Mohon tunggu...
Albert Tarigan
Albert Tarigan Mohon Tunggu... -

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Lima Hari untuk Lima Tahun

4 Oktober 2010   05:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AKU berharap Melda akan memelukku. Ini pertemuan pertama kami dalam lima tahun. Perjumpaan terakhir terjadi saat dia lulus dari satu Sekolah Tinggi Pariwisata Dhyana Pura, Denpasar, saat itu aku masih kuliah di Universitas Jember, Jawa Timur.

Kini banyak hal telah berubah. Dia tumbuh menjadi gadis mandiri -dari dulu memang begitu kukira- dan bekerja di salah satu hotel di Denpasar setelah sempat delapan bulan bekerja di Pulau Bintan. Sementara aku tiga tahun belakangan menggeluti dunia jurnalis di Jakarta.

Namun, ada kesamaan di antara kami ketika bertemu kembali, yaitu jomblo yang patah hati karena hubungan hancur hahaha...(Tidak patah-patah amat sebenarnya). Meskipun, dia mengalami itu kurang lebih dua tahun lalu sementara aku baru merasakannya bulan lalu. Tapi kesamaan ini jugalah yang turut mempertemukan kembali sahabat sejak kecil ini walaupun, aku ke Bali hanya dengan satu tujuan. Bersenang-senang!

DARI ketinggian sekitar tiga ratus meter, Bandar Udara Ngurah Rai tampak seperti titik-titik kuning tak beraturan. Cahaya lampu kekuningan berkilau bak Kunang-Kunang di kegelapan malam. Secara perlahan, ketinggian pesawat Batavia Air yang membawaku terus menurun, tanda kenakan sabuk pengaman dinyalakan dan dari pengeras suara terdengar suara salah satu pramugari bahwa lampu kabin akan dikurangi.

Dan seperti biasa, aku selalu menghadapi pendaratan seperti ini dengan ritual kecil; bersandar tegak di kursi lalu memejamkan mata sebentar, membayangkan malaikat Tuhan menyangga sayap kiri dan kanan pesawat agar menapak landasan dengan selamat. Tapi, alamak! telinga kananku sakit bukan main entah kenapa. Aku pernah membaca di internet orang yang giginya berlubang sebaiknya tak naik pesawat terbang karena akan kesakitan. Kukira sakit telinga ada hubungannya dengan gigiku yang berlubang meski sudah ditambal.

“hoooiiii….kalak adon,” kata Melda saat menyambutku di terminal kedatangan. Ia tampak lebih langsing sekarang, rambut dipotoong pendek dan kulit cokelat manis. Kalak adon adalah ungkapan bahasa Karo yang secara harfiah berarti orang gila. Kami memang sering saling meledek dengan memanggil satu sama lain dengan kalak adon.

“haaaaiii coooo….apa kabar,” jawabku sambil memeluknya erat-erat. Ia tampak kikuk dan berusaha melepas pelukanku. Tapi anehnya, ia kemudian memelukku lagi.

Malam itu, 3 September 2010, kami meninggalkan Ngurah Rai mengendarai Honda Vario dengan tujuan pulang ke rumah. Tapi begitu sampai di kawasan Kuta, kami singgah sebentar untuk ngobrol-ngobrol di pinggir pantai meski sudah pukul sembilan lebih.

Aku sempat mengomentari kekonyolan kami malam itu. Bayangkan, aku masih memakai baju batik, celana panjang katun, pantofel dan ransel besar lalu duduk di atas pasir. Saat berangkat dari Jakarta aku tak sempat pulang ke rumah atau mengganti pakaian di toilet bandara sehingga pakaian yang menempel di tubuh tetap pakaian kerja sewaktu meliput kegiatan Presiden di Istana Negara.

Rasanya tak ada pembicaraan istimewa malam ini di Pantai Kuta. Kami hanya menyinggung beberapa hal lucu di masa lalu saat kami masih SMP -seperti kekonyolan orang-orang dan teman-teman lama-lalu ketawa keras-keras, selebihnya seperti adegan sinetron, menunjuk pesawat yang hendak mendarat di Ngurah Rai karena cahayanya berkelap-kelip, kemudian saling mengajukan pertanyaan tak penting, "itu bintang atau pesawat ya?"

Melda yang menduduki sandalnya untuk menghindari pasir beberapa kali menggeser posisi. Sementara aku sempat mencoba menjepretkan kamera ke arah pantai. Tentu saja hasilnya sangat gelap karena sudah terlalu malam! Sepertinya Melda masih separuh tak percaya kami bertemu dan menghabiskan malam di pinggir pantai. Pertemuan yang terjadi tanpa perencanaan, seolah-olah hanya rentetan dari kejadian lain yaitu patah hati dan libur lebaran.

"Insaaaaap...insaaaaap....aku enggak percaya kita ketemu ni," katanya.

Sebenarnya pertemuan kami bukan tanpa perencanaan sama sekali. Karena sebelum ke Bali aku sudah memberitahu maksud kedatangan dan tempat-tempat yang ingin kukunjungi. Tadinya aku pikir aku akan lebih banyak bepergian sendiri karena Melda sibuk bekerja. Kesendirian, kata beberapa teman di Jakarta, cukup baik buatku untuk refleksi dan mengoreksi kesalahan-kesalahan selama pacaran hingga akhirnya bubar begitu saja. Tapi rupayanya ia mengambil cuti dan baru memberitahu malam ini, kejutan yang menyenangkan karena itu berarti aku tak perlu repot-repot membeli peta, atau bengong jalan-jalan sendirian.

Selain untuk reuni, ide pergi ke Bali sedikit banyak juga terpengaruh buku bestseller Elizabeth Gilbert, Eat, Pray, Love yang secata kebetulan kubaca dua minggu sebelum berangkat. Penuturan Liz soal Ubud di bab tentang Indonesia sangat kocak, seru dan memancing rasa penasaran terhadap tempat-tempay yang dikunjunginya. Padahal, Melda sempat berkomentar sebenarnya tak ada objek wisata yang mengesankan di Ubud saat aku mengutarakan tujuan pertamaku adalah tempat itu.

"Tolong cari cafe yang enak buat nongkrong ya, nanti kita begadang sampai pagi," demikian pintaku melalui pesan singkat sebelum terbang.

"Oke, cafe yang suasana alam atau ramai?"

"Yang enggak berisik, agak etnik dan enak buat ngobrol."

Satu jam berlalu, kami meninggalkan Kuta dan bergerak pulang. Tapi lagi-lagi tergoda untuk singgah di deretan tempat nongkrong 24 jam di pinggir jalan dan akhirnya menikmati segelas cappucino panas sampai pagi dini hari. Mataku benar-benar lelah tapi aku merasakan kebahagiaan di hatiku.

**********

TAK PANTAS jika berharap ada petualangan seru atau menegangkan selama lima hari di Bali. Sudah jelas ini bukan petualangan tetapi lebih kepada melakukan sesuatu yang membuat senang. Tapi apakah gerangan kesenangan lebih tepatnya lagi kebahagiaan?

Sejak hari pertama di Kota ini aku sudah menyadari bahwa kebahagaiaan tak bisa dikejar di luar sana. Ia sudah harus sudah ada dalam hati karena rasa syukur, keinsyafan dan keyakinan bahwa sesuatu yang indah akan tiba pada waktu-Nya. Aku tak bisa merepresi rasa sedihku dengan rasa senang sesaat, karena kalau demikian, rasa sedih itu akan menyembul tiba-tiba saat aku mulai sendiri seperti, jelang dan bangun tidur.

Berangkat dari pemahaman seperti itulah aku senantiasa berupaya untuk mengingatkan diriku bahwa aku sedang sadar, aku merasakan kesedihan bukan memabukkan diri dengan bersenang-senang.

Kesedihan?

Harus kuakui banyak nada-nada sumbang yang mencomoohku hanya karena sedih saat hubungan dengan pacar hancur. Ini bukan hal aneh karena banyak orang melakukannya –apalagi di dunia laki-laki- saat menanggapi putusnya ikatan seseorang dengan orang lain. Apalagi cuma pacaran! tapi bisakah kita mengatakan, ”halah gitu aja sedih, masih banyak perempuan di dunia ini boi...,” dengan adil kepada seorang lelaki yang kehilangan pacar dan juga kepada mereka yang kehilangan istri karena cerai misalkan?

Karena kesedihan ya kesedihan. Kita tak bisa memakai standar umum apalagi standar pribadi untuk menilai orang lain. Aku mungkin tak peduli kucing peliharaan peliharaanku mati, anda perlu waktu seminggu untuk bangkit karena sedih ditinggal mati burung peliharaan anda. Jika benar ingin memahami kesedihan orang lain, bayangkanlah kita kehilangan benda atau orang yang disayangi.

Toh, aku tak sesedih bahkan yang kubayangkan sendiri. Meski kuakui, peristiwa ini salah satu momen yang paling membuatku jera jika dibandingkan dengan yang sebelum-sebelumnya.

Tapi dunia terus berputar, siang-malam, mendung-cerah dan aku harus melanjutkan perjalanan ini meski di luar sedang mendung!

Ya... awan hitam tampak menggantung di langit saat aku membuka mata dan menoleh ke luar dari kamar berukuran tiga kali tiga meter di rumah Melda. Kamar sedikit pengap karena kurang ventilasi, juga bocor karena si pemilik belum sempat membetulkan. Sudah pukul 08.30.

”Selamat pagi Po....selamat pagi Brenda..”

Aku menyapa dua ekor anjing peliharaan Melda. Si kecil berbulu hitam bernama Popo yang diadopsi Melda sejak bayi karena tak tega melihat ia akan dibuang oleh pemiliknya. Popo bahkan harus diberi susu dengan dot agar dapat bertahan hidup dan tumbuh menjadi anjing yang sangat cerewet seperti sekarang ini. Ia suka menggonggongku, lalu bersembunyi di kolong kursi saat aku mendekat. Menggonggong lagi. Sembunyi lagi. Kemudian lari kesana-kemari.

Sementara si sulung Brenda berwarna kecokelatan mirip pemeran Hatchiko.

”Mau minum apa,” tanya Melda.

”Teh manis hangat”

AWAN hitam terus menemani perjalanan kami ke Ubud pagi ini. Aku hanya mengenakan kaos dan celana pendek serta dibalut jaket tipis. Sebagai antisipasi hawa dingin saat mengendarai motor, aku melingkarkan syal hitam kiriman dari Maumere. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu setengah jam, kami akhirnya tiba juga dan langsung menuju Tegalalang untuk memotret persawahan terasering yang menjadi salah satu objek wisata di daerah itu.

Namun, belum setengah jam kami menikmati pemandangan, hujan rintik-rintik jatuh juga. Kami berteduh di cafe di pinggir persawahan. Melda memsan teh, aku memesan lemon tea.

”Tehnya kok basi ya,” kata Melda
”Mahal amat sih..enggak enak pula.”

Kami tertawa sebentar lalu mengambil beberapa foto lagi. Saat kembali duduk, aku bercanda dan berkata, ”Nen kal min pergaunjai bibi ah nak, la kal kuakap lit oratna. Tah bagi pergaunjainah ngenca perukurennaa ah.”

”Hwakakakakkakakkakaaaaa....” Melda terpingkal-pingkal, aku juga.

Sudah siang, perut mulai keroncongan karena tak sarapan pagi. Kami bergegas ke Murni Cafe di Ubud, sekitar 50 meter dari Blanco Museum. Memasuki tempat ini mengingatkan aku pada Gumati Café di Bogor, konsepnya sama. Pengunjung makan dengan latar belakang pemandangan alam dan mendengar gemericik air sungai. Bedanya barangkali hanya pada menu, Murni menyediakan masakan khas Eropa, Asia dan Bali sementara Gumati spesialis masakan Sunda.

Tidak ada yang spesial dengan tempat yang kami kunjungi. Tapi pepatah yang mengatakan, kadang proses lebih penting daripada hasil, benar-benar terjadi. Karena bagiku, humor spontan serta kekonyolan-kekonyolan kami di sepanjang jalan justru jauh lebih seru, lucu, membekas dan tetap membuatku tersenyum-senyum sendiri jika mengingatnya kembali.

Belum ada tanda-tanda hujan akan reda sementara hari sudah sore. Setelah sempat berteduh, kami akhirnya nekat menerobos hujan karena harus kembali ke Denpasar. Aku kedinginan dan paginya bangun dengan kondisi demam, pusing dan meriang. Nah, ini dia.

**********

"Tttttiiiiingggg....untuk persahabatan dan kesuksesan, amiiiiiinn."

Siang baru saja berlalu berganti malam saat kami tos sebelum menikmati segelas White Wine di Cafe Grand Istana Rama Hotel, Kuta. Suanasa jalan raya masih ramai, pejalan kaki lalu-lalang dari dan menuju cafe atau hotel yang tersebar di sepanjang jalan, sementara lainnya ada juga yang menuju pantai untuk menikmati malam.

Suasana cafe bergaya minimalis ini tak terlalu ramai. Di depan kami hanya ada 4 perempuan bule yang asyik ngobrol dan cekakak-cekikik. Sesekali salah satu dari mereka bangkit berdiri dan berjoged saat menyukai lagu dan musik yang didendangkan band lokal yang tampil live malam ini. Tiap malam cafe ini menampilkan pertunjukan langsung baik band atau disk jockey dan seringkali penuh.

"Yuk melantai," kataku menggoda Melda. Itu hanya gurauan karena tak ada tempat melantai di sini.

"Sepertinya liburan kita kali ini kurang seru karena mendadak. Lain kali kita harus ke tempat yang lebih bagus. Lombok, mungkin," katanya.

Barangkali Melda benar. "Tapi aku senang dengan liburan ini. Tapi ide ke Lombok seru juga. At...taaaauuuu, hhmm..ke Phuket, kayaknya Air Asia sering promo tuh, bisa-bisa biaya ke sana lebih murah."

Aku mengangkat gelas dan mengarahkan ke dia untuk tos lagi, "Untuk cita-cita ke Phuket."

Aku sama sekali tak merencanakan perjalanan kami hari ini. Apalagi, jika mengingat kejadian tadi pagi saat tubuhku demam dan kepalaku pusing.

"Kenapa? Hati2 ah, nanti ga bagus kan kalau sampai nemenin aku di RS.. :p Jaga kesehatan selagi berlibur. Jangan lupa beribadah. Happy Sunday."

Begitu komentar Camelia, seorang sahabat dekat dari Jakarta, saat aku menulis status demam di Facebook. Saat aku membaca komentarnya pagi tadi, hujan deras masih juga mengguyur, langit gelap dan hitam.

Pagi ini aku bangun dalam keadaan meriang, demam dan pusing. Penyebabnya apalagi kalau bukan kehujanan seharian kemarin ditambah keletihan sehari sebelumnya. Aku mulai merasa yang aneh dengan badanku sejak tadi malam. Melda sudah sangat berbaik hati mengoleskan minyak kayu putih bahkan mengeroki punggungku tapi hasilnya tetap saja begini.

Aku sangat jengkel pada diri sendiri, karena keteldoran ini bisa saja menghancurkan semua rencana perjalanan kami. Tapi aku enggak mau menyerah, harus sembuh. Aku meminta tolong Melda membeli Redoxon, membuatkan teh hangat, memasak air panas untuk mandi dan kami menetapkan aturan sejak sekarang tak boleh kemana-mana tanpa sarapan pagi terlebih dahulu. Aku jengkel, tapi mungkin Melda lebih jengkel lagi karena aku sangat merepotkan -mudah-mudahan tak demikian ya Tuhan.

Mumpung di luar masih hujan, hari kedua ini akhirnya kuhabiskan untuk beristirahat hingga hujan reda. Daaaaannn yuhuuuuuuuuuu siangnya bisa bangun dengan keadaan lebih baik. Bahkan sorenya aku sudah menceburkan diri ke laut di Pantai Dreamland dan mandi matahari untuk mencokelatkan kulit. Kulit memang cokelat tapi hanya beberapa hari karena setelah itu semuanya mengelupas karena berjemur tanpa krim khusus.

Setelah puas mandi seharian, tak ada lagi pusing di kepala meski badan masih sedikit demam. Aku kedinginan dan ngiler melihat para bule makan mie. Kami pun akhirnya menikmati mie di Warung 88 di Kuta.

Saat akan meninggalkan tempat ini jelang Maghrib, hujan deras kembali membasahi tanah sehingga kami yang sudah pamit kepada pemilik warung dan mengenakan helm terpaksa duduk kembali sebelum akhirnya menghabiskan malam di cafe ini.

Jika kuingat-ingat lagi, hari ini adalah hari paling berwarna selama di Bali. Jengkel, senang, ceria, bad mood semuanya berkumpul jadi satu. Bad mood?

Dalam perjalanan sebelum menuju Dreamland pagi tadi aku menerima pesan singkat dari dia yang jauh di seberang lautan sana. Isinya mengabarkan bahwa, pekan lalu dia juga liburan ke Tegalalang selama Jumat, Sabtu dan pulang Minggu. Lucu dan aneh karena dia baru memberitahuku sekarang. Padahal seminggu lalu saat kami sms-an dia seolah-olah masih stress ditekan beban pekerjaan yang menumpuk. Tapi kok masih sempat ke Bali? Aku merasa dikibuli lagi, apalagi jika mengingat-ingat memang ada komentar teman-temannya di halaman facebook-nya soal kepergiannya ke Bali. Tapi, seperti biasa saat dia mau menyembunyikan sesuatu -misal dulu informasi bahwa aku adalah pacarnya- dia menghapus komentar teman-temannya terutama yang mengandung kata Bali. Entahlah, dari siapa dia mau bersembunyi.

Ah sudahlah, terserah saja toh itu adalah haknya juga. Dulu juga sudah biasa begitu saat kami masih pacaran.

Tapi masalahnya bukan itu, Melda jadi ikut-ikutan jengkel melihatku bete. Ini semua salahku karena melanggar janji diri kepada diri-sendiri.

Tadinya, aku bertekad tak akan menghidupkan handphone selama di Bali agar tidak diganggu oleh siapapun. Nyatanya, tekad itu omong kosong semata sehingga terjadilah suasana seperti sekarang. Untungnlah aku segera menyadari ketololanku dan segera mengabaikan semua hal-hal tak penting pengganggu ketenangan selama liburan sehingga kami bisa kembali jalan-jalan tanpa beban. Hanya senang.

Sudah hampir tengah malam ketika kami sampai di rumah. Ini malam yang panjang. Padahal, besok kami juga akan memulai perjalanan panjang dan melelahkan. Kintamani, Gunung Batur, Tirta Empul. Selamat malam co.....

*******

PADA PUKUL sepuluh lewat lima, Senin pagi, 6 September 2010, aku dan Melda menelusuri jalan menuju Kintamani. Udara sejuk mulai terasa menerpa wajah saat kami memasuki Tegalalang, kiri-kanan hanya sawah yang ditanami padi, hutan, kebun jeruk dan beberapa banjar. Meski tidak cerah dan bersih, sinar matahari masih terasa hangat. Lumayanlah daripada hujan terus-menerus.

"Horrrrrrrrrrrreeeeeeee hari ini cerah," kataku sambil mengendarai sepeda motor dan sesekali menengadah ke langit.

"Iyyyessssss," kata Melda menjawab dari belakang.

Sepanjang jalan, kami amat jarang berpapasan dengan kendaraan. Demikian juga dengan turis yang hanya satu dua lewat mengendarai motor. Aku tak tahu mengapa jalur ini relatif sepi tapi sepertinya ini bukan jalur utama ke Kintamani. Jarak Denpasar-Kintamani, mungkin tak kurang dari 40 kilometer dan semakin lama semakin menanjak. Untuk mengusir rasa bosan atau kantuk sepanjang perjalanan aku kerap bernyanyi keras-keras, seolah-olah sedang konser di kamar mandi dan seakan tak ada siapa-siapa di jalan. Melda sesekali ikut bernyanyi atau kadang ia menyanyikan lagu kesukaannya sendiri.

Satu setengah jam kemudian kami tiba di sebuah persimpangan. Dari posisi tersebut tampak Gunung Batur sangat angkuh, berselimut awan gelap, dibasahi gerimis dan tiba-tiba udara jadi semakin dingin yang memancing rasa muram. Kami berhenti di pinggir jalan untuk berfoto dengan latar belakang gunung gersang ini. Tak sampai lima menit kami bergegas pergi karena pedagang asongan sangat agresif menawarkan barang sehingga terasa mengintimidasi. Kami seharusnya berbelok ke kanan dan tak melewati pasar, tetapi kami ke kiri sehingga sempat tersesat hingga beberapa kilometer sebelum akhirnya Melda menyadari kami bergerak ke arah yang keliru.

"Maaf ya, kita salah jalan," katanya.
"Enggak pa-pa, jalan-jalan engak lengkap tanpa tersesat."

Kami akhirnya memutar balik dan langsung menuju danau di kaki gunung. Jalannya berkelok-kelok seperti ular dipukul dan berdebu serta kerikil yang tercecer dari truk pengangkut batu yang tiap hari melintasi kawasan ini. Tadinya kami berencana makan siang di pinggir danau, tapi rupanya tak ada restoran di bawah sini. Semua restoran berada di atas sana dengan pemandangan gunung dan danau. Maksud hati ingin duduk-duduk di pinggir danau, kami bergeser ke arah dermaga mungil, tapi apa daya, lagi-lagi gempuran pedagang asongan membuat kami tak betah lebih dari 5 menit. Kata Melda, daerah ini memang terkenal dengan pedagang cenderamata yang membuat suasana tak nyaman. Setelah berfoto, makan popmie dan ketawa-ketiwi, kami meninggalkan Kintamani menuju Tirta Empul di Tampaksiring. Gerimis tetap setia menemani perjalanan kami siang dan bahkan hingga sore ini. Tapi, kami tetap memacu sepeda motor karena tak ada tanda hujan akan berhenti meski kami rehat sejenak.

Aroma dupa terasa menyengat hidung saat kami melangkah ke Tirta Empul. Puluhan orang antri mandi bergantian di depan pancuran air yang mengalir jernih dan dingin; laki-laki, perempuan, tua, muda dan anak-anak. Barangkali, ada kepercayaan orang akan mendapat keberuntungan dengan mandi di tempat ini, atau sekadar membersihkan diri tapi Melda bilang tempat ini lumayan bagus untuk buang sial, saat aku hendak mandi. Mandi dengan tanpa pakaian juga kolor ganti. Hanya selembar kain hijau yang disewakan warga setempat karena seperti yang sudah-sudah kami tak pernah benar-benar merencanakan perjalanan kami dengan baik. Hanya mengikuti kemana kata hati membawa pergi.

Aneh juga, saat gerojokan air tumpah di atas kepalaku, aku seperti setengah berdoa atau sesungguhnya berdoa, tak tahulah. Isinya menarik tapi cukup Tuhan saja yang tahu. Hari mulai gelap. Saatnya pulang kandang.

TANGAN ini begitu dingin. Kucoba menghangatkan dengan memegangnya erat-erat, sesekali menggosok-gosokkannya ke tanganku sendiri. Kuremas, kulonggarkan lagi. Kuremas, kulonggarkan lagi. Iba rasanya hatiku saat menatapnya tampak teraniaya karena serangan flu berat, hidung mampet, wajah pucat dan demam. Aku sebenarnya memintanya tinggal di rumah agar beristirahat sampai sembuh tapi aku tak kuasa mendengar suara manjanya yang merengek dengan bibir manyun untuk menemaniku berjalan-jalan di taman kota meski angin musim dingin belum sepenuhnya pergi. Aku takluk, dengan satu syarat ia harus mengenakan pakaian berlapis-lapis dan menutupnya lagi dengan mantel.

”Kok enggak istirahat aja sih sayang. Aku cuma sebentar kok, nanti beli teh dulu di Cafe Pedro dan akan pulang setelah teh itu habis di taman. Nanti kalau udah fit, kita jalan lagi kesana, yaah, oke??”

”Ikuuuuutt.’

Aku merangkulnya saat kami melangkah keluar rumah. Seperti biasa, ia selalu memegang lengan kiri lalu saat-saat tertentu melancarkan serangan nakal dengan menggelitik ketiakku. Saat aku bergidik karena geli ia nyengir memamerkan gigi dengan wajah tanpa dosa lalu berkata, ”ee ee ehh salah.”

Taman kota sebenarnya hanya beberapa ratus meter dari kediaman kami. Kami kerap menghabiskan waktu beberapa jam di tempat ini terutama pagi hari di hari libur. Seperti kebanyakan taman, di sini juga terdapat bangku-bangku panjang yang disebar di beberapa tempat. Tempat favorit kami adalah di sebelah timur di dekat danau buatan, di samping kebun Bunga Tullip.

”Are you ok, honey?” kataku saat kami sampai di kursi tersebut. Ia hanya mengangguk tanpa berkata-apa dan saat duduk langsung menyandarkan kepalanya dibahuku.

”Tumben sepi ya, sayang.”

”He emmh..”

“Wah kayaknya orang-orang males keluar rumah nih, kita aja yang kurang kerjaan,”

“Hhiiyaa..”katanya sembari menggeser sedikit kepalanya, mencari posisi ternyaman lalu tertidur beberapa saat kemudian.

Makin lama, angin makin kencang, bahuku terasa pegal dan kesemutan. Awalnya aku mecoba bertahan tapi lama-lama menyerah karena terlalu dingin. Aku menggosok-gosokkan telapak tangan, tapi tetap tak membantu. Makin dingin, makin dingin, makin dingin, makin dingin hingga akhirnya aku terbangun. Kudapati diriku di atas kasur di kamar gelap di rumah Melda. Kipas angin berputar terlalu kencang, kumatikan dan kulanjutkan tidur dengan berselimut. Mimpi yang aneh.

SEHARI sebelum masa liburan berakhir, Selasa 7 September 2010, kami menetapkan Bedugul dan Puncak Bagus sebagai tujuan. Ini kali kedua kami ke Bedugul setelah 5 tahun lalu, tapi bagiku rasanya seperti kunjungan pertama mirip film 50 first dates. Sorenya, meski lelah dan mengantuk, kami masih singgah menikmati sunset dan Tari Kecak di Tanah Lot lalu menutup malam dengan menikmati Teh Tarik Bunana di Jalan Raya Krobokan.

Semua tempat yang kami kunjungi selalu ditemani cuaca mendung kecuali Dreamland. Karena itu pada hari terakhir, kami kembali lagi ke sana untuk menikmati panas matahari. Namun, sebelum ke Dreamland kami terlebih dahulu mengunjungi pantai Blue Point, yang rupanya hanya cocok untuk pemain surfing yang sudah mahir. Ombaknya besar, dan tak ada tempat bersantai di pinggir pantai. Di Dreamland aku berjemur dengan sangat percaya diri tanpa pelembab kulit apapun, berjam-jam untuk mencokelatkan kulit sampai sore. Ya, memang akhirnya cokelat juga tapi tiga hari kemudian kulitku mengelupas karena terbakar.

Dan hari ini tiba juga akhirnya. Aku tak lagi berharap Melda akan memelukku. Aku tahu ia pasti akan melakukannya karena perpisahan yang mengharukan di Ngurah Rai. Sepanjang hari ini kami sering diam beberapa saat dalam berbagai kesempatan. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, tapi kukira, sama seperti aku, ia sedih karena kami harus berpisah. Tapi kesedihan tak jadi datang karena kami berhasil mengatasi perasaan masing-masing. Sesungguhnya barangkali tak ada yang perlu membuat kami sedih, karena hari-hari yang kami lalui di sini penuh dengan keceriaan. Mungkin yang membuat kami terdiam adalah saat pertanyaan. ”kapan ya ketemu lagi” muncul di kepala. Atau pernyataan bernada sama, ”entah kapan bisa ketemu lagi.”

”Udah ya co...terima kasih atas semua bantuannya, maaf sudah merepotkan. Selamat bekerja,” kataku.

”Sama-sama co. Itulah gunanya teman.”

”Sampai ketemu di Phuket, mari kita sama-sama bekerja keras mengumpulkan duit. Semoga saat terkumpul nanti masih sama-sama jomblo sehingga lebih bebas kemana-mana.”

”Hahaha, iya benner.”

”Udah, pulang aja, hati-hati di jalan, salam sama Bibi, aku mau masuk ke ruang tunggu sebentar lagi.”

”Oke, hati-hati ya nak.”

Kami berpisah di pintu gerbang keberangkatan yang mulai sepi karena sudah jam 10 malam. Toko-toko sudah tutup. Saat duduk di ruang tunggu, aku mendengarkan musik menggunakan headset, memejamkan mata dan pikiran melayang entah kemana. Sampai bertemu Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun