SEHARI sebelum masa liburan berakhir, Selasa 7 September 2010, kami menetapkan Bedugul dan Puncak Bagus sebagai tujuan. Ini kali kedua kami ke Bedugul setelah 5 tahun lalu, tapi bagiku rasanya seperti kunjungan pertama mirip film 50 first dates. Sorenya, meski lelah dan mengantuk, kami masih singgah menikmati sunset dan Tari Kecak di Tanah Lot lalu menutup malam dengan menikmati Teh Tarik Bunana di Jalan Raya Krobokan.
Semua tempat yang kami kunjungi selalu ditemani cuaca mendung kecuali Dreamland. Karena itu pada hari terakhir, kami kembali lagi ke sana untuk menikmati panas matahari. Namun, sebelum ke Dreamland kami terlebih dahulu mengunjungi pantai Blue Point, yang rupanya hanya cocok untuk pemain surfing yang sudah mahir. Ombaknya besar, dan tak ada tempat bersantai di pinggir pantai. Di Dreamland aku berjemur dengan sangat percaya diri tanpa pelembab kulit apapun, berjam-jam untuk mencokelatkan kulit sampai sore. Ya, memang akhirnya cokelat juga tapi tiga hari kemudian kulitku mengelupas karena terbakar.
Dan hari ini tiba juga akhirnya. Aku tak lagi berharap Melda akan memelukku. Aku tahu ia pasti akan melakukannya karena perpisahan yang mengharukan di Ngurah Rai. Sepanjang hari ini kami sering diam beberapa saat dalam berbagai kesempatan. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, tapi kukira, sama seperti aku, ia sedih karena kami harus berpisah. Tapi kesedihan tak jadi datang karena kami berhasil mengatasi perasaan masing-masing. Sesungguhnya barangkali tak ada yang perlu membuat kami sedih, karena hari-hari yang kami lalui di sini penuh dengan keceriaan. Mungkin yang membuat kami terdiam adalah saat pertanyaan. ”kapan ya ketemu lagi” muncul di kepala. Atau pernyataan bernada sama, ”entah kapan bisa ketemu lagi.”
”Udah ya co...terima kasih atas semua bantuannya, maaf sudah merepotkan. Selamat bekerja,” kataku.
”Sama-sama co. Itulah gunanya teman.”
”Sampai ketemu di Phuket, mari kita sama-sama bekerja keras mengumpulkan duit. Semoga saat terkumpul nanti masih sama-sama jomblo sehingga lebih bebas kemana-mana.”
”Hahaha, iya benner.”
”Udah, pulang aja, hati-hati di jalan, salam sama Bibi, aku mau masuk ke ruang tunggu sebentar lagi.”
”Oke, hati-hati ya nak.”
Kami berpisah di pintu gerbang keberangkatan yang mulai sepi karena sudah jam 10 malam. Toko-toko sudah tutup. Saat duduk di ruang tunggu, aku mendengarkan musik menggunakan headset, memejamkan mata dan pikiran melayang entah kemana. Sampai bertemu Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H