Tahun 1946, saat menjabat di Kementerian Pertahanan Amir mengusulkan ide tentang tentara kerakyatan. Hal ini yang membuatnya berseberangan dengan perwira militer eks KNIL dan PETA yang menginginkan konsep dwifungsi. Amir menginginkan tentara tidak terlampau jauh mencampuri urusan-urusan sipil. Militer menurut dia harus di bawah pengawasan rakyat.
"Amir berseberangan dengan faksi Hatta, Soedirman dan A.H Nasution yang menginginkan dwifungsi dalam militer. Menurut saya, faksi-faksi dalam revolusi itulah yang membuat Amir menjadi korban," yakin Asvi.
Sayangnya, kata Asvi, cerita tentang Amir dalam sejarah Indonesia selalu tentang Perjanjian Renville dan Peristiwa Madiun, yang jelas-jelas sangat menyudutkannya.
Â
=000=Â
Tanggal 18 September 1948 pecah peristiwa Madiun. Pasukan yang dipimpin Soemarsono melucuti Pasukan Siliwangi yang pro Soekarno-Hatta. Lima orang tewas dalam bentrok itu. Amir dianggap ikut bertanggung jawab. Ia ditangkap di persembunyiannya di Desa Klambu, Purwodadi, Jawa Tengah, pada 18 November 1948. Atas perintah Gubernur Militer Surakarta Kolonel Gatot Subroto, dia dikirim ke Solo.
Menjelang Natal pada 19 Desember 1948, Amir dan sepuluh tawanan lain dibawa ke Desa Ngalihan, Solo. Kolonel Gatot Subroto memerintahkan eksekusi. Di depan juru tembak Amir dan kawan-kawannya menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Amir maju sembari mendekap Alkitab. Ia minta dieksekusi pertama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H