sampai hari ini diskusi mengenai bagaimana Belanda bisa menjajah Kalimantan selatan belum banyak didiskusikan, siapa yang bertanggung jawab atas hadirnya Belanda di Kalimantan selatan tidak pernah dibuka dengan jujur. Dari sana kita memahami bahwa Ketidaktundukan secara penuh kepada Belanda sebenarnya tidaklah mengejutkan, karena selama ratusan tahun Bangsawan hulu sungai tetap menyimpan kebanggaan sebagai keturunan kerajaan Daha yang dahulu berkuasa, mereka juga mempunyai kebebasan politik selama ratusan tahun dibawah Kerajaan Jatuh meski dengan wilayah kekuasaan yang kecil, kemudian mereka berinteraksi secara politik dengan Kerajaan Banjar dalam berbagai rupa warna dari dari pertikaian, kerjasama politik, pernikahan politik yang mempengaruhi berbagai gejolak politik di Kalimantan selatan, sehingga wajar-wajar saja kemudian mereka tidak mempunyai keterikatan yang kuat dengan Kerajaan Banjar dan Belanda.
Perang besar di Hulu Sungai yang dimulai tahun 1859 bisa menjadi salah satu gambaran yang dapat kita jadikan bahan diskusi, perpecahan Aristokrat Hulu Sungai yang mendukung berbagai faksi menunjukkan mereka cukup kuat dan bebas dalam melakukan berbagai gerakan politik, ada kelompok yang mendukung Belanda dan melawan Belanda, yang melawan Belanda pun terbagi dalam berbagai faksi, seperti faksi Datu Aling, faksi Beratip Beamal, faksi Pangeran Antasari, dan faksi Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman, faksi tumenggung Jalil. Dalam faksi yang mendukung Belanda pun terbagi yang sekurangnya ada dua faksi yaitu faksi yang mendukung Sultan Tamjidillah II seperti kelompok Adipati Danureja dan faksi yang murni mendukung Belanda secara langsung seperti kelompok Tumenggung djang rasmi yang bergelar Tumenggung karta Yuda Negara dan Ahmad Jangol bergelar Kiai demang Wira Negara. Dalam hal ini Sultan Banjar yaitu Tamjidillah II berada pada pihak Belanda, sedangkan para Bangsawan Hulu Sungai seperti  Jang Rasmi dan Ahmad Jangol merupakan pemimpin di Alai (barabai) Hulu sungai yang telah lama memimpin di wilayahnya masing-masing jauh sebelum perang Meletus, merekapun jelas tidak tahu menahu dan tidak mempunyai keterikatan terhadap intrik politik yang terjadi di Martapura dan Banjarmasin sehingga ketika perang Meletus sangat wajar mereka mempertahankan posisi jabatan mereka. Merekapun tidak mempunyai alasan yang logis untuk mendukung salah salah satu faksi yang melawan Belanda, dan tidak ada yang bisa memaksa mereka untuk ikut mendukung salah satu faksi yang melawan Belanda. Bagaimana mungkin orang-orang banjar harus memaksa para bangswan di Hulu sungai untuk melawan Belanda sedangkan sultan di Banjarmasin sendiri berada disamping Belanda. Sedangkan selama ratusan tahun Aristokrat Hulu sungai tidak pernah tunduk kepada Banjar.
Dalam perkembangan berikutnya para birokrat dari aristokrat Hulu Sungai ini juga kemudian menjadi bagian dalam kepemimpinan setelah kemerdekaan Indonesia, karena pengalaman mereka selama di masa Belanda dalam pemerintahan sangat berperan dalam membangun negara baru di Republik Indonesia yang baru, juga dikarenakan kerjasama dan dukungan Sebagian dari mereka selama masa pergerakan kemerdekaan.
Memang dari sini kemudian menjadi pertanyaan krusial Kembali, bagaimana mungkin mereka yang dahulu bekerjasama dengan pemerintah kolonial kemudian menjadi pemimpin setelah kemerdekaan. Banyak yang mengira bahwa bekerjasama dengan Belanda dimasa penjajahan adalah hal yang salah. Dan ini menjadi pendapat yang mudah diterima oleh orang awam biasa, tapi seperti dijelaskan diatas, kerjasama dengan Belanda merupakan salah satu kesepakan politik yang paling realistis diambil oleh Bangsawan Hulu sungai dibawah dominasi kekuatan militer Belanda saat itu. Sehingga tidak harus dimaknai sebagai sebuah keputusan yang salah, sejarah membuktikan bahwa dikemudian hari sebagian keturunan atau keluarga mereka kemudian ikut tercerahkan dengan menerima gerakan kemerdekaan bahkan menjadi pemimpin dalam mendukung gerakan menuju kemerdekaan Indonesia.
rasanya kurang adil jika kita cara pandang kita dalam melihat aristokrat hulu sungai hanya dengan tendensi nasionalisme yang belum mereka kenal di jaman itu, dalam hal ini penulis akan mendiskusikan satu contoh hal berbeda mengenai peran keluarga aristokrat Hulu Sungai yang dengan segala dinamikanya menjadi salah satu dedikasi paling mempengaruhi Kalimantan selatan selama dan setelah perang Hulu sungai, yaitu peran klan keluarga besar Abdul Manaf bin martapati dimasa dan setelah perang hulu sungai di abad ke 19 dalam membangun jejaring Pendidikan Islam yang mungkin saja itu menjadi terobosan kebijakan politik terbaik dimasanya.
- Jabatan Mufti dan Stabilisasi Politik di Hulu SungaiÂ
Salah satu respon Belanda dalam menanggapi berbagai gejolak perang, Belanda mengambil jalan pragmatis dan lebih lembut, diantara adalah mereka memberi ruang kepada para tokoh berlatar belakang Islam untuk masuk dalam pemerintahan yang mereka bentuk. Peran tokoh-tokoh Islam sangat efektif dalam usaha Belanda meredam perlawanan, seperti seseorang yang bernama Haji Isa, Mufti Mahmud dan Penghulu Khalid yang menjadi pelobi utama dalam peristiwa penyerangan orang-orang Hulu Sungai di Martapura, dan mereka cukup berhasil mencegah bentrokan. Begitu juga dengan yang berperan mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai.[18]Â
 Dalam peristiwa penahanan Pangeran Hidayat oleh para Ulama Hulu Sungai di Amuntai, pemerintah Belanda mengirim seorang yang bernama Syarif Husin, seorang tokoh Islam Arab sebagai pelobi, Syarif Husin juga mengajak para haji dan penghulu dari distrik Nagara untuk ikut melobi ke Amuntai.[19]Â
 Pemerintahan yang baru dibentuk oleh Belanda setelah penghapusan Kesultanan Banjar juga tidak menghilangkan Jabatan Islam seperti Mufti dan Penghulu, malah Belanda memberikan posisi yang istimewa dalam pemerintahan. Umumnya di tanah Gubernuran di Hindia belanda atau wilayah yang bawah administrasi pemerintahan Belanda seorang regent didampingi seorang Penghulu, agak berbeda dengan Regent di Kalimantan Selatan yang didampingi oleh seorang Mufti. Pembentukan Jabatan Mufti dalam sistem pemerintahan kolonial di Kalimantan Selatan saat itu tentu merupakan suatu hal yang berbeda dan istimewa.
 Tahun 1860 Adipati Danureja (menjabat 1860-1861) ditunjuk sebagai Adipati Hulu Sungai, sebelumnya beliau menjabat sebagai Tumenggung di Banua lima, dan Mufti yang ditunjuk adalah Mufti Muhammad Taib yang menjabat selama 6 tahun dari 1860-1866[20]. Dalam pembahasan kita disini Mufti Muhammad Taib menjadi perhatian, ketika dimasa beliaulah peperangan di Hulu Sungai sedang berkecamuk dan ketika beliau turun jabatan, perang besar telah berhasil diredam.