada disebut seperti Pamangkih dan Labuan Amas.[14] 

 

Selain itu pada abad ke 19, tepatnya tahun 1830an, muller juga memasuki hulu Sungai, berjarak lebih 130 setelah catatan de roy, muller memasuki Sungai Negara tapi dia terus ke atas menuju utara Sungai Negara dan memasuki sungai Tabalong mendapati amuntai dan kalua, dia tidak menyebutkan mengenai daerah alai atau tidak memasuki daerah Alai, dan dalam laporannya tidak menyebutkan satupun daerah-darah di Alai.

 

Seperti disebutkan diatas, wilayah Alai terdapat kampung-kampung penting, seperti disebutkan oleh de roy pada tahun 1790, seperti kampung Pamangkih, kampung palajau, kampung kaminting, kampung Banua Asam, kampung Banua Tengah yang keenam kampung itu berada di sungai labuan Amas, dan kampung Jatuh, kampung Jati yang berada di sungai batang Alai, De Roy menyebut Alai sebagai daerah pertambangan emas di mana seorang Raja yang bergelar Raja Pertambangan Emas berada,  seorang panglima terkenal bernama Tumenggung Gusti berada dimana istananya berada di banua Asam, dan Seorang Raja berdiam di kampung jatuh, perkampungan tersebut diatas berada disebelah utara dari Danau Bangkau yang hari ini masuk dalam administrasi Kabupaten Hulu Tungai Tengah, disebelah selatan terdapat kampung Amawang dan Karang Jawa yang berada di sungai Amandit hari ini masuk dalam administrasi Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

 

Alai atau batang alai adalah sesuatu yang berbeda, hingga hari ini kita masih kesulitan atau bahkan belum mengetahui arti dari Alai. Sungai Batang Alai merupakan salah satu anak Sungai dari Sungai bahan atau Sungai negara. Dalam bahasa Maanyan "Alai" berarti sesuatu yang dipisah-pisah lalu kemudian di perdagangkan, maka bisa saja ada kemungkinan Sungai batang alai diambil dari pengertian diatas yaitu Sungai tempat berdagang. Dalam bahasa orang Meratus, Alai artinya adalah Sungai, Sungai Alai bermuara di Sungai Bahan atau saat ini lebih dikenal sebagai Sungai Negara dan muara Sungai tersebut tepat berada dijantung kota negara, kota negara yang dahulu merupakan ibukota kerajaan Daha yang ramai dan padat penduduk sebagai sebuah ibukota kerajaan Daha. Muara dari Sungai Batang Alai ini juga disebut dengan Tumbukan Banyu, atau Benturan air, bertumbukan dua aliran Sungai yaitu Sungai tabalong yang datang dari utara dan Sungai alai yang datang dari timur laut, Tumbukan banyu dikenal hingga hari ini.

 

Penyebutan batang alai dan alai sendiri sepertinya harus diberi perhatian, akan ada perbedaan definisi, batang alai lebih kepada sepesifik sebuah Sungai, penambahan sebutan "batang" memberi pengertian itu sebuah Sungai besar yang dapat dilayari oleh kapal besar dan tidak mendefinisikan kepada Sungai-Sungai kecil atau anak Sungai kecil.[15] Istilah "batang" yang digunakan untuk menyebut Sungai alai menunjukkan kepada Sungai besar yang dapat di layari oleh kapal atau perahu dan mempunyai anak Sungai-anak Sungai, ibarat sebuah batang pohon terhadap cabang ranting-rantingnya, penyebutan Sungai besar dengan tambahan batang ini umum digunakan untuk menyebut Sungai-Sungai besar dan utama di hulu Sungai dan meyerupai dengan beberapa penyebutan Sungai di sumatera timur khususnya daerah jambi dan sumatera selatan. Penyebutan penyertaan "batang" umum bagi Sungai-Sungai di hulu Sungai, dan hampir tidak didapati pada penyebutan Sungai di daerah lain disekitarnya seperti daerah Banjarmasin maupun Martapura.[16]

 

Penyebutan "Batang" tanpa ditambahi kata Sungai merupakan berarti sebuah Sungai, Istilah mandi di batang, atau batang banyu sama artinya dengan istilah mandi di Sungai, masyarakat mempunyai penyebutan berbagai macam terhadap jenis aliran air dan sumber banyu, guntung, Sungai halus, handil, antasan dan sebagainya

 

"Sungai" agak umum di definisikan dan ditekankan sebagai Sungai kecil atau anak Sungai bagi batang Sungai atau batang banyu, penyebutan Sungai bagi Sungai Sungai kecil dapat kita lihat dari banyaknya yang digunakan menjadi nama kampung, tapi mereka tidak menyebut Sungai besar sebagai Sungai, tapi menyebutnya sebagai Batang.

 

Berbeda juga dengan antasan yaitu aliran Sungai yang dibuat oleh manusia yang biasanya menghubungkan dua buah Sungai besar atau batang Sungai. Seperti yang terkenal antasan karias yang menghubungkan Sungai balangan dengan Sungai Batang Alai.

 

Definisi daerah "Alai" bisa jadi berbeda dari pada sekedar Sungai "batang alai" itu sendiri, apalagi jika melihat dari jaman modern ini, sebagian orang menekankan istilah "Alai" adalah sama dengan batang Alai atau Sungai batang Alai itu sendiri dimana beberapa buah kecamatan (setingkat distrik) berada yaitu kecamatan Labuan amas utara, kecamatan Batang Alai Utara, Kecamatan Batang Alai Selatan, Kecamatan Batang Alai Timur dan Kecamatan Limpasu. Sungai Batang alai sendiri adalah nama sebuah Sungai yang berhulu disebuah pegunungan meratus, namun alai merupakan daerah yang lebih dari pada sebuah Sungai batang itu sendiri yang mencakup beberapa daerah lain.

 

Untuk mengurai hal ini, penulis mempunyai hepotesa baru dengan teori yang lebih sederhana, yaitu bahwa satu-satunya nama kampung yang bernama batang alai ada di dekat diwilayah negara daha yang menjadi batas dengan wilayah kabupaten Hulu sungai Tengah, kampung tua ini merupakan sentral dan menjadi pos keluar masuk wilayah alai,  yang disana akan kita dapati danau besar yang bernama danau bangkau, Danau besar yang tak pernah kering ini merupakan muara dari banyak Sungai-Sungai terkenal lainnya seperti Sungai batang alai kecil, Sungai labuan amas, Sungai amandit, Sungai taniran dan Sungai lainnya. Anak Sungai dari batang alai ini mempunyai alirannya sendiri yang saya pribadi menyebutnya sebagai Sungai Batang alai kecil yang memanjang menuju pegunungan meratus, Sungai batang alai kecil ini harus dibedakan dengan Sungai batang alai besar, karena Sungai batang alai kecil adalah hanya salah satu anak Sungai dari Sungai batang alai besar.  Perbedaan dari Sungai batang alai dan Sungai batang alai kecil adalah Sungai batang alai berhulu di aliran Danau bungkang dan bermuara di tumbukan banyu serta menjadi anak sungai dari sungai bahan, sedangkan dan Sungai batang alai kecil berhulu di pegunungan meratus, bermuara di danau bangkau. Maka seluruh daerah sungai yang bermuara di danau bangkau adalah daerah yang disebut sebagai daerah Alai yang menjadi kekuasaan dari Pangeran Tumenggung dan keturunannya.

 

Sebenarnya saya mencurigai bahwa Sungai batang alai kecil ini mempunyai nama yang berbeda dahulunya, karena definisi Sungai batang alai kecil ini yang saat ini terdapat kecamatan batang alai utara, kecamatan batang alai selatan dan kecamatan batang alai timur sering kali membuat rancu dengan Sungai batang alai besar, karena akan memberikan gambaran yang berbeda, kecurigaan saya perubahan nama Sungai ini terjadi dikemudian dan ditemui ketika di jaman pemerintahan kolonial belanda, Dalam peta lama, sungai batang alai besar yang bermuara di kota Negara disebut juga dengan sungai Bayanan atau Bajanan. Ada beberapa perubahan nama pada sungai di wilayah alai hari ini seperti Sungai labuan amas yang kini berubah menjadi Sungai barabai, atau Sungai kandangan yang pada dahulu lebih dikenal dengan sebutan Sungai amandit. Untuk Sungai batang alai kecil perkiraan saya adalah Sungai yang sama dengan Sungai buluh, nama Sungai buluh saat ini hanya lah nama sebuah kampung yang dialiri oleh Sungai batang alai kecil. beberapa peta lama yang dibuat oleh kolonial yang memperlihatkan Sungai batang alai dengan  posisi Sungai batang alai yang berbeda-beda, pun dibanding dengan kondisi peta modern sangat jauh berbeda bahkan sehingga kita kesulitan untuk menentukan dimana Sungai batang alai yang dimaksud.

 

Dalam hikayat disebutkan Pangeran tumenggung sebagai raja Kerajaan Daha Terakhir menyingkir sekaligus menguasai Wilayah Alai, logikanya adalah sangatlah tidak mungkin wilayah Pangeran Tumenggung itu sangat kecil seperti aliran Sungai Batang Alai kecil modern saat ini yang terdiri dari beberapa kecamatan kecil. Jika kita lihat Batang Alai besar juga merupakan akses jalan masuk utama dan satu-satunya ke atau dari Danau bangkau menuju Sungai Bahan di Kota negara maka otomatis Sungai-Sungai lain yang bermuara ke Danau bangkau seperti Batang Alai kecil, Sungai Labuan Amas, Sungai Taniran, Sungai Amandit dan Sungai lainnya apabila ingin ke negara atau menuju Sungai negara harus melewati Sungai batang alai besar. Kesimpulannya adalah wilayah kekuasaan Pangeran Tumenggung di alai meliputi seluah wilayah yang bermuasa di Danau bangkau, baik dari batang alai kecil, Sungai labuan Amas, Sungai Tabu darat, Sungai Taniran dan Sungai Amandit. Juga disebutkan dalam Hikayat bahwa Keturunan Pangeran Tumenggung yagn bergelar Andin berkuasa di Alai dan termasuk di sana di Sungai Amandit. Sampai hari ini orang-orang keturunan dari Andin yang kemudian juga bergelar Rama dan Raden masih banyak ditemui baik di seluruh sungai-sungai yang bermuara di Danau Bangkau

 

Wilayah hulu Sungai didominasi oleh rawa-rawa yang luas, dimusim hujan rawa-rawa bak lautan tak bertepi, dimusim kemarau rawa-rawa akan mengering, namun Sungai-Sungai tetap mengalir. Di Hulu Sungai juga wilayah kebudayaan tua yang pernah mempunyai kekuasaan politik terbesar dan terkuat di pulau kalimantan, hasil penelitian dari balai arkeologi di beberapa lokasi dihulu Sungai membuktikan keberadaan penduduk di jaman sebelum masehi. Seperti di jambu daerah sekitar kota kandangan saat ini dan Palajau di Barabai, dan pernah pula pada suatu waktu sedari dulu pula penduduk paling banyak di pulau kalimantan ada di hulu Sungai.

 

Akan banyak hal yang bisa dibicarakan mengenai hulu sungai, baik segi sejarah, politik, antropologi, sosiologi, budaya, agama, dan sebagainya. Beberapa mungkin menarik seperti demografi dan antrolopogis dari budaya di Hulu sungai yang beragam, misalnya dalam tataran kritis kita bisa mempertanyakan kembali bagaimana Hulu sungai kemudian disebut menjadi banjar atau apakah hulu sungai sama atau berbeda dengan banjar? Apakah orang hulu sungai menerima disebut sebagai bagian dari Banjar? Penyebutan Banjar hulu sungai apakah benar-benar tepat sedangkan Hulu sungai sendiri merupakan peradapan yang jauh lebih tua dari banjar, antara Hulu sungai Dan banjar terdapat perbedaan dalam sejarah dan politik, atau bagaimana bahasa hulu sungai kemudian menjadi menjadi bahasa banjar, bagaimana juga kita menggambarkan di Hulu Sungai kita bisa mendapati komunitas berbagai suku yang saling berdekatan dan berinteraksi, pemukiman dan wilayah traditional suku-suku yang berbeda itu saling berdekatan tanpa gesekan yang telah ada selama ratusan tahun, dari orang-orang Hulu sungai, Orang Maanyan, Orang Deah, Orang Lawangan dan orang Meratus, orang bakumpai, orang dusun.

 

Bagi saya afdeling Hulu Sungai menjadi salah satu wilayah penting baik dari segi sejarah dan masa depannya nanti, oleh karena itu mempelajari Hulu sungai sebaiknya tetap harus dilakukan. Dalam pembahasan berikutnya penulis akan membicarakan mengenai aristokrat Hulu Sungai dengan lebih menekankan aristokrat dari daerah Alai. Membicarakan mengenai aristokrat Hulu Sungai pasti akan sangat menarik, tujuan dari tulisan ini adalah untuk memulai diskusi serta membuka sejarah politik dan pemerintahan di Hulu Sungai. Perlu juga digarisbawahi, bahwa dalam tulisan ini akan lebih membahas kalangan elit, hal ini tidak terhindarkan karena para elit adalah pelaku sejarah, tindak tanduk mereka mempengaruhi banyak hal.

 

Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana orang-orang Hulu Sungai pernah mendominasi politik dan pemerintahan di kalimantan selatan, bahkan pernah pada masanya para politikus Hulu Sungai menjadi representasi politik dari sebagian Pulau kalimantan di permintahan pusat. dari mana tradisi politik dan pemerintahan orang-orang Hulu Sungai itu muncul, sedangkan hari ini seolah ada stigma paradoksional di internal Kalimantan selatan yang mungkin membingungkan, bahwa ada stigma Hulu Sungai adalah daerah yang terkebelakang dan udik karena berada jauh di pedalaman, namun satu sisi orang-orang Hulu Sungai malah mendominasi politik dan pemerintahan. Paradoks ini membuat kesalahpengertian serta kebingungan dalam melihat Hulu Sungai bahkan hingga hari ini.

 

Pada dasarnya paradoks tersebut mungkin diproduksi baru-baru ini saja, akibat dari kampanye "banjarisasi" yang menjamah Hulu Sungai sebagai bagian dari banjar sehingga muncul standar penilaian baru, dimana Banjar di yang berada di pesisir yang dahulu pernah menjadi pusat Kerajaan Banjar dan kemudian menjadi pusat pemerintahan kalimantan selatan setelah kemerdekaan dianggap lebih utama dari Hulu Sungai, sedangkan Hulu Sungai yang merupakan Afdeling tersendiri berada jauh di pedalaman dinilai sebagai kelas yang berbeda dan dianggap lebih rendah.

 

Untuk memahami Hulu Sungai dengan lebih baik, akan lebih mudah dengan melihat Hulu Sungai sebagai wilayah dan kebudayaan tersendiri, yang mana peletakan "banjar" bagi Hulu Sungai seperti "Banjar Hulu Sungai" sebaiknya tidak menjadi cara pandang. Sebagian orang Hulu Sungai menganggap mereka adalah keturunan dari Kerajaan Daha yang mempunyai kebudayaan dan peradapan yang lebih tua, lebih murni, lebih tinggi dan bahkan berbeda dari pada Banjar.

 

Melihat Hulu Sungai dengan pandangan "Banjar Hulu Sungai" dianggap mendistorsi ke Hulu Sungaian itu sendiri, wilayah Hulu Sungai berada jauh dari wilayah banjar, perlu satu minggu pelayaran hingga sampai ke kota-kota utama seperti margasari, Negara Daha, Sungai Banar, Amuntai, Kalua, dan kota-kota di daerah Alai dan Amandit seperti amwang, Karang jawa, kandangan, Pamangkih di Labuhan amas, Palajau, banua asam, Jatuh, Banawa tangah, jati di birayang, Kandangan di amandit, dan Amawang.

 

Aristokrat merupakan elit kelas sosial yang menempati kasta tertinggi, umumnya berasal dari kelas Bangsawan, yang dahulu mempunyai peran utama dalam kekuasaan dan pemain penting politik, pemerintahan, ekonomi dan agama. Kelas Bangsawan muncul dalam berbagai struktur, bukan hanya didalam sebuah struktur pemerintahan, seperti Kerajaan traditional misalnya, tapi bahkan muncul dalam struktur lebih kecil, seperti sebuah sub suku.

 

Hulu Sungai adalah pusat peradapan dan kebudayaan dari banyak kerajaan besar yang pernah muncul, Kerajaan nan sarunai, Kerajaan Tanjung pura, Kerajaan Kuripan, Kerajaan Dipa, dan Kerajaan Daha yang pernah menjadi salah satu Kerajaan terkuat dan terbesar di Nusantara, mendominasi secara politik sebagai besar Pulau Kalimantan pada jamannya selama beberapa abad. Dominasi itu lah yang pada dasarnya memberikan salah satu titik awal kekuatan dan pengaruh aristokrat Hulu Sungai yang membedakan dengan wilayah lain di kawasan.

 

Klaim sebagai salah satu Kerajaan terbesar dan terkuat di jamannya sebenarnya tidaklah berlebihan, dengan melihat luas wilayah kekuasaan dan pengaruhnya yang pernah meliputi tiga perempat Pulau Kalimantan, maka akan sulit mencari tandingannya dijamannya. Klaim ini terkonfirmasi dalam perjanjian antara Kesultanan Banjar dan VOC pada tahun 1782, yang menjadi dasar penjajahan belanda di Kalimantan, dan seperti kita ketahui pula, Kerajaan banjar pada dasarnya mewarisi wilayah-wilayah yang pernah di kuasa oleh Kerajaan Daha.

 

Setelah Kerajaan Daha runtuh, Hulu Sungai terbagi dalam dua wilayah politik, yaitu Banua Lima yang meliputi wilayah-wilayah di sepanjang Sungai Bahan hingga Sungai Tabalong dari selatan ke utara, seperti Margasari, Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Tabalong, dan wilayah Alai yang dikuasai oleh Raja terakhir Kerajaan Daha yaitu Pangeran Tumenggung dan para keturunannya tetap berkuasa di wilayah timur Hulu Sungai yaitu Alai dan Amandit, yaitu wilayah yang meliputi Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Selatan hari ini, wilayah yang juga dikenal dengan nama Pahuluan karena terdapat banyak Sungai -Sungai kecil yang berhulu atau bersumber dari pegunungan meratus. Mereka mendirikan sebuah Kerajaan yang oleh seorang Belanda dicatat dilaporan dan disebut dengan nama Kerajaan jatuh.

 

Meskipun terdengar asing bahkan di Kalimantan sendiri, Sumber utama mengenai Kerajaan Jatuh sejauh yang bisa didapat ada dalam laporan De Roy yang terbit pertama kali pada tahun 1700, laporan De Roy kemudian dijadikan sebagai referensi utama dibanyak buku-buku Barat dalam berbagai bahasa di sepanjang tahun 1700an. Kemudian laporan Francoin Valentyn yang terbit tahun 1726 yang menyebutkan Kerajaan Jatuh bersama Kerajaan lain di Pulau Kalimantan seperti Kerajaan Sambas, Kerajaan Landak dan Kerajaan Karimata, sebagai entitas Kerajaan yang berbeda dengan Kerajaan Banjarmasin, Bahkan dengan memunculkan ilustrasi peta Pulau Kalimantan dengan tulisan Rijk van Jatoeh, atau kerajaaan jatuh yang berada di pedalaman Pulau Kalimantan. Sebuah laporang lain juga menyebut nama raja alai, yang diisukan bekerjasama dengan pangeran Amir.

Penamaan Kerajaan jatuh atau Kerajaan Alai kemungkinan besar berdasar informasi de Roy diatas, yang menjelajahi Kerajaan-Kerajaan di sepanjang pesisir barat dan selatan Kalimantan pada tahun 1690 M , De Roy mengunjungi wilayah Hulu Sungai tepatnya di Kota Negara di pedalaman Sungai Bahan, Kota Negara sendiri merupakan wilayah utama dari Kerajaan Daha, Kerajaan yang dahulu pernah menjadi Kerajaan paling kuat dan berkuasa di Pulau Kalimantan. dari Kota Negara de Roy memasuki lebih ke pedalaman ke wilayah yang disebut dengan Alai, wilayah yang saat itu terkenal sebagai wilayah tambang emas, disana De Roy bertemu dengan Tumenggung Gusti di keratonnya yang berada di Banua Asam, kemudian De Roy bersama Tumenggung Gusti menghadap Raja di kampung Jatuh. Mungkin saja karena Raja wilayah Alai ini berada di Kampung Jatuh, wilayah ini kemudian disebut Kerajaan Jatuh.

Kampung Jatuh juga disebutkan dalam perjalanan Kapten Harvat, seorang kapten yang diutus VOC melakukan Survey setelah perjanjian 1778 dengan perjalanan darat menyusuri wilayah-wilayah di kaki Pegunungan Meratus, perjalanan dimulai dari Martapura menuju utara hingga sampai ke Sungai Tabalong di tahun 1790 atau seratus tahun setelah perjalan de Roy. Meski tidak singgah ke Jatuh, harvat juga melaporkan nama Kampung Banua Padang di Sungai Tapin , Kandangan dan Karang Jawa di Sungai Amandit, lalu menyinggahi banua tengah lalu melanjutkan ke Jambu ( dekat kampung Ilung) kemudian menuju Balangan dan Tabalong, dari sana  turun ke selatan ke daerah Amuntai ke Negara dan pergi sebentar ke Pamangkih, beliau menyebut wilayah Banua Assam dan Jatuh. Perjalanan perwira VOC ini mungkin sebagai pemeriksaan setelah perjanjian tahun 1782.

Laporan wilayah lain mengenai Jatuh, semakin intens selama perang banjar, sebagai salah satu lokasi atau kampung yang melakukan perlawanan terhadap belanda. Juga dibuku Tijdschrift voor Neerland's Indi jrg 23, 1861 (bagian ke-1), no 4 Majalah untuk Neerland's Indi halaman 210, yang menyebut wilayah jatuh di daerah Alai dekat pegunungan meratus sebagai salah satu wilayah yang dianggap penting.

Francoin Valentyn secara tegas menyebutkan Jatuh adalah sebuah Kerajaan tersendiri dipedalaman, wilayah-wilayah yang disebutkan De Roy pada dasarnya adalah wilayah yang hari ini masuk daerah yang disebut Alai, sebuah daerah yang menurut hikayat banjar dikuasai oleh Pangeran Tumenggung, Penguasa Kerajaan Daha terakhir. Kerajaan jatuh atau Kerajaan Alai adalah penerus asli dari Kerajaan Daha.

Dalam pembahasan lain, Berdirinya Kerajaan Daha merupakan sesuatu yang sampai hari ini masih merupakan dianggap misteri dengan sedikit diskusi kritis terhadap hikayat yang ada. Dalam hikayat-hikayat yang kita dapatkan memberikan informasi yang kabur, Sumber hikayat memberikan garis besar yang sama, bahwa Kerajaan Daha didirikan oleh Raden Sekar Sungsang, yang menikahi putri Kerajaan Dipa, dan kemudian mendirikan Kerajaan Daha, bagaimana transformasi dari Kerajaan Dipa menjadi Kerajaan Daha juga menjadi misteri. Sementara ini dipercaya bahwa secara sederhana perubahan ibukota atau keraton ini kemudian merubah nama Kerajaan dari Kerajaan Dipa dan menjadi Kerajaan Daha.

Namun jika kita telaah lebih dalam, perubahan ibukota Kerajaan atau pembetukan Kerajaan Baru ini tidak bisa kita letakkan sesederhana dan seindah cerita dalam hikayat. Gambaran mengenai Kerajaan Dipa pun tidak sesederhana yang kita percaya pula, dalam hikayat berdirinya Kerajaan Dipa tidak terlepas dari campur tangan dari unsur luar Pulau, yaitu orang-orang dari Pulau Jawa diseberang, namun pertanyaan yang lebih penting adalah, kenapa daerah Hulu Sungai yang menjadi wilayah rebutan utama dan kemudian menjadi pusat kekuasaan di kalimantan, kenapa bukan daerah lain? beberapa hal bisa menjawab, bahwa Hulu Sungai adalah daerah yang sangat mendukung untuk berdirinya sebuah peradapan besar, geografi Hulu Sungai sangat unik sehingga mampu untuk menampung sebuah peradapan untuk tumbuh. geografi alamnya unik, mempunyai sumber daya pangan yang memadai dan mandiri, mempunyai sumber ekonomi seperti pertambangan emas dan lainnya sebagai suatu sumber ekonomi, serta bentang alamnya yang secara alami bisa menjadi pertahanan dan keamanan. Berbagai sumber daya alam yang unik tersebut mampu untuk menghasilkan penduduk yang banyak dan menyediakan sumber daya manusia untuk menaklukan wilayah lainnya dikawasan.

Dengan begitu, Kerajaan Dipa tidak bisa dikatakan sebagai sebuah Kerajaan kecil, luasnya wilayah yang mereka kuasai dan pengaruhi menunjukkan Kerajaan Dipa sangat kuat dan besar, ibukota Kerajaan Dipa yang berada di Hulu Sungai yang dipercaya dekat daerah sekitaran Kota Amuntai, tidak bisa pula kita lihat sebagai sebuah perkampungan biasa, dimana istana berada tentu akan terpentuk struktur tertentu yang melambangkan kebesaran dan kekuasaan Dipa.

Melihat hal tersebut diatas, maka hikayat mengenai Raden Sekar Sungsang yang melarikan diri dari istana setelah dipukul kepalanya oleh ibunya dan ikut sebuah kapal dagang ke Surabaya akan sulit untuk diterima, karena tentu hal tersebut akan tidak mudah dilakukan, dan pula informasi tersebut sangat tendensi memperlihatkan Kerajaan Dipa sebagai sebuah Kerajaan Lemah dalam pertahanan dan keamanan.

Seorang Pangeran kecil melarikan diri dari istana dengan begitu mudahnya, juga sulit diterima secara rasional, apakah Pengawal istana tidak mengenali tanda dan atribut seorang Pangeran, apakah ibunya tidak mencarinya, apakah para pelayan istana tidak mencarinya juga, dan apakah pula pedagang yang membawanya ke Surabaya tidak bisa membedakan seorang anak biasa dan Pangeran status tinggi? Pedagang tersebut tentu mempertaruhkan nyawanya dengan membawa seorang Pangeran kecil tanpa izin, selain itu jarak antara Hulu Sungai sampai ke Muara Barito di laut Jawa membutuhkan waktu berminggu-minggu. Sungguh itu suatu aksi yang tidak biasa, dan sangat aneh jika istana atau Raja Daha akan berdiam diri melihat cucunya hilang dengan tiba-tiba.

Kelanjutan cerita hikayat pula bisa kita lihat lebih jauh, bertahun-tahun kemudian Raden Sekar Sungsang menikah di Pulau Jawa, kemudian beliau pulang ke ibukota Kerajaan Dipa untuk berdagang, lalu bagaimana ceritanya tiba-tiba beliau bisa menikahi seorang putri utama Kerajaan Dipa, secara kasta saja seorang pedagang tidak akan mungkin menikahi seorang Putri Raja, atau pun jika beliau memang dianggap Bangsawan yang hilang, bagaimana mungkin pula bisa menikahi seorang Putri Raja dengan kasta tertinggi dan mempunyai wilayah terluas di Pulau Kalimantan, apakah semudah itu Raja Dipa menikahkan putrinya dengan seorang pedagang yang belum tentu beliau ketahui asal usulnya, apakah Raja Dipa sebagai Raja dari sebuah Kerajaan besar tidak memikirkan dampak politiknya, tentu saja seorang Raja dan bawahannya bukanlah seorang yang bodoh yang mudah terkesima, kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki oleh raja Dipa mungkin tidak bisa dibandingkan dengan harta seorang pedagang biasa.

Penulis melihat bahwa Kerajaan Dipa tidak tunduk kepada Kerajaan di Jawa dalam arti bertekuk lutut, kronologis serangan Majapahit ke Hulu Sungai yang kemudian berhasil mendirikan Kerajaan Dipa sebagai "Kerajaan Persatuan"menunjukkan gambaran yang penuh drama, serangan dari Pulau Jawa tidak berhasil mengalahkan dan menaklukan Kerajaan di Hulu Sungai, apakah Kerajaan itu Kerajaan nan sarunai ataupun Kerajaan lainnya, yang terjadi hanya perdamaian dengan perkawinan politik yang disimbolkan antara seorang Pangeran Jawa atau Majapahit dengan seorang Putri Bangawan setempat yang terkenal dengan nama Putri Junjung Buih.

Pasti ada proses politik, ketika raden sekar sungsang berhasil mendirikan Kerajaan baru yang bernama Kerajaan Daha, bagaimana proses perpindahan kekuasaan ke Raden Sekar Sungsang yang datang dari Pulau Jawa dan berhasil mengambil alih kekuasaan sebaiknya harus ada penjelasan.

Sekar sungsang merupakan tokoh Kerajaan Daha, dan raja pertama Daha yang sebenarnya diasosiasikan dengan kehadiran islam dalam struktur Kerajaan Daha, sebagai raja yang beragama islam tentu akan menurunkan status agamanya kepada keturunannya. Apalagi pada dasarnya Raden Sekar Sungsang merupakan raja yang bukan "biasa saja" karena berhasil mengambil alih tahta Kerajaan Daha, dan selain itu Raden Sekar Sungsang juga mempunyai jejaring islam yang kuat di Pulau Jawa dimana beliau berasal atau pernah hidup disana selama bertahun-tahun, dari hal tersebut agak kesulitan jika keturunan dari Raden Sekar Sungsang tidak beragama islam.

Pada masa Pangeran Tumenggung yang tercatat menjadi Raja terakhir dari Kerajaan Daha, terjadi drama politik dan militer, Pangeran Tumenggung mendapat tantangan dari Pangeran Samudera yang merupakan keponakannya sendiri, kekuasaan Kerajaan Daha pun menjadi runtuh, Pangeran Tumenggung menetap di wilayah Alai yang kemudian tetap dikuasai olehnya dan keturunannya, sedangkan wilayah lain dikuasai oleh Pangeran Samudera yang kemudian menetapkan Kerajaan baru berdiri di Banjarmasin.

Menjadi sebuah pertanyaan dari mana Pangeran Samudera yang melarikan diri ke muara Sungai Barito bisa mendapatkan kekuatan militer yang hampir sama kuat dengan kekuatan militer Daha di pedalaman, penulis percaya bahwa mobilisasi kekuatan militer di muara Sungai Barito merupakan sebuah perencaan yang cukup matang, dan mendapat dukungan banyak pihak dari berbagai wilayah di Pulau Kalimantan serta dari Kerajaan Demak  di Pulau Jawa.

Seperti kita ketahui, mobilisasi kekuatan militer tidak bisa dilakukan dalam sekejap mata, perlu bertahun-tahun untuk mematangkan perencanan, memerlukan pendanaan atau biaya yang besar serta persiapan untuk logistik, sebuah perang tidak lah murah dan mudah, dan itu tidak seasyik yang kita dengar dalam cerita-cerita di warung kopi, atau dalam beberapa helai halaman buku yang menceritakan sejarah dan kronologis sebuah perang.

Terjadinya perang juga menunjukkan adanya kebuntuan diplomasi yang itu akhirnya menjadi argumentasi politik yang benar-benar kuat dan logis untuk berperang. Dalam hikayat diceritakan bahwa perang melawan Pangeran tumenggung didukung oleh banyak pasukan dari berbagai wilayah taklukan Daha sendiri di Pulau Kalimantan, pasukan dari dari berbagai wilayah yang jauh datang untuk membantu Pangeran Samudera memperlihatkan terjadinya konsolidasi yang panjang sebelum perang terjadi, selain itu adanya dukungan dari Kesultanan Demak yang bahkan menjadi pemimpin peperangan, juga menunjukkan Kesultanan Demak sudah cukup siap untuk berperang dan bahkan bisa saja Kerajaan Demak  berada dibalik perencanaan peperangan tersebut sedari awal.

Proses peperangan pun berlangsung lama, pasukan Pangeran tumenggung terpaksa melarikan diri ke wilayah Alai yang berada jauh di pedalaman, perang yang berlarut-larut menyebabkan tidak ada yang memenangkan pertempuran.

Pangeran Tumenggung memilih wilayah Alai sebagai daerah pelariannya, dan merupakan wilayah yang paling logis dalam melihat menghadapi peperangan, ada beberapa hal yang bisa kita diskusikan, pertama wilayah Alai adalah jantung utama dari Hulu Sungai, tempat yang sempurna untuk membuat pertahanan perang serta ketersedaan logistik perang yang mencukupi. Argumentasi ini memang belum pernah didiskusikan tapi sebenarnya tidaklah terlalu mengejutkan. 

Wilayah Hulu Sungai pada dasarnya adalah daerah rawa dengan lokasi daratan yang sedikit, sehingga peperangan akan dilakukan dengan kondisi geografis berbeda bagi pasukan dari luar Hulu Sungai, karena akan lebih sering dilakukan diatas perairian rawa yang dangkal, penuh hutan rimba dan semak-semak air, disertai dengan cuara yang panas dan lembab, dan jutaan nyamuk akan sangat mengganggu pasukan dari luar yang tidak terbiasa dengan kondisi alamnya.

Lokasi daerah Alai sulit ditembus dengan pertahanan dari Sungai-Sungai kecil yang mereka miliki cukup mampu menahan serangan pasukan yang mendukung Pangeran Samudera. Informasi dari hikayat cukup jelas memperlihatkan bahwa kapal-kapal pasukan pendukung Pangeran Samudera tertahan diSungai-Sungai besar bahkan terserang badai yang mengakibatkan kapal-kapal mereka terbalik.[17] 

 

Hikayat memperlihatkan kesesuaian wilayah tertahannya Pasukan Samudera dengan wilayah di Danau Bangkau, Danau bangkau sering kali dilaporkan kapal-kapal terbalik diakibatkan angin kencang yang datang tiba-tiba, Danau bangkau pula adalah Danau yang sangat luas bagaikan lautan kecil yang dipenuhi dengan semak-semak air yang tinggi dana sulit dilalui, dan dikelilingi oleh hutan-hutan dengan pohon-pohon tinggi namun tidak mempunyai tanah yang mudah untuk dipijak, karena kultur tanahnya yang gambut. Sampai pada beberapa waktu yang lalu masih ada laporan kecelakaan dari kapal-kapal yang terbalik akibat angin kencang.

 

Sebagian dari sumber daya yang terkenal dari wilayah Kerajaan jatuh ini adalah beras, sehingga logistik bagi pasukan Pangeran Tumenggung tidak akan menjadi kekawatiran yang menjadi sumber pangan utama di Hulu Sungai dan barito, siapa yang menguasai sumber pangan utama tersebut, maka mereka memainkan peran penting, apalagi pada saat itu pertanian beras di wilayah pesisir belum banyak seperti saat ini.

 

Daerah Alai juga adalah daerah tambang emas utama di Kalimantan Selatan dan menjadi komoditas dan sumber kekayaan Kerajaan Daha, bagi Pangeran Tumenggung dan pasukannya hal itu akan dipertahankan habis-habisan. Informasi mengenai Alai sebagai daerah tambang emas dilaporkan oleh Pengelana Belanda Bernama De Roy pada tahun 1600an, dan hingga hari ini wilayah tambang emas yang disebut Paramasan Alai atau paramasan dua kali sanga masih ada, Sungai Labuhan Amas juga mengilustrasikan aktivitas penambangan emas. Wilayah kekuasaan Pangeran tumenggung dan keturunannya memang kecil namun merupakan jantung utama Hulu Sungai. Daerah Alai dan amandit bisa dikatakan wilayah independent dan mempunyai sumber daya manusia dan sumber daya alam yang penting bagi wilayah sekitarnya.

 

Selain itu pahuluan juga pernah menjadi pusat perkebunan lada atau sahang, dan juga merupakan wilayah pertambangan emas, sehingga gelar-gelar raja Kerajaan jatuh disebut sebagai raja emas. Kerajaan jatuh dilaporkan raja yang berbeda dengan kerajaan dibanjarmasin, kerajaan Jatuh memiliki sultan atau raja yang berbeda.

 

Pasukan Pangeran tumenggung tidak pernah dikalahkan dalam peperangan terakhir mereka, hal tersebut mengisyaratkan kekuatan militer dan logistik Pangeran tumenggung sangat kuat, kekuatan tersebut berasal dari sumber daya manusia yang cukup banyak untuk menjadi pasukan, dan pernah pula di sepanjang jaman tertentu wilayah Alai dan amandit adalah daerah traditional di Pulau Kalimantan yang mempunyai penduduk paling banyak selama ratusan tahun.

 

Dari beberapa hal diatas lah, daerah pahuluan dibawah Kerajaan jatuh tidak kehabisan sumber daya manusia untuk militer mereka, dan mempunyai kesiapan logistik untuk peperangan mereka, dan kekayaan berupa emas yang tidak ada habisnya.

 

Perpolitikan Hulu Sungai

 

Selama ratusan tahun, Hulu Sungai merupakan wilayah yang pengaruhnya menjadi rebutan, disana lah peran dari bangsawan Hulu Sungai juga kemudian menjadi penting, mereka terkadang terseret dalam arus perpolitikan regional. Meski Kerajaan jatuh mungkin bisa disebut sebagai kerajaan dengan luas wilayah yang kecil, namun mempunyai beberapa kelebihan seperti jumlah penduduk yang banyak, bentang alam yang mendukung, dan sumber daya dan tradisi militer yang lebih agresif dari wilayah sekitarnya, dan pengaruhnya sebagai keturunan langsung Kerajaan Daha yang belum pupus. Melihat pulau kalimantan yang mempunyai wilayah sangat luas tapi dengan penduduk sangat sedikit tentunya akan menjadi catatan sendiri dalam melihat persilangan pengaruh antara pusat-pusat politik dan militer di pulau Kalimantan yang tidak sama dengan pulau lain, misal dengan Pulau Jawa.

 

koleksi pribadi
koleksi pribadi

Dalam sejarah lama seeprti dijelaskan sebelumnya dimana pasukan yang dipimpin pangeran Samudera dan Pasukan Demak tidak mampu mengalahkan Pasukan Pangeran Tumenggung yang bertahan di Alai, sehingga terjadilah perdamaian dan pembagian wilayah dimana Alai tetap dikuasai oleh Pangeran Tumenggung. Gambaran mengenai tradisi militer ini tersurat sekaligus tersurat dalam beberapa informasi tertulis maupun sejarah serta tradisi lokal yang masih hidup. Hingga hari ini wilayah Alai atau pahuluan yang meliputi daerah Hulu sungai Tengah Dan Hulu Sungai Selatan bisa disebut masih menjadi wilayah dengan karakter penduduk yang lebih agresif dari wilayah sekitar, mempunyai tradisi dan budaya yang masih hidup dalam hal mempertahankan diri ataupun menyerang orang atau kelompok lain yang bertikai dengan mereka, mereka cukup familiar dengan berbagai jenis senjata traditional, setia kawan dan berani mengambil resiko apapun dalam mempertahankan prinsip pribadi, kelompok atau wilayahnya, hal ini mengindikasikan sangat dekatnya hal tersebut dengan tradisi militer tradisional, hal tersebut terkonfirmasi misalnya dalam perang Hulu sungai tahun 1860an bergejolak selama dan perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949 dan dilanjutkan dengan pemberontakan DI/TII Ibnu Hajar dimana pahuluan menjadi pusat episintrum perlawanan paling utama.

 Semenjak runtuhnya Kerajaan Daha, Hulu Sungai sebenarnya penuh dengan gejolak politik, meski Hulu Sungai telah terbagi dalam dua pembagian kekuasaan antara Kerajaan Banjar yang menguasai Banua Lima dan wilayah Pahuluan yang dikuasai oleh Kerajaan Jatuh. Kemudian pada pertengahan 1600an Salah satu yang terkenal adalah cerita dari seorang sultan dari Banjarmasin yang berlindung ke Alai, yaitu sultan Bagus Kusuma yang bersembunyi selama beberapa tahun di Kerajaan Jatuh di Alai. Tidak ada pasukan dari luar yang berani masuk atau menyerang Kerajaan Jatuh saat itu. Malahan Sultan Bagus Kusuma Bersama pasukan Alai menyerang Martapura dan berhasil mengalahkan pasukan Sultan Agung, sehingga Sultan bagus Kusuma berhasil merebut tahtanya Kembali. Cerita ini sebenarnya belum berhasil penulis dapatkan data otentiknya selain hanya cerita sahaja.

 

Selain kasus sultan Bagus Kusuma, juga ada kasus pemberontakan pada abad ke 18 , seperti Pangeran Purabaya di awal tahun 1700an, setelah itu ada kasus pemberontakan Pangeran Surya dan Pangeran Ahmad yang kemudian menaikkan beberapa pambakal dari Alai yang disebut dengan orang sepuluh, kemudian banyak kasus kerusuhan karena perdagangan lada antara pemimpin di Banua Lima dan sultan yang didukung pasukan VOC di Martapura, salah satu tokoh dari pahuluan yang pernah menjabat sebagai kepala Negara adalah raden Tumenggung Jaya Negara dipertengahan 1745, raden Tumenggung Jaya Negara adalah saudara Abdul Hamid Waliullah, setelah kasus pemberontakan Tumenggung Jaya Negara yang menyerang dan membunuh pedangang China, beliau berhasil ditangkap dengan bantuan VOC, Sebagian keturunan beliau melarikan diri ke Kerajaan Sintang di Kalimantan barat. Kasus pemberontakan pangeran surya dan Ahmad terjadi di tahun 1780an, Selain itu juga ada keluarga besar dari Datu Dipati yang menjadi Pemimpin Orang sepuluh, beliau adalah orang tua dari Tumenggung Dipanata yang kemudian bergelar Raden Adipati danureja. Setelah itu terjadi lagi peperangan dengan Pangeran Amir kakek dari Pangeran Antasari. Dalam banyak pemberontakan tersebut hulu sungai selalu menjadi pemain penting. Dimana Hulu sungai tidak selalu mendukung atau membela Kerajaan Banjar, tapi terkadang juga berdiam diri.

 

Dalam kasus peperangan antara Sultan Banjar dan Pangeran Amir yang melibatkan pasukan Bugis yang mendukung pangeran Amir dan berhasil berlabuh di Tabanio dan mendekati martapura. Tidak terdengar adanya dukungan Hulu Sungai terhadap Sultan. Pasukan Bugis yang diperkirakan berjumlah tiga ribu orang, akan cukup mudah bagi Hulu Sungai untuk memobilisasi ribuan pasukan untuk menjadi lawan seimbang bagi pasukan bugis tersebut, bahkan akan cukup mudah pula untuk mengalahkannya, tapi nyatanya sultan malah hanya mendapat pasukan dari VOC saja, hal ini menggambarkan bahwa hulu sungai tidak selalu mau terlibat dalam perebutan tahta Banjarmasin, informasi berikutnya malah menyebutkan amir ingin bekerjasama dengan seorang Raja alai, meski hal tersebut urung terjadi.

 

Posisi Kerajaan Jatuh pada dasarnya cukup unik, harus diakui memang menjadi salah satu kekuatan yang merestui berdirinya Kesultanan Banjar, bahkan bisa dikatakan Kerajaan Jatuh merupakan kunci dari langgengnya Kesultanan Banjar, perang antara Pangeran Tumenggung sebagai Raja Daha terakhir melawan Pangeran Samudera yang berkolaborasi dengan Pasukan Demak berakhir dengan perdamaian, tidak ada kalah menang dalam pertempuran, yang ada adalah perdamaian dan berhentinya peperangan. Artinya ada kesepatakan politik penting yang telah disepakati.

 

Logika sederhananya adalah jika Pangeran Samudera beserta Pasukan Demak saja tidak bisa mengalahkan pasukan Pangeran tumenggung di Alai, lalu Ketika pasukan Demak pulang ke Jawa, apakah mungkin pasukan Pangeran Samudera bisa bertahan dari serangan pasukan Pangeran Tumenggung tanpa bantuan dari pasukan Demak? Namun rupanya perdamaian itu cukup ditaati oleh kedua belah pihak, dan dari sana lah penulis melihat bahwa Kerajaan jatuh cukup independen berada dipedalaman dan mendukung berdirinya Kesultanan banjar dengan cara tidak mengganggu Kesultanan banjar.

 

Pembuktian kekuatan Kerajaan jatuh bisa lihat pada contoh diatas dalam kasus Sultan Bagus Kusuma yang bersembunyi di Alai tanpa ada gangguan dari Kesultanan banjar, dan kemudian dengan bantuan dari pasukan Kerajaan jatuh berhasil menaklukan Martapura dan kembali mengambil tahtanya yang telah direbut oleh sultan agung. Hal ini menunjukkan kekuatan dari pasukan Kerajaan Jatuh tidaklah surut.

 

Begitu pula dalam kasus pemberontakan Pangeran Surya dan Pangeran Ahmad yang mendapat bantuan dari pasukan Bugis dari pasir, berhasil pula dihancurkan dan diusir oleh pasukan dari Alai. Bahkan dalam rusuh tuntutan tahta sultan banjar dengan Pangeran amir, terdengar kabar Pangeran Amir meminta bantuan Raja di Alai, meski kemudian ditolak.

 

Posisi politik Kerajaan jatuh sepertinya dinamis dalam berbagai jaman, dari sebagai penerus murni Kerajaan Daha secara politik dan menjadi oposisi Kesultanan Banjar, namun kemudian bekerjasama dengan Kerajaan Banjar dan bahkan kemudian mewarnai berbagai gejolak politik, informasi mengenai Kerajaan Jatuh terdapat selama tahun 1700, kemudian menghilang pada tahun 1800an, ada kemungkinan besar dinamika politik mengaburkan posisi Kerajaan Jatuh. Informasi mengenai Kerajaan Jatuh di Kabupaten Hulu Sungai tengah sendiri ada namun sangat minim,

 

Penyerahan kedaulatan Kesultanan banjar ke VOC pada tahun 1782 mungkin bisa menjadi salah satu moment penting, dimana seluruh wilayah yang dibawah pengaruh Kesultanan Banjar secara politik kemudian diambil alih oleh VOC, meski kemudian VOC meminjamkan beberapa wilayah kepada Keluarga Sultan banjar yang kemudian diperintah oleh Keluarga Sultan banjar tersebut dibawah pengawasan VOC, termasuk disini adalah kerajaan jatuh yang pengelolaannya diserahkan oleh VOC ke Kerajaan Banjar, hal ini terlihat dari konsensi berupa tanah lungguh di Hulu Sungai juga diperkenalkan oleh VOC sebagai pengganti sumber ekonomi dari dilarangnya para Pangeran untuk berbisnis lada oleh VOC. tanah lungguh dibagi dan  ditetapkan oleh belanda.

 

Perlu dipahami disini bahwa wilayah pengaruh tidak selalu merupakan wilayah yang menjadi wilayah yang diperintah secara absolut, sebagai contoh dalam dunia modern hari ini, banyak negara yang menerapkan sistem pemerintahan yang berbeda-beda, seperti sistem politik persemakmuran yang dilakukan oleh Kerajaan inggris raya, banyak negara di dunia ini yang merupakan wilayah pengaruh inggris raya, raja atau ratu inggris adalah kepala negara mereka, tapi secara politik dan pemerintahan tidak ada kaitan dan ketaatan dengan negara inggris, misalnya negara Asutralia dan Selandia baru, juga Kanada, secara politik Kepala Negara adalah raja atau ratu dari Kerajaan inggris, tapi pemerintahan tetap dilaksanakan secara independent oleh rakyat negara tersebut melalui perdana Menteri yang mereka pilih, sehingga raja atau ratu inggris atau negara inggris sekalipun tidak bisa memaksakan apapun terhadap negara Australia, Selandia baru, atau Kanada. Bahkan sangat mungkin negara-negara tersebut akan bertentangan dengan negara inggris. Artinya pengaruh Kerajaan inggris adalah pengaruh politik yang lebih beraroma serimonial belaka.

 

Kerajaan Banjar mewarisi wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh Kerajaan Daha, yang terdiri banyak kerajaan di seluruh Pulau Kalimantan, kerajaan-kerajaan tersebut yang asalnya tunduk kepada Kerajaan Daha beralih kepada Kerajaan Banjar. Ketundukan secara politik tersebut tidak berarti diatur dengan ketundukan absolut kepada Kepada Kerajaan Banjar.

 

Aristokrat Hulu Sungai

 

Jejaring aristokrat Hulu Sungai terbentuk semenjak Kerajaan-Kerajaan terbentuk di Hulu Sungai dari Kerajaan suku-suku pribumi hingga Kerajaan besar yang muncul menguasai sebagian besar Pulau Kalimantan dari Kerajaan Dipa, Kerajaan Daha hingga Kerajaan Jatuh dan masa-masa dibawah Kolonial Belanda, pengalaman ratusan tahun telah membentuk genetik yang khas dan unik dan tradisi serta menempa karakter kepemimpinan, pengalaman pemerintahan, mengasah sensitifas, intuisi dan insting politik mereka, dan hal tersebut tidak berhenti hingga pun hari ini.

 

Oleh karena itulah kemudian muncul pertanyaan tentang aristokrat Hulu Sungai, siapa dan dari mana mereka berasal dan dari mana akar politik serta pemerintahan yang mereka miliki, Jawaban tersebut sesungguhnya akan panjang, tapi dengan memahami diskusi diatas mungkin akan bisa membantu.

 Memang benar bahwa literasi sejarah Kerajaan Daha dan Kerajaan Jatuh serta keturunannya di Hulu Sungai tidak banyak kita temui, penulis mungkin salah satu orang yang mencoba berkonsentrasi dalam meneliti dan menulis mengenai Hulu Sungai, dan secara kebetulan penulis juga mempunyai garis keturunan dari para Bangsawan Hulu Sungai sehingga sedikit banyak mengetahui dan memahami beberapa hal tersebut. Harus diakui bahwa subjektifas penulis ada dalam tulisan ini, namun kembali lagi bahwa tulisan ini adalah salah satu pembuka diskusi yang mungkin akan menjadi penting untuk dipelajari.

Arsitokrat Hulu Sungai menjadi sangat populer di awal abad 20 karena dominasi mereka dalam birokrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Popularitas tersebut dikarenakan administrasi pemerintahan modern yang diterapkan pemerintah Belanda melakukan mutasi pejabat sampai daerah terjauh di seluruh Kalimantan, yang secara kebetulan birokrat-birokrat tersebut berasal dari keluarga aristokrat Hulu sungai. Rekrutmen para birokrat diambil dari keturunan dan keluarga para Tumenggung Penguasa Hulu Sungai yang merupakan keturunan langsung dari Kerajaan Daha dan Kerajaan jatuh. Umumnya kekerabatan keluarga disebut dengan Bubuhan, beberapa klan keluarga terkemuka di Hulu Sungai berketurunan langsung dari Kerajaan Daha dengan menggunakan gelar Andin, Rama, diyang, Anang, Antin, Aluh, Abi.

 Seperti di Amuntai keluarga Besar Danureja yang menjadi pemimpin utama di Banua Lima dan dibawah pemerintah Kolonial belanda menjadi Regent Hulu Sungai, dan dahulu umumnya keturunan mereka bergelar Anang dan Aluh. Salah satu keluarga terkemuka berasal dari Anak-anak dan kerabat dari Raden Adipati danureja seperti Raden Tumenggung Kertanegara, Raden Tumenggung Wangsa Negara, Raden Tumenggung Kumusa Yuda Negara.

 Pada Daerah Negara ada seorang pemimpin yang disebut dengan nama Raja Muhammad Saleh yang menjadi pemimpin negara pada dekade ketiga abad 1800an, nama beliau sering kali disebut dalam beberapa laporan mengenai indrusti senjata dan logam di Negara, kemudian ada juga keluarga klan Abdul Manaf Bin Kiai Martapati yang keturunannya banyak menduduki jabatan penting di Negara pada saat perang Hulu Sungai sejak tahun 1860an, seperti Kiai sahabudin bin Abdul manaf kepala Distrik Negara, Muhamammad Taib bin Abdul Manaf yang menjadi Mufti Afdeling Banua Lima, dan Penghulu Abdul Hasan bin Abdul Manaf yang menjadi Penghulu Distrik Negara.

 Di daerah Kandangan dahulu terdapat distrik Amandit dengan ibukotanya di Amawang, klan keluarga Kiai Durabu yang memimpin distrik amandit selama kurang lebih 30 tahun lamanya, keluarga datu amawang yang keduanya berkaitan keluarga dengan tokoh yang lebih tua yang dikenal dengan nama Raden Kartawidana. Di Rantau dan Margasari ada keluarga besar Rama Andin seperti Penghulu Andin Nyamat yang menjadi kepala distrik Banua ampat dan Penghulu Rama Abdussamad yang menjadi Penghulu Margasari, dan klan keluarga rama dan andin di Binuang.

 Di Kabupaten Hulu sungai tengah ada Tumenggung Gusti di akhir abad 1600an yang merupakan keturunan dari Pangeran Tumenggung raja terakhir Daha. Kemudian pada abad ke 18 atau tahun 1700an ada Sebagian keturunannya seperti kiai Martapati, Kiai Kartapati, Kiai Udapati, Tumenggung Dipasanta. dari sana pada tahun 1800an atau abad ke 19 ada keluarga Tumenggung Jayapati di kampung Jati Birayang, Lurah Andin Asin di Durian Gantang, keluarga Lurah Andin Ulang di Palajau, keluarga Lurah Andin Sanang di Ayuang, Andin Abdurahman di Banua Tengah, keturunan keluarga besar Andin Matali, keluarga besar keturunan Penghulu Yuda Lelana di Jatuh. keluarga Jang Rasmi atau Tumenggung Karta Yuda Yegara di Pantai Hambawang, Keluarga Tumenggung Yuda Karsa di Mahang Palajau, keluarga Ki Demang Yuda Negara di Lok Besar birayang, Keluarga besar Anang Julai bin kiai Mangun Rasmi di Kampung Kadi. Semua kelurga diatas berasal dari satu trah yang sama. Selain itu ada beberapa nama tokoh yang keturunanya untuk sementara tidak bisa terlacak lagi, seperti ahmad janggol yang bergelar kiai demang wira pemimpin Alai paling penting sebelum dan sesudah perang Hulu Sungai, kiai suta sami yang pernah menjadi kepala distrik batang alai yang kemudian di mutasi menjadi kepala distrik Negara. 

Selain itu belum lagi keluarga-keluarga aristokrat di daerah Tabalong dan Balangan yang untuk sementara belum penulis teliti. Problema lain yang menjadi catatan adalah perubahan administrasi pemerintahan setelah kemerdekaan yang menjadikan Hulu sungai dalam beberapa kabupaten, sehingga ada kecenderungan melihat jejaring ini hanya dalam wilayahnya sahaja, muncullah kesulitan psikologis untuk memahami jejaring keluarga aristokrat yang sering kali berkaitan di seluruh Hulu sungai.

Di Hulu sungai pula tidak hanya keluarga dari Hulu Sungai saja, ada beberapa jejaring dari luar Hulu sungai yang bertugas di Hulu dan kemudian menikah atau menetap di Hulu sungai khususnya di awal tahun 1900an ,seperti keluarga besar keturunan dari para ronggo di Banjarmasin dan bangsawan sari sumatera seperti tokoh bernama Merah Nadalsyah yang ditugaskan di hulu sungai baik sebagai Wedana, atau penghulu atau Pegawai Negeri lain,

Dalam hal ini penulis menggarisbawahi jika wawasan penulis lebih banyak mengenai keluarga-keluarga di barabai daripada daerah lain, dan penulis masih kurang wawasan mengenai keluarga-keluarga tokoh di daerah lain di hulu Sungai.

Seperti kita ketahui, Perang Hulu Sungai yang dimulai ditahun 1860an terjadi selama puluhan tahun, dan menjadi salah satu perang dengan banyak korban jatuh dari kedua belah pihak, rakyat Hulu Sungai sangat menderita dan menjadi korban utama dalam peperangan, baik korban materi dan non materi. Para elit Hulu Sungai dalam berbagai klan keluarga pun terpecah belah dalam banyak kubu, untuk itu tidak ada cara lain bagi semua orang yang bertikai untuk cepat mengakhiri perang kecuali dengan bekerjasama dan berdamai, termasuk permusuhan dengan Belanda yang menjadi kekuatan utama dan para Bangsawan Hulu Sungai. Untuk stabilitas politik pemerintah belanda memberikan kompensasi bagi sebagian para elit dengan memberikan atau memulihkan kembali jabatan yang pernah mereka miliki dan kemudian keturunan dan keluarganya diberikan privilege untuk menjadi birokrat di pemerintahan kolonial belanda. Dari sana lah asal mula aristokrat Hulu Sungai mengenal birokrasi modern pemerintahan Belanda.

Apakah kemudian aristokrat Hulu Sungai bisa dikatakan Pro Belanda? Pertanyaan ini cukup umum dilontarkan oleh orang awam, Jawabannya mungkin tidak sesederhana pertanyaannya. Apalagi jika kita melihatnya dalam kacamata hitam putih nasionalisme yang dijaman itu tidak dikenal oleh para aristokrat Hulu Sungai. Wacana nasionalisme baru muncul diabad 20, ketika ada kesadaraan baru dikalangan generasi yang lebih muda untuk melawan penjajahan di seluruh Hindia Belanda. Pertanyaan apakah pro belanda atau tidak pro Belanda adalah sangat tidak tepat melihat kondisi saat itu.

Akan sangat wajar bagi para elit Hulu Sungai untuk memilih berdamai dan menjalankan kehidupan secara wajar dan stabil Kembali, tidak mudah bagi seseorang atau kelompok tertentu dalam hal ini para bangsawan Hulu Sungai dan Rakyat Hulu Sungai untuk kehilangan kekuasaan dan kestabilitasan yang mereka miliki selama ratusan tahun. apalagi dengan alasan terjadi perang yang sebenarnya tidak menjadi bagian dari politik dan kepentingan mereka, yaitu kisruh perebutan tahta di Kerajaan Banjar yang tidak ada sangkut pautnya dengan mereka, sisi lain pula Kerajaan Banjar secara politik tidak begitu mengikat kepada mereka. Sampai hari ini belum ada analisis logis dari ikut campurnya beberapa bangsawan Hulu Sungai dalam peperangan di Hulu Sungai yang menjadi salah satu perang paling berdarah yang pernah ada di Indonesia.

Memasuki abad ke 20, para aristokrat Hulu Sungai menjadi refrensentasi Kalimantan di pemerintahan kolonial Belanda karena kuantitas mereka yang banyak, hal ini mirip dengan yang terjadi misalnya pada orang-orang Minang dan Bangsawan Jawa yang banyak menempati birokrat modern pemerintahan kolonial Belanda. Laporan mengenai pejabat-pejabat seperti kepala Regent, Mufti, kepala distrik, dan Penghulu rutin dilaporkan dalam almanak tahunan pemerintah Belanda. Sebagian dari keturunan mereka pun sampai hari ini masih bisa kita kenali dengan mudah karena masih menjadi berperan dalam berbagai posisi di Indonesia modern.

Seperti kita bahas sebelumnya diatas, aristokrat Hulu Sungai terus terlibat dalam percaturan Politik di Kalimantan Selatan selama ratusan tahun semenjak kerajaan Daha runtuh, beberapa moment politik yang terjadi seperti naiknya orang 10 dalam tampuk kekuasaan yang stabil di banua lima di pertengahan tahun 1785, dan  perang Hulu Sungai Meletus di tahun 1859-1861 menjadi peran paling krusial dalam naiknya peran bangsawan hulu sungai secara lebih luas dan lebih penting. Meski Pada perang Hulu sungai pula para Bangsawan terpecah dalam beberapa faksi yang bertikai.

Disaat dan setelah perang Hulu Sungai, Kebutuhan pemerintah kolonial terhadap tenaga terdidik untuk mengisi posisi-posisi birokrasi semakin tinggi, sekolah-sekolah sekuler pun banyak dibuka pada awal 1900an di Hulu sungai dan banyak diisi oleh para keluarga birokrat dan keluarga Bangsawan, lulusan dari sekolah-sekolah tersebut sebagian bisa terserap untuk mengisi posisi posisi birokrasi seperti guru, petugas Kesehatan, petugas pertanian dan sebagainya, atau pekerjaan-pekerjaan diluar birokrasi di Kalimantan seperti dalam perusahaan-perusahaan yang hadir di seluruh pulau Kalimantan.

Perlu juga didiskusikan bahwa masuknya Aristokrat Hulu sungai dalam pemerintahan Belanda juga disertai gejolak internal dalam masing-masing keluarga besar. Karena rupanya meski menjadi birokrat pemerintah Belanda, mereka masih menyimpan rasa tidak tunduknya atau ketidaksukaannya kepada pemerintah kolonial, ketundukan mereka terhadap pemerintah kolonial bisa disebut hanya sebagai ketundukan dan kesepakatan politik belaka, tidak sebagai ketundukan dengan sepenuh hati, sehingga mereka masih menganggap Belanda sebagai orang lain yang menguasai mereka

Walau bagaimanapun jejaring aristokrat Hulu Sungai masih menyimpan rasa kekeluargaan, mereka masih melakukan pernikahan antara keluarga besar masing-masing meski berbeda faksi dan pilihan politik, ini menunjukkan rasa kesatuan mereka tidaklah luntur.

Nyatanya dalam sebuah keluarga besar, tidak semua orang bisa mendapatkan jatah jabatan sehingga selalu ada hal yang dikalahkan bahkan terjadi konflik karena berbagai kebijakan pemerintah. Beberapa cabang keluarga melakukan migrasi ke luar Kalimantan selatan untuk mendapatkan posisi kehidupan yang lebih baik, seperti ke Sumatera dan Malaysia. Salah satu alasan migrasi tersebut adalah alasan politik, ekonomi dan marwah kebangsawanan setelah pengambilan paksa tanah ulayat oleh pemerintah. Migrasi ke Pulau sumatera dan Malaysia memang digawangi oleh para Bangsawan Hulu Sungai karena pada dasarnya migrasi ke tempat yang jauh membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan ini hanya bisa dilakukan oleh keluarga-keluarga bangsawan yang mempunyai ekonomi yang kuat.

Beberapa keluarga yang lain malah mulai mengembangkan usaha perdagangan dan indrustri ke luar Hulu sungai bahkan ke Luar pulau Kalimantan, hal ini mampu mereka lakukan dikarenakan mereka mempunyai modal yang mumpuni dari harta yang mereka miliki selama ratusan tahun dan mereka juga memiliki jejaring keluarga dalam pemerintahan, konflik mungkin tidak terlihat jelas disini, karena Kerjasama ekonomi mereka terlihat saling menguntungkan, tapi justru disinilah konsolidasi dalam meredakan ketegangan konflik, jejaring ekonomi yang disering juga disebut jejaring saudagar Hulu Sungai bisa dapat di kota-kota besar Pulau Jawa dan pulau pulau lain di Nusantara.

sampai hari ini diskusi mengenai bagaimana Belanda bisa menjajah Kalimantan selatan belum banyak didiskusikan, siapa yang bertanggung jawab atas hadirnya Belanda di Kalimantan selatan tidak pernah dibuka dengan jujur. Dari sana kita memahami bahwa Ketidaktundukan secara penuh kepada Belanda sebenarnya tidaklah mengejutkan, karena selama ratusan tahun Bangsawan hulu sungai tetap menyimpan kebanggaan sebagai keturunan kerajaan Daha yang dahulu berkuasa, mereka juga mempunyai kebebasan politik selama ratusan tahun dibawah Kerajaan Jatuh meski dengan wilayah kekuasaan yang kecil, kemudian mereka berinteraksi secara politik dengan Kerajaan Banjar dalam berbagai rupa warna dari dari pertikaian, kerjasama politik, pernikahan politik yang mempengaruhi berbagai gejolak politik di Kalimantan selatan, sehingga wajar-wajar saja kemudian mereka tidak mempunyai keterikatan yang kuat dengan Kerajaan Banjar dan Belanda.

Perang besar di Hulu Sungai yang dimulai tahun 1859 bisa menjadi salah satu gambaran yang dapat kita jadikan bahan diskusi, perpecahan Aristokrat Hulu Sungai yang mendukung berbagai faksi menunjukkan mereka cukup kuat dan bebas dalam melakukan berbagai gerakan politik, ada kelompok yang mendukung Belanda dan melawan Belanda, yang melawan Belanda pun terbagi dalam berbagai faksi, seperti faksi Datu Aling, faksi Beratip Beamal, faksi Pangeran Antasari, dan faksi Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman, faksi tumenggung Jalil. Dalam faksi yang mendukung Belanda pun terbagi yang sekurangnya ada dua faksi yaitu faksi yang mendukung Sultan Tamjidillah II seperti kelompok Adipati Danureja dan faksi yang murni mendukung Belanda secara langsung seperti kelompok Tumenggung djang rasmi yang bergelar Tumenggung karta Yuda Negara dan Ahmad Jangol bergelar Kiai demang Wira Negara. Dalam hal ini Sultan Banjar yaitu Tamjidillah II berada pada pihak Belanda, sedangkan para Bangsawan Hulu Sungai seperti  Jang Rasmi dan Ahmad Jangol merupakan pemimpin di Alai (barabai) Hulu sungai yang telah lama memimpin di wilayahnya masing-masing jauh sebelum perang Meletus, merekapun jelas tidak tahu menahu dan tidak mempunyai keterikatan terhadap intrik politik yang terjadi di Martapura dan Banjarmasin sehingga ketika perang Meletus sangat wajar mereka mempertahankan posisi jabatan mereka. Merekapun tidak mempunyai alasan yang logis untuk mendukung salah salah satu faksi yang melawan Belanda, dan tidak ada yang bisa memaksa mereka untuk ikut mendukung salah satu faksi yang melawan Belanda. Bagaimana mungkin orang-orang banjar harus memaksa para bangswan di Hulu sungai untuk melawan Belanda sedangkan sultan di Banjarmasin sendiri berada disamping Belanda. Sedangkan selama ratusan tahun Aristokrat Hulu sungai tidak pernah tunduk kepada Banjar.

Dalam perkembangan berikutnya para birokrat dari aristokrat Hulu Sungai ini juga kemudian menjadi bagian dalam kepemimpinan setelah kemerdekaan Indonesia, karena pengalaman mereka selama di masa Belanda dalam pemerintahan sangat berperan dalam membangun negara baru di Republik Indonesia yang baru, juga dikarenakan kerjasama dan dukungan Sebagian dari mereka selama masa pergerakan kemerdekaan.

Memang dari sini kemudian menjadi pertanyaan krusial Kembali, bagaimana mungkin mereka yang dahulu bekerjasama dengan pemerintah kolonial kemudian menjadi pemimpin setelah kemerdekaan. Banyak yang mengira bahwa bekerjasama dengan Belanda dimasa penjajahan adalah hal yang salah. Dan ini menjadi pendapat yang mudah diterima oleh orang awam biasa, tapi seperti dijelaskan diatas, kerjasama dengan Belanda merupakan salah satu kesepakan politik yang paling realistis diambil oleh Bangsawan Hulu sungai dibawah dominasi kekuatan militer Belanda saat itu. Sehingga tidak harus dimaknai sebagai sebuah keputusan yang salah, sejarah membuktikan bahwa dikemudian hari sebagian keturunan atau keluarga mereka kemudian ikut tercerahkan dengan menerima gerakan kemerdekaan bahkan menjadi pemimpin dalam mendukung gerakan menuju kemerdekaan Indonesia.

rasanya kurang adil jika kita cara pandang kita dalam melihat aristokrat hulu sungai hanya dengan tendensi nasionalisme yang belum mereka kenal di jaman itu, dalam hal ini penulis akan mendiskusikan satu contoh hal berbeda mengenai peran keluarga aristokrat Hulu Sungai yang dengan segala dinamikanya menjadi salah satu dedikasi paling mempengaruhi Kalimantan selatan selama dan setelah perang Hulu sungai, yaitu peran klan keluarga besar Abdul Manaf bin martapati dimasa dan setelah perang hulu sungai di abad ke 19 dalam membangun jejaring Pendidikan Islam yang mungkin saja itu menjadi terobosan kebijakan politik terbaik dimasanya.


- Jabatan Mufti dan Stabilisasi Politik di Hulu Sungai 

Salah satu respon Belanda dalam menanggapi berbagai gejolak perang, Belanda mengambil jalan pragmatis dan lebih lembut, diantara adalah mereka memberi ruang kepada para tokoh berlatar belakang Islam untuk masuk dalam pemerintahan yang mereka bentuk. Peran tokoh-tokoh Islam sangat efektif dalam usaha Belanda meredam perlawanan, seperti seseorang yang bernama Haji Isa, Mufti Mahmud dan Penghulu Khalid yang menjadi pelobi utama dalam peristiwa penyerangan orang-orang Hulu Sungai di Martapura, dan mereka cukup berhasil mencegah bentrokan. Begitu juga dengan yang berperan mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai.[18] 

 Dalam peristiwa penahanan Pangeran Hidayat oleh para Ulama Hulu Sungai di Amuntai, pemerintah Belanda mengirim seorang yang bernama Syarif Husin, seorang tokoh Islam Arab sebagai pelobi, Syarif Husin juga mengajak para haji dan penghulu dari distrik Nagara untuk ikut melobi ke Amuntai.[19] 

 Pemerintahan yang baru dibentuk oleh Belanda setelah penghapusan Kesultanan Banjar juga tidak menghilangkan Jabatan Islam seperti Mufti dan Penghulu, malah Belanda memberikan posisi yang istimewa dalam pemerintahan. Umumnya di tanah Gubernuran di Hindia belanda atau wilayah yang bawah administrasi pemerintahan Belanda seorang regent didampingi seorang Penghulu, agak berbeda dengan Regent di Kalimantan Selatan yang didampingi oleh seorang Mufti. Pembentukan Jabatan Mufti dalam sistem pemerintahan kolonial di Kalimantan Selatan saat itu tentu merupakan suatu hal yang berbeda dan istimewa.

 Tahun 1860 Adipati Danureja (menjabat 1860-1861) ditunjuk sebagai Adipati Hulu Sungai, sebelumnya beliau menjabat sebagai Tumenggung di Banua lima, dan Mufti yang ditunjuk adalah Mufti Muhammad Taib yang menjabat selama 6 tahun dari 1860-1866[20]. Dalam pembahasan kita disini Mufti Muhammad Taib menjadi perhatian, ketika dimasa beliaulah peperangan di Hulu Sungai sedang berkecamuk dan ketika beliau turun jabatan, perang besar telah berhasil diredam.

 

 

koleksi pribadi
koleksi pribadi

Gambar 1: Struktur kedudukan Mufti di pemerintahan Belanda

 

Dalam sebuah memoir mantan Pegawai Belanda yang pernah betugas Amuntai menceritakan bahwa dia tidak melihat semua tokoh Agama Islam melawan pemerintahan Belanda, karena sebagian besar dari mereka yang berpendidikan Islam dengan baik tidak terpengaruh oleh ajaran fanatik yang dikampanyekan oleh gerakan Tambah Makkah maupun Baratip Baamal. Bahkan sebagian tokoh-tokoh juga tidak mempermasalahkan Belanda menjadi pemimpin mereka asalkan tdak mengganggu kebebasan dan penegakan agama Islam.

 Kerjasama dengan para tokoh-tokoh islam dianggap penting, dan mendorong penguataan Pendidikan islam yang baik juga disarankan untuk menekan pengaruh dan ajaran golongan islam yang dianggap radikal.[21] Pemilihan Mufti pula tidaklah sembarang orang, Mufti Muhammad Taib yang menjadi Mufti pertama Hulu Sungai, dengan pendidikan yang mumpuni karena menuntut ilmu di Kota Mekkah yang legitimasi atas otoritasnya sebagai Mufti dari segi keilmuan keagamaan Islam. Secara geonologi pula, Mufti Muhamamd taib berasal dari trah keluarga aristokrat Bangsawan Alai yang mempunyai pengaruh paling kuat dikawasan, hal tersebut menjadikan posisi Mufti yang dipegangnya begitu kuat dan dihormati semua orang.

 Selain Mufti Muhammad Taib ada beberapa Tokoh lain yang pernah Menjabat sebagai Mufti di Hulu sungai, seperti Mufti haji Muhammad sayid, Mufti Hajid Abdurrauf, Silsilah Mufti Muhammad Taib juga memberikan gambaran kemampuan menuntut ilmu Islam sampai ke kota Mekkah memang didukung oleh tradisi lawas keluarganya untuk mempertahankan eksistensi Islam yang mereka klaim disebarkan oleh nenek moyang mereka.

 Dari sana juga didapati kemampuan ekonomi mereka sebagai bagian dari keluarga Bangsawan yang berkuasa sangat mampu membiayai Pendidikan sampai ke Kota Mekkah yang sangat mahal di jaman itu. Muhammad Taib sendiri mempunyai beberapa saudara yang sama-sama menuntut ilmu di Kota mekkah seperti Penghulu Abul hasan yang menjadi Penghulu Distrik Negara dan Haji Syahabudin yang menjadi kepala Distrik Negara, kakek mereka bernama Kiai Martapati seorang Tumenggung wilayah Alai yang menguasai tambang emas di pegunungan. Dalam struktur pemerintahan, Mufti dibantu oleh para penghulu ditingkat distrik, wilayah setingkat kecamatan yang dipimpin oleh seorang kiai.

 Maka Mufti dan penghulu pada dasarnya ada dalam satu pemerintahan. Otoritas jabatan Mufti jelas merupakan jabatan yang mengurusi agama Islam yang utama diwilayahnya, sehingga umat Islam merasa terayomi dalam urusan-urusan Islam dan secara politik pula terwakili dalam pemerintahan. Perbedaan Mufti dan Penghulu dengan Ulama diluar pemerintahan adalah dalam hal kepemilikan otoritas.

 Mufti sebagai bagian dari pemerintahan saat itu, tentu saja mempunyai otoritas yang diberikan dan bertanggung jawab terhadap negara terlepas apapun atau siapapun penguasanya. Dengan otoritas tersebut maka Mufti kemudian mampu untuk menegakan kekuasaan dari otoritasnya dengan dukungan Negara. Berbeda dengan Ulama diluar pemerintahan, mereka tidak mempunyai otoritas dan tanggung jawab apapun terhadap Negara, mereka bebas menentukan langkah yang mereka ingini sesuai keyakinannya.

 Gangguan keagamaan tentu saja tidak selalu berasal dari eksternal umat islam, tapi bisa jadi berasal dari internal umat islam sendiri. Dalam kasus pergolakan di Hulu Sungai, Gerakan Tambai Makkah dan kelompok Baratip Baamal terlepas semangat mereka dalam melawan Belanda, ada sisi dimana gerakan tersebut bisa dikatakan menjadi permasalahan internal keagamaan Islam karena kecendrungan mencampurkan Islam dengan ajaran yang tidak sesuai atau menyimpang dengan ajaran islam sebenarnya. Melihat hal tersebut ada kepentingan lebih besar yang menjadi pertimbangan para Tokoh Islam dalam melihat pergolakan, ada tanggung 31 Tichelman, G.L, Dkk, "Een gezaghebber-resident" SN, 1939, Hal 69-70 jawab moral bagi para Tokoh Islam untuk meluruskan dan menjaga ajaran agama Islam secara benar yang telah nenek moyang mereka syiarkan di Hulu Sungai.

 Dalam sisi lain kenyataan bahwa eksistensi sebagian keluarga ulama Hulu Sungai seperti keluarga besar Mufti Muhammad Taib memang menyatu dengan aristokrat Bangsawan Hulu Sungai, dimana mereka telah berkuasa selama ratusan tahun, akan tidak mudah bagi mereka melepaskan kekuasaan tersebut kepada kelompok baru dengan pertimbangan apapun, secara wajar politik kekuasaan juga menjadi terlihat jelas, apalagi semangat nasionalisme yang kita dengungkan hari ini tentu belum dikenal di masa itu.

 

Dua faktor diatas adalah analisis untuk melihat kompromi sebagian para Tokoh Islam dengan Belanda menjadi pilihan logis mereka, Artinya posisi kepentingan tidak dimiliki oleh satu pihak saja, tetapi ada kepentingan yang sama antara sebagain Tokoh Islam dan Belanda dalam melihat gerakan-gerakan politik Tambai mekkah dan Kelompok Baratip baamal yang dilaporkan menyimpang dari agama Islam. Jabatan Mufti tidak selalu mengenai hal urusan keagamaan Islam, fungsi-fungsi politik juga dilaporkan dan disampaikan kepada Mufti. Salah satu fungsi politik yang cukup penting adalah permintaan Belanda kepada para Mufti dan Penghulu untuk menekan kegiatan Baratif Baamal di masa-masa perang, mereka juga diminta mengeluarkan fatwa yang menyudutkan Baratip Beamal, juga pada tahun 1861 juga ada laporan mengenai permintaan pemimpin militer Belanda kepala Penghulu untuk membantu relokasi rumah-rumah penduduk di Desa Pamangkih yang dahulu terpencar tidak teratur untuk dipindahkan ke pinggir jalan yang telah dibangun oleh pemerintahan Belanda, pemindahan ini bertujuan agar pengawasan terhadap masyarakat bisa leih mudah dilakukan oleh Belanda. Dua laporan diatas mungkin bagian dari beberapa kerjasama Belanda dan Tokoh Islam dalam menciptakan stabilitas politik dan keamanan.

 Dalam kasus lain juga terlihat, Peran Mufti yang diminta pendapatnya dalam sidang-sidang peradilan umum. Seperti kasus yang melibatkan Baratip Baamal, pada sebuah laporan persidangan di tahun 1874 terjadi penyerangan seorang pribumi ke Benteng Belanda di Amuntai, melukai seorang tentara kulit putih yang kemudian tewas beberapa hari kemudian.

 Penyerangnya sendiri juga berhasil dilumpuhkan dan tewas dalam serangan tersebut, tapi Belanda tetap mencurigai penyerang tersebut berasal dari aliran tertentu karena dia telah memakai kain kafan di balik bajunya, mengindikasikan dia telah siap mati pada hari itu, indikasinya dia adalah seorang simpatisan Baratip Baamal. Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam didapati bahwa penyerang tersebut berasal dari kampung Dangu di Barabai dan dia mempunyai seorang guru di kota Amuntai, dimana dia sering pergi berhari-hari meninggalkan keluarganya hanya untuk menemui gurunya di Amuntai. Penyelidikan mengarah kepada seseorang yang bernama haji Mataher di Amuntai yang kemudian ditangkap, meski Haji Mataher bersikeras mengatakan bahwa dia tidak terlibat, namun kontroler sekaligus jaksa tetap menuntut dia dengan hukuman mati.

 Dalam persidangan Kontroler merasa khawatir karena seorang Mufti yang bernama Haji Abdur Rauf yang dia sebut sebagai seorang yang sangat berpengaruh dengan jabatannya dan lama tinggal dan belajar di Mekkah. Menurut dia Mufti dan Penghulu mempunyai hak memberi pendapat kepada Hakim.

 Tentu saja jaksa merasa khawatir tuntutannya kepada Haji Mataher akan gagal karena pengaruh Mufti Abdur Rauf terhadap hakim, tapi dia sungguh terkejut ketika Mufti tersebut memberikan pendapat bahwa "dalam Islam tidak ada hukum untuk menyakiti diri sendiri dan orang lain", sehingga Hadji Mataher dijatuhi hukuman mati karena dianggap mempengaruhi seseorang untuk menyakiti dirinya sendiri dan orang lain.

 Setelah dihukumnya Mataher situasi distrik Amuntai dilaporkan cukup stabil selama beberapa tahun berikutnya. Seorang Mufti dalam peristiwa peradilan di atas memperlihatkan peran dan posisi penting mereka sebagai stabilitor diwilayahnya, hingga seorang pejabat Belanda yang notabeni adalah penguasa utama, menghormati seorang Mufti yang dianggapnya sangat berpengaruh. Dengan demikian stabilitas politik di Hulu Sungai bisa dikatakan tidak terlepas dari campur tangan para Mufti, hal tersebut membentuk daya tawar politik yang unik dengan Belanda. Dalam daya tawar politik terhadap Belanda, Mufti dan Penghulu tetap akan mempertahankan kepentingan agama Islam dalam posisi utama.

 

Untuk menjaga stabilitas yang telah diperoleh diperlukan suatu usaha, termasuk disana usaha mempertahankan jejaring politik kekuasaan keluarga besar Mufti dan membentuk jejaring Pendidikan agama islam untuk menyaingi dan membasuh sisa-sisa gerakan yang ada. Beberapa keluarga besar Mufti Muhammad Taib di Distrik Negara menjadi pejabat keagamaan dan pemerintahan umum, seperti dijelaskan sebelumnya saudaranya yang bernama Penghulu Abul Hasan menjadi Penghulu Distrik Negara ,dan saudaranya yang lain Haji Syahabudin yang menjadi kepala Distrik Negara selama hampir 30 tahun. Selain itu jejaring penguasa lain di distrik-distrik Hulu Sungai masih terikat kekeluargaan dengan Mufti Muhammad Taib sebagai salah satu klan keturunan bangsawan daha di Hulu sungai.

 Dalam hal Pendidikan Islam, Distrik Negara dijadikan pusat Pendidikan formal Agama Islam yang dinahkodai oleh keluarga Mufti Muhammad Taib, konsep pendidikan Islam dengan cara mangaji baduduk dalam ilmu-ilmu ushul agama islam menjadi lebih terjangkau oleh penduduk Hulu Sungai dan tidak lagi menjadi ekslusif hanya bagi kalangan kelas atas seperti sebelumnya. Pendirian langgar-langgar batingkat di Negara sebagai kelas-kelas pengajian adalah respon terhadap semakin banyaknya orang-orang yang ingin menuntut ilmu islam di Distrik Negara. Stabilitas politik dan keamanan semakin terjaga seiring dengan makin banyaknya orang-orang yang berpendidikan Islam, mengantarkan Hulu Sungai kembali memasuki masa pergerakan Islam baru di awal abad 20 yang berwacana kesadaran nasionalisme keindoensiaan.

 Orang-orang Hulu Sungai dengan kemampuan sumber daya manusia yang mereka miliki melalui pendidikan Islam yang baik mampu merespon jamannya, meskipun secara teritori Hulu sungai cukup terpencil jauh di pedalaman Pulau Kalimantan.

 Semoga tulisan singkat ini bermanfaat dan bisa memancing diskusi-diskusi serta penelitian-penelitian selanjutnya.

 

[1] Dr Tundjung, Karet dari Hulu Sungai 1900-1940, Suatu Tinjauan Sejarah tenang Peningkatan Sumber Daya Ekonomi Pasca Kesultanan Banjar, Pustaka Agung Kesultanan Banjar, Banjarmasin, 2014

[1] Voyagie gedaan door Jacob Janssen de Roy, na Borneo en Atchin, in 't jaar 1691, en vervolgens; op ordre van den Hoogh Edelen Heer Willem van Outhoorn, terbit 1700, hal 52

[1] Laporan perjalanan F. J .Hartmann 1790 dalam Kronikjk Van Het Historisch Genootschap, penerbit Kemink En Zoon, Utrecht,   1864. Hlm 331

[1] A Voyage To and From the Island of Borneo, n he East-Idies, Printed for T. Warner at the Black Boy and J. Batley at the Dove, in Pater-nofter-Row, London, 1718, Hl 48

[1] Sulandjari, Politik dan perdangan lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 1991, sebuah manuskrip yang sintang yang menuliskan mengenai silsilah Dipati Jaya Negara yang keturunannya merantau ke sintang pada abad ke 18. bisa download pada www.tanjungnagara.blogspot.com Tanjung Nagara: SYEKH HAJI ABDUL HAMID PUTRA MARTAPURA BANJAR

[1] Sultan yang dekat dengan VOC yang selalu memberikan bantuan dan perlindungan militer kepada pasukan sultan dalam setiap pertempuan melawan para bawahan dan keluarga sultan yang melawan sultan, dan satu sisi para bawahan sultan di negara di mana lada bisa di dapatkan lebih suka berdagangn dengan inggris. Maka sering kali terjadi konflik bersenjata antara sultan yang didukung pasukan VOC dengan para mantri di di negara. Buku tesis dan buku noorlander

[1] Laporan perjalanan DR. S. Muller dalam surat kabar Nieuwe Abonnement Rotterdamsche Couran, terbit di Amsterdam tanggal 7 Januari 1847

[1]" Menoeroet kabar2 zaman bahari kala. Atsalnja ada 7 boeah kapal orang Hindoe (Kling) dengan seorang Radjanja masoek, roepanja kiraa di watas Marabahan tapi tempo itoe bloem ada Negri daratan tjoema air sadja (laoet). Adapoen maksoednja ka toedjoeh boeah kapal itoe agar mentjari tanah daratan boeat mendirikan Negri sebab menoeroet soerat penoedjoeman kalau terdapat tanah jang baoenja wangi di sitoelah jang baik boeat Negri. Diantara kapal jang ka 7 boeah ada membawa 2 ekor bebek soerati, maka sewaktoe itoe kapal berlaboeh saoeh lantas itoe, kedoea bebek terseboet terbang mentjahari makanan, kemoedian sorenja kombali di kapal; dilihat oleh Radja Kling bahasa badanja itoe bebek bertjeloemoer dengan loempoer oleh demikian teranglah pendapatan Radja Kling tentoe adalah tanah daratan. Pada keesoekan harinja waktoe pagia selaloe di preksa maka kedoea ekor bebek itoe terbang menoedjoe ke Oetara, setalah itoe maka kapalpoen berlajar mengiringkan sahingga sarapai di mana bebek itoe berhenti dimana ada tanah jang timboel (Tjandi Laras). Sesoedahnja Radja Kling naik di atas itoe tanah maka di preksa dan di tjioem tiada berbaoe wangi tetapi Radja Kling adalah berasa senang hati apabila doedoek di atas tanah itoe sahingga tertidoer beberapa djam lamanja, sesoedahnja Radja Kling bangoen tidoer maka baharoelah menitahkan kepada segala anak boeah isi kapal itoe boeat bermoela memboeat Negri disitoe dan di kasih nama Margasari." M. NIjhoff, Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch indie OUDHEIDKUNDIG VERSLAG 1926 Eerste en Tweede Kwartaal, penerbit Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Batavia, tahun 1927, hlm 154

[1] Dr muller memberikan laporan pertama kali mengenai hal ini dalam musibahnya memasuki perairan sungai bahan sampai ke kalua, dia memberikan laporan mengenai reruntuhan orang keling dimargasari

[1] Lihat de roy

[1] Lihat kaptep hard

[1] Lihat perjalanan ke batu hapu ada ungkapan seperti itu ketika membanding wilayah batu hapu dan alai amandit dalam surat kabar "tocht Naar Batoe Hapoe" dalam surat kabar Bataviaawch Handelsblad" terbit tanggal 20 Oktober 1876

[1] Ada ungkapan parijs van borneo yang sampai sekarang mungkin terlalu berlebihan dan tidak ada data dari arsip belanda yang kita dapati, selain pula persamaannya sulit ditemukan antara paris dan kota barabai yang baru dibangun di dekade kedua abad 20.

[1] Coba lihat pula kamus besar bahasa Indonesia dan melayu

[1] Sungai sungai diluar hulu sungai di Kalimantan tidak banyak menggunakan istilah batang ini, sehingga bisa saja istilah batang ini sebuah kekhususan untuk digunakan pada penyebutan sungai-sungai besar di hulu sungai sahaja dan tidak ditemukan pada daerah lain disekitarnya.

[1] Krovnik van Banjarmasin

[1] H. Gr. J. L Meyners. Bijdragen Tot de kennis der geschiedenis Van het Bandjermasinsche rijk 1863-1866, (Liedin, 1888), p. 304

[1] Helius Sjamsudin, "Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti: Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1860", p. 276. 28 Ibid, p p. 168-172

[1] Kielstra, E. B, "De ondergang van het Bandjermasinsche rijk", p. 204. 30 H. Gr. J. L Meyners, "Bijdragen Tot de kennis der geschiedenis Van het Bandjermasinsche rijk 1863-1866", p. 217. and "Almanak Van Nederlandsch indie Voor Het Jaar Vol 34", (Lands Durkkery 1861)

 

Usaha Politik Hindia Belanda Terhadap Arus Perlawanan Umat Islam (Studi Jabatan Mufti di Hulu Sungai), Nuril Khasyi'in*1, Alfianoor2 UIN Antasari Banjarmasin, ULM Banjarmasin

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun