Tapi masalahnya bukan itu, Melda jadi ikut-ikutan jengkel melihatku bete. Ini semua salahku karena melanggar janji diri kepada diri-sendiri.
Tadinya, aku bertekad tak akan menghidupkan handphone selama di Bali agar tidak diganggu oleh siapapun. Nyatanya, tekad itu omong kosong semata sehingga terjadilah suasana seperti sekarang. Untungnlah aku segera menyadari ketololanku dan segera mengabaikan semua hal-hal tak penting pengganggu ketenangan selama liburan sehingga kami bisa kembali jalan-jalan tanpa beban. Hanya senang.
Sudah hampir tengah malam ketika kami sampai di rumah. Ini malam yang panjang. Padahal, besok kami juga akan memulai perjalanan panjang dan melelahkan. Kintamani, Gunung Batur, Tirta Empul. Selamat malam co.....
*******
PADA PUKUL sepuluh lewat lima, Senin pagi, 6 September 2010, aku dan Melda menelusuri jalan menuju Kintamani. Udara sejuk mulai terasa menerpa wajah saat kami memasuki Tegalalang, kiri-kanan hanya sawah yang ditanami padi, hutan, kebun jeruk dan beberapa banjar. Meski tidak cerah dan bersih, sinar matahari masih terasa hangat. Lumayanlah daripada hujan terus-menerus.
"Horrrrrrrrrrrreeeeeeee hari ini cerah," kataku sambil mengendarai sepeda motor dan sesekali menengadah ke langit.
"Iyyyessssss," kata Melda menjawab dari belakang.
Sepanjang jalan, kami amat jarang berpapasan dengan kendaraan. Demikian juga dengan turis yang hanya satu dua lewat mengendarai motor. Aku tak tahu mengapa jalur ini relatif sepi tapi sepertinya ini bukan jalur utama ke Kintamani. Jarak Denpasar-Kintamani, mungkin tak kurang dari 40 kilometer dan semakin lama semakin menanjak. Untuk mengusir rasa bosan atau kantuk sepanjang perjalanan aku kerap bernyanyi keras-keras, seolah-olah sedang konser di kamar mandi dan seakan tak ada siapa-siapa di jalan. Melda sesekali ikut bernyanyi atau kadang ia menyanyikan lagu kesukaannya sendiri.
Satu setengah jam kemudian kami tiba di sebuah persimpangan. Dari posisi tersebut tampak Gunung Batur sangat angkuh, berselimut awan gelap, dibasahi gerimis dan tiba-tiba udara jadi semakin dingin yang memancing rasa muram. Kami berhenti di pinggir jalan untuk berfoto dengan latar belakang gunung gersang ini. Tak sampai lima menit kami bergegas pergi karena pedagang asongan sangat agresif menawarkan barang sehingga terasa mengintimidasi. Kami seharusnya berbelok ke kanan dan tak melewati pasar, tetapi kami ke kiri sehingga sempat tersesat hingga beberapa kilometer sebelum akhirnya Melda menyadari kami bergerak ke arah yang keliru.
"Maaf ya, kita salah jalan," katanya.
"Enggak pa-pa, jalan-jalan engak lengkap tanpa tersesat."
Kami akhirnya memutar balik dan langsung menuju danau di kaki gunung. Jalannya berkelok-kelok seperti ular dipukul dan berdebu serta kerikil yang tercecer dari truk pengangkut batu yang tiap hari melintasi kawasan ini. Tadinya kami berencana makan siang di pinggir danau, tapi rupanya tak ada restoran di bawah sini. Semua restoran berada di atas sana dengan pemandangan gunung dan danau. Maksud hati ingin duduk-duduk di pinggir danau, kami bergeser ke arah dermaga mungil, tapi apa daya, lagi-lagi gempuran pedagang asongan membuat kami tak betah lebih dari 5 menit. Kata Melda, daerah ini memang terkenal dengan pedagang cenderamata yang membuat suasana tak nyaman. Setelah berfoto, makan popmie dan ketawa-ketiwi, kami meninggalkan Kintamani menuju Tirta Empul di Tampaksiring. Gerimis tetap setia menemani perjalanan kami siang dan bahkan hingga sore ini. Tapi, kami tetap memacu sepeda motor karena tak ada tanda hujan akan berhenti meski kami rehat sejenak.
Aroma dupa terasa menyengat hidung saat kami melangkah ke Tirta Empul. Puluhan orang antri mandi bergantian di depan pancuran air yang mengalir jernih dan dingin; laki-laki, perempuan, tua, muda dan anak-anak. Barangkali, ada kepercayaan orang akan mendapat keberuntungan dengan mandi di tempat ini, atau sekadar membersihkan diri tapi Melda bilang tempat ini lumayan bagus untuk buang sial, saat aku hendak mandi. Mandi dengan tanpa pakaian juga kolor ganti. Hanya selembar kain hijau yang disewakan warga setempat karena seperti yang sudah-sudah kami tak pernah benar-benar merencanakan perjalanan kami dengan baik. Hanya mengikuti kemana kata hati membawa pergi.
Aneh juga, saat gerojokan air tumpah di atas kepalaku, aku seperti setengah berdoa atau sesungguhnya berdoa, tak tahulah. Isinya menarik tapi cukup Tuhan saja yang tahu. Hari mulai gelap. Saatnya pulang kandang.