Partai Masyumi dan PNI menarik dukungan. Mereka mengumumkan pengunduran diri para menterinya. Presiden Sukarno yang semula mendukung kini berbalik melawan Amir.
"Sebaiknya serahkan mandat kepada saya," kata Sukarno kepada Amir.
Amir tidak bisa berbuat banyak. Pada 23 Januari 1948, dia menyatakan mundur. Sukarno menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Hatta yang kemudian membentuk kabinet baru. Masyumi dan PNI, dua partai yang sebelumnya meninggalkan Amir, memutuskan bergabung di kabinet Hatta.
Semua berlangsung cepat. Amir mendapati dirinya sekonyong-konyong menjadi musuh bersama.
Tak heran malam itu di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai larut dengan minum wiski dan bernyanyi.
Menurut Rosihan, pertemuan malam itu adalah terakhir kali ia bersua dengan Amir.
"Setelah itu, saya hanya mendengar dia pergi ke Solo membentuk Front Demokrasi Rakyat," katanya.
Peran BesarÂ
Sejarahwan Asvi Warman Adam mengatakan, peran Amir Syarifuddin bagi Indonesia sangat besar. Selain konsisten sebagai aktivis dan tokoh gerakan nasional yang menentang fasisme Jepang. Dia juga sosok penting saat masa-masa kemerdekaan Indonesia . Amir Syarifuddin pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan yang pertama (19 Agustus 1945-14 November 1945), Menteri Keamanan Rakyat dan Menteri Penerangan (ad interim) di kabinet I Perdana Menteri Soetan Sjahrir (14 November 1945-12 Maret 1946), Menteri Pertahanan dalam Kabinet II Perdana Menteri Sutan Syahrir (12 Maret 1946- 2 Oktober 1946) dan kembali diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet III Perdana Menteri Sutan Syahrir (2 Oktober 1946 -- 27 Juni 1947). Pada  bulan Juli 1947 setelah Perdana Menteri Sutan Syahrir mengundurkan diri, Amir Syarifuddin terpilih menjadi Perdana Menteri (3 Juli 1947- 29 Januari 1948).
Peran Amir juga tak sedikit saat terlibat dalam Kongres Pemuda tanggal 28 November 1928 yang berhasil mengikrarkan Sumpah Pemuda. Amir merupakan wakil dari Jong Batak.
Sumbangan pemikirannya pun, kata Asvi, sangat besar. Saat menjabat sebagai menteri penerangan yang pertama Amir mengeluarkan maklumat kebebasan pers. Tahun 1939, pada saat di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia ) dia berupaya untuk menyatukan semua elemen dan eksponen gerakan rakyat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Saat itu juga dia mengusulkan agar konsep kewarganegaraan bukan berdasarkan atas darah dan ras melainkan berdasarkan tempat kediaman dan hak-hak yang melekat sebagai warganegara. Pemikiran yang merupakan kritik atas kebijakan rasialis Belanda yang mengkategorikan warganegara dalam "pribumi" dan "pendatang".