Amir terpaksa melepaskan jabatan setelah meneken Perjanjian Renville. Perjanjian itu menyetujui usul Belanda bahwa Indonesia hanya terdiri dari sebagian kecil Sumatera, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Â Tekanan dari lawan politiknya kian menjadi-jadi. Sebagai kepala pemerintahan, dia dinilai bertanggung jawab atas semakin terpojoknya posisi Indonesia setelah perundingan itu.
Pagi hari, 8 Desember 1947. Wajah Amir Sjarifoeddin tampak sumringah. Di atas kapal USS Renville dia asyik berbicara dengan  Frank Graham, perwakilan Amerika Serikat di Komisi Tiga Negara.
"Mereka rileks sambil masing-masing memegang Injil di tangan," kata Rosihan. Pemimpin redaksi koran Siasat itu mengaku melihat pertemuan tersebut saat mengunjungi kapal perang milik Amerika yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan Renville terjadi atas desakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Agustus 1947, yang khawatir melihat pertikaian Indonesia-Belanda yang berlarut-larut. Dalam resolusinya itu, Dewan Keamanan mendesak kedua negara segera  menyelesaikan pertikaian dengan menunjuk tiga negara sebagai penengah.
Sebelum berunding, Amir merangkul kembali Masyumi agar mau bergabung di pemerintahannya. Tawaran itu diterima. Masyumi diberi jatah lima kursi menteri.
Macetnya pembahasan di komisi teknis membuat Amir jengkel dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta.
"Kapan saya kembali ke Jakarta tergantung Belanda. Saya hanya kembali jika ada sesuatu yang harus dikerjakan," katanya seperti dikutip Naskah Lengkap Asal-Usul KTN. Karena tak diindahkan, pada 24 Desember 1947, Amir kembali ke Yogyakarta.
Pada saat yang sama, di sejumlah daerah tentara Belanda terus melakukan aksi militer. Tersiar kabar akan ada aksi militer besar-besaran ke Yogyakarta, jika Indonesia tetap ngotot menolak 12 prinsip politik Belanda. Kondisi semakin genting. Frank Graham sebagai utusan Komisi Tiga Negara menggelar pertemuan dengan "Lima Besar RI", yaitu Sukarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Amir, dan Agus Salim. Graham meminta Indonesia tidak meninggalkan meja perundingan. Tak ada pilihan bagi Indonesia. Akhirnya mengalah dan menerima tuntutan Belanda.
Tanggal 17 Januari 1948, di atas kapal Renville, Amir meneken persetujuan itu.
Presiden Sukarno dan wakilnya Moh. Hatta mendukung persetujuan itu. Tetapi di luar dugaan Amir, partai-partai pendukungnya justru menolak Perjanjian Renville. Sehari setelah perjanjian ditandatangani, sekitar 300 orang yang mengaku sebagai massa Hisbullah menggelar demonstrasi di depan Istana Yogyakarta.
"Bubarkan kabinet Amir. Kami menolak Perjanjian Renville," ujar mereka. Mereka meneriaki Amir sebagai pengkhianat!