TANGAN ini begitu dingin. Kucoba menghangatkan dengan memegangnya erat-erat, sesekali menggosok-gosokkannya ke tanganku sendiri. Kuremas, kulonggarkan lagi. Kuremas, kulonggarkan lagi. Iba rasanya hatiku saat menatapnya tampak teraniaya karena serangan flu berat, hidung mampet, wajah pucat dan demam. Aku sebenarnya memintanya tinggal di rumah agar beristirahat sampai sembuh tapi aku tak kuasa mendengar suara manjanya yang merengek dengan bibir manyun untuk menemaniku berjalan-jalan di taman kota meski angin musim dingin belum sepenuhnya pergi. Aku takluk, dengan satu syarat ia harus mengenakan pakaian berlapis-lapis dan menutupnya lagi dengan mantel.
”Kok enggak istirahat aja sih sayang. Aku cuma sebentar kok, nanti beli teh dulu di Cafe Pedro dan akan pulang setelah teh itu habis di taman. Nanti kalau udah fit, kita jalan lagi kesana, yaah, oke??”
”Ikuuuuutt.’
Aku merangkulnya saat kami melangkah keluar rumah. Seperti biasa, ia selalu memegang lengan kiri lalu saat-saat tertentu melancarkan serangan nakal dengan menggelitik ketiakku. Saat aku bergidik karena geli ia nyengir memamerkan gigi dengan wajah tanpa dosa lalu berkata, ”ee ee ehh salah.”
Taman kota sebenarnya hanya beberapa ratus meter dari kediaman kami. Kami kerap menghabiskan waktu beberapa jam di tempat ini terutama pagi hari di hari libur. Seperti kebanyakan taman, di sini juga terdapat bangku-bangku panjang yang disebar di beberapa tempat. Tempat favorit kami adalah di sebelah timur di dekat danau buatan, di samping kebun Bunga Tullip.
”Are you ok, honey?” kataku saat kami sampai di kursi tersebut. Ia hanya mengangguk tanpa berkata-apa dan saat duduk langsung menyandarkan kepalanya dibahuku.
”Tumben sepi ya, sayang.”
”He emmh..”
“Wah kayaknya orang-orang males keluar rumah nih, kita aja yang kurang kerjaan,”
“Hhiiyaa..”katanya sembari menggeser sedikit kepalanya, mencari posisi ternyaman lalu tertidur beberapa saat kemudian.
Makin lama, angin makin kencang, bahuku terasa pegal dan kesemutan. Awalnya aku mecoba bertahan tapi lama-lama menyerah karena terlalu dingin. Aku menggosok-gosokkan telapak tangan, tapi tetap tak membantu. Makin dingin, makin dingin, makin dingin, makin dingin hingga akhirnya aku terbangun. Kudapati diriku di atas kasur di kamar gelap di rumah Melda. Kipas angin berputar terlalu kencang, kumatikan dan kulanjutkan tidur dengan berselimut. Mimpi yang aneh.