Â
 "Kamu orang Kristen. Tetap dalam kepercayaanmu itu?" tanya tentara Jepang.
"Tetap," jawab Amir.
 "Pastikah?"
 "Pasti!"
Suara Amir mantap.
Â
"Kristus bersedia berkorban demi para pengikutnya sampai ia disalibkan. Kalau kamu betul-betul seorang Kristen, mestinya kamu juga bersedia berkorban dengan digantung pada salib. Kamu berjuang melawan Belanda dan sekarang melawan Jepang demi kemerdekaan Bangsamu. Bersediakah kamu digantung demi kepercayaan dan bangsamu?" tentara Jepang itu bertanya lagi.
Amir bungkam!
Ia menggantung Amir dengan kepala di bawah.
Ringkasan percakapan ini saya kutip dari buku "Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin, Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia", karya Pdt. Dr. Frederik Djara Wellem. Mulanya adalah tesis Pdt. Wellem untuk meraih magister teologi di STT (Sekolah Tinggi Teologia) Jakarta pada tahun 1982. Wellem tertarik meneliti sosok Amir Sjarifoeddin atas saran pembimbing tesisnya, Dr. Th. Van den End.
"Kata beliau belum ada orang Kristen yang memperhatikan apalagi menulis tentang Amir Sjarifoeddin. Jadi saya tertantang untuk menulisnya," kata Frederik kepada saya di rumahnya, di Kupang.
Tetapi bukan perkara gampang. Amir Sjarifoeddin terlanjur dicap otak pemberontakan PKI Madiun pada 1948. Oleh rezim Orde Baru, mereka yang dicap PKI adalah musuh rakyat dan negara. Alhasil, tak satu pun yang  mau buka mulut tentang Amir. Juga keluarga dekatnya.
"Sekitar tujuh bulan saya mengumpulkan cerita tentang beliau, tetapi sepotong-sepotong. Keluarganya tidak mau ditemui. Istrinya empat kali menolak saya. Mereka sangat takut waktu itu," jelasnya.
Akhirnya tesis itu jadi. Â Karya ini rencananya akan diterbitkan oleh Sinar Kasih pada tahun 1984. Frederik membawanya kepada Aristides Katoppo (1938-2019).
"Saya menemui pihak Kejakasaan Agung untuk menanyakan apakah boleh diterbitkan. Jaksa bilang bisa, tetapi dengan cap "Tidak Untuk Diedarkan," kata Aristides sembari tersenyum. Itu kata lain dari tidak boleh diterbitkan! Â Aristides adalah pendiri dan pemimpin penerbitan Sinar Kasih.
Barulah pada tahun 2009 buku tersebut bisa terbit.Â
=000=Â
AMIR Sjarifuddin Harahap lahir di Medan, pada 27 April 1907. Ayahnya, Djamin, adalah keturunan keluarga kepala adat dari Pasar Matanggor di Padang Lawas, Tapanuli Selatan yang  bekerja sebagai jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar, berasal dari keluarga saudagar muslim kaya di Deli.
Amir masuk  sekolah Dasar Belanda ELS (Europeesche Lagere School) di Medan pada 1914 hingga 1921. Atas undangan saudara sepupunya, Tuanku Sunan Gunung Mulia (pendiri Penerbit  BPK Gunung Mulia Jakarta di kemudian hari), ia berangkat ke Leiden, Belanda, untuk melanjutkan sekolah. Pada 1926-1927, Amir menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem, Belanda.
Selama masa itu pula Amir aktif terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen, seperti CSV (Christelijke Studenten Vereeniging), cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Meskipun teman-teman dekatnya meminta Amir menyelesaikan kuliah di Belanda, pada September 1927 ia pulang ke kampung halaman.
Ayahnya sakit keras.
Ia kemudian masuk Sekolah Hukum di Batavia. Menumpang pada Gunung Mulia yang telah menjabat direktur pendidikan sekolah guru di Jatinegara. Setelah itu, Amir pindah ke asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw di Kramat 106. Di sana ada senior satu sekolahnya, Muhammad Yamin. Rupanya mereka memiliki kesamaan minat: Musik, sastra, dan agama.
Pada Kongres Pemuda II 1928, Amir mewakili Jong Bataks Bond dan menjabat bendahara panitia. Ia juga aktif memimpin sidang. Ketika Yamin menulis rumusan Sumpah Pemuda, persetujuan Soegono Djojopuspito dan Amir sangat dibutuhkan.
"Perannya cukup menentukan, meski hanya menyetujui rumusan tersebut," kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam. Amir kemudian masih terlibat dalam Kongres Bahasa pada 1938.
Sekitar  tahun 1931 Amir pindah agama menjadi Kristen. Empat tahun kemudian ia menikah dengan Djaenah Harahap, putri orang kaya di Batavia. Pasangan ini dikaruniai enam anak.
Ketika Jepang datang, Amir memilih beroposisi. Ia memimpin gerakan bawah tanah yang dibiayai Van der Plass (mantan gubernur Jawa Timur yang menjadi agen CIA). Ia menjadi target Jepang, sampai akhirnya pada Januari 1943 ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Tetapi berkat Soekarno-Hatta, hukuman itu dibatalkan.
=000=
Jalan Proklamasi 56, Pegangsaan, Jakarta Pusat, Januari 1948. Jarum jam menunjuk pukul 19.00. Seorang lelaki yang mengenakan safari warna gelap berjalan sendirian.Raut wajahnya kusut. Ia  menyapa beberapa pemuda yang tengah duduk santai di belakang rumah Presiden Sukarno itu.
Setelah menyapa sekadarnya, dia mengeluarkan botol kecil wiski dari kantong celana, kemudian menenggaknya. Lelaki itu adalah Amir Sjarifoeddin, Perdana Menteri Indonesia yang beberapa hari sebelumnya "dipaksa" meletakkan jabatan.
"Malam itu kami minum wiski bersama," kata Rosihan Anwar ( 1922-2011) mengenang peristiwa itu. Amir, kata Rosihan, Â terlihat agak tertekan setelah dipaksa mundur sebagai perdana menteri.
"Meski dia berusaha menutupi dengan tetap terlihat enjoy," katanya.
Amir terpaksa melepaskan jabatan setelah meneken Perjanjian Renville. Perjanjian itu menyetujui usul Belanda bahwa Indonesia hanya terdiri dari sebagian kecil Sumatera, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Â Tekanan dari lawan politiknya kian menjadi-jadi. Sebagai kepala pemerintahan, dia dinilai bertanggung jawab atas semakin terpojoknya posisi Indonesia setelah perundingan itu.
Pagi hari, 8 Desember 1947. Wajah Amir Sjarifoeddin tampak sumringah. Di atas kapal USS Renville dia asyik berbicara dengan  Frank Graham, perwakilan Amerika Serikat di Komisi Tiga Negara.
"Mereka rileks sambil masing-masing memegang Injil di tangan," kata Rosihan. Pemimpin redaksi koran Siasat itu mengaku melihat pertemuan tersebut saat mengunjungi kapal perang milik Amerika yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan Renville terjadi atas desakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Agustus 1947, yang khawatir melihat pertikaian Indonesia-Belanda yang berlarut-larut. Dalam resolusinya itu, Dewan Keamanan mendesak kedua negara segera  menyelesaikan pertikaian dengan menunjuk tiga negara sebagai penengah.
Sebelum berunding, Amir merangkul kembali Masyumi agar mau bergabung di pemerintahannya. Tawaran itu diterima. Masyumi diberi jatah lima kursi menteri.
Macetnya pembahasan di komisi teknis membuat Amir jengkel dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta.
"Kapan saya kembali ke Jakarta tergantung Belanda. Saya hanya kembali jika ada sesuatu yang harus dikerjakan," katanya seperti dikutip Naskah Lengkap Asal-Usul KTN. Karena tak diindahkan, pada 24 Desember 1947, Amir kembali ke Yogyakarta.
Pada saat yang sama, di sejumlah daerah tentara Belanda terus melakukan aksi militer. Tersiar kabar akan ada aksi militer besar-besaran ke Yogyakarta, jika Indonesia tetap ngotot menolak 12 prinsip politik Belanda. Kondisi semakin genting. Frank Graham sebagai utusan Komisi Tiga Negara menggelar pertemuan dengan "Lima Besar RI", yaitu Sukarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Amir, dan Agus Salim. Graham meminta Indonesia tidak meninggalkan meja perundingan. Tak ada pilihan bagi Indonesia. Akhirnya mengalah dan menerima tuntutan Belanda.
Tanggal 17 Januari 1948, di atas kapal Renville, Amir meneken persetujuan itu.
Presiden Sukarno dan wakilnya Moh. Hatta mendukung persetujuan itu. Tetapi di luar dugaan Amir, partai-partai pendukungnya justru menolak Perjanjian Renville. Sehari setelah perjanjian ditandatangani, sekitar 300 orang yang mengaku sebagai massa Hisbullah menggelar demonstrasi di depan Istana Yogyakarta.
"Bubarkan kabinet Amir. Kami menolak Perjanjian Renville," ujar mereka. Mereka meneriaki Amir sebagai pengkhianat!
Partai Masyumi dan PNI menarik dukungan. Mereka mengumumkan pengunduran diri para menterinya. Presiden Sukarno yang semula mendukung kini berbalik melawan Amir.
"Sebaiknya serahkan mandat kepada saya," kata Sukarno kepada Amir.
Amir tidak bisa berbuat banyak. Pada 23 Januari 1948, dia menyatakan mundur. Sukarno menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Hatta yang kemudian membentuk kabinet baru. Masyumi dan PNI, dua partai yang sebelumnya meninggalkan Amir, memutuskan bergabung di kabinet Hatta.
Semua berlangsung cepat. Amir mendapati dirinya sekonyong-konyong menjadi musuh bersama.
Tak heran malam itu di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai larut dengan minum wiski dan bernyanyi.
Menurut Rosihan, pertemuan malam itu adalah terakhir kali ia bersua dengan Amir.
"Setelah itu, saya hanya mendengar dia pergi ke Solo membentuk Front Demokrasi Rakyat," katanya.
Peran BesarÂ
Sejarahwan Asvi Warman Adam mengatakan, peran Amir Syarifuddin bagi Indonesia sangat besar. Selain konsisten sebagai aktivis dan tokoh gerakan nasional yang menentang fasisme Jepang. Dia juga sosok penting saat masa-masa kemerdekaan Indonesia . Amir Syarifuddin pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan yang pertama (19 Agustus 1945-14 November 1945), Menteri Keamanan Rakyat dan Menteri Penerangan (ad interim) di kabinet I Perdana Menteri Soetan Sjahrir (14 November 1945-12 Maret 1946), Menteri Pertahanan dalam Kabinet II Perdana Menteri Sutan Syahrir (12 Maret 1946- 2 Oktober 1946) dan kembali diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet III Perdana Menteri Sutan Syahrir (2 Oktober 1946 -- 27 Juni 1947). Pada  bulan Juli 1947 setelah Perdana Menteri Sutan Syahrir mengundurkan diri, Amir Syarifuddin terpilih menjadi Perdana Menteri (3 Juli 1947- 29 Januari 1948).
Peran Amir juga tak sedikit saat terlibat dalam Kongres Pemuda tanggal 28 November 1928 yang berhasil mengikrarkan Sumpah Pemuda. Amir merupakan wakil dari Jong Batak.
Sumbangan pemikirannya pun, kata Asvi, sangat besar. Saat menjabat sebagai menteri penerangan yang pertama Amir mengeluarkan maklumat kebebasan pers. Tahun 1939, pada saat di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia ) dia berupaya untuk menyatukan semua elemen dan eksponen gerakan rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Saat itu juga dia mengusulkan agar konsep kewarganegaraan bukan berdasarkan atas darah dan ras melainkan berdasarkan tempat kediaman dan hak-hak yang melekat sebagai warganegara. Pemikiran yang merupakan kritik atas kebijakan rasialis Belanda yang mengkategorikan warganegara dalam "pribumi" dan "pendatang".
Tahun 1946, saat menjabat di Kementerian Pertahanan Amir mengusulkan ide tentang tentara kerakyatan. Hal ini yang membuatnya berseberangan dengan perwira militer eks KNIL dan PETA yang menginginkan konsep dwifungsi. Amir menginginkan tentara tidak terlampau jauh mencampuri urusan-urusan sipil. Militer menurut dia harus di bawah pengawasan rakyat.
"Amir berseberangan dengan faksi Hatta, Soedirman dan A.H Nasution yang menginginkan dwifungsi dalam militer. Menurut saya, faksi-faksi dalam revolusi itulah yang membuat Amir menjadi korban," yakin Asvi.
Sayangnya, kata Asvi, cerita tentang Amir dalam sejarah Indonesia selalu tentang Perjanjian Renville dan Peristiwa Madiun, yang jelas-jelas sangat menyudutkannya.
Â
=000=Â
Tanggal 18 September 1948 pecah peristiwa Madiun. Pasukan yang dipimpin Soemarsono melucuti Pasukan Siliwangi yang pro Soekarno-Hatta. Lima orang tewas dalam bentrok itu. Amir dianggap ikut bertanggung jawab. Ia ditangkap di persembunyiannya di Desa Klambu, Purwodadi, Jawa Tengah, pada 18 November 1948. Atas perintah Gubernur Militer Surakarta Kolonel Gatot Subroto, dia dikirim ke Solo.
Menjelang Natal pada 19 Desember 1948, Amir dan sepuluh tawanan lain dibawa ke Desa Ngalihan, Solo. Kolonel Gatot Subroto memerintahkan eksekusi. Di depan juru tembak Amir dan kawan-kawannya menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Amir maju sembari mendekap Alkitab. Ia minta dieksekusi pertama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H