"Buku apa itu, Ndok?" ibu menatap buku dan wajahku bergantian.
"Em, anu, Bu." Aku dibuat dongkol harus jawab seperti apa.
"Anu gimana? Sayang toh buku bagus kalau dibuang," ujar ibu seraya beranjak mengambil buku itu.
"Aduh, mampus aku." Batinku menggerutu sambil aku menepuk jidatku. Pasti ibu akan marah-marah mngetahui aku berpacaran. Sejak kecil aku dididik untuk tidak berhubungan dengan seorang cowok. jangankan berpacaran, berteman dengan anak cowok saja aku dilarang keras.
Aku pasrah saja melihat ibu mengangkat buku itu. Ibu membuka beberapa halaman. Sekali lagi ibu menatapku lekat-lekat. Seketika tubuhku terasa ringanmendapati aura wajahku yang berbeda.
"Apa ini, Us?" sekali lagi ibu melontarkan pertanyaan yang lebih sulit kujawab dari pada soal matematika saat ujian nasional. Aku pasrah saja pada apa yang akan dimarahkan ibu padaku. Ibu mengambil sebuah foto di dalam buku itu. Fotoku selfieku dengan Amir beberapa tahun lalu.
"Siapa ini, Us?" tanya ibu. Diam adalah jawaban terbaikku.
"Pacarmu?" bertubi-tubi beberapa pertanyaan diajukan ibu padaku.
"Apa yang telah kau lakukan dengan orang ini?" Ibu semakin mendekatiku. dia menampakkan raut muka yang sulit untuk aku gambarkan. Ada sesuatu yang bergeletar di balik dadaku menghadapi hal seperti ini.
"Ingat Us, apa pesan nenekmu dulu sebelum wafat. Dia sangat melarang anak cucunya untuk pacaran. Lebih baik menikah dini dari pada pacaran." terdengar suara ibu mulai serak. Aku hanya berani melirik beliau sebentar. Mata ibu terlihat lembab. Tetesan kristal bening berjatuhan menggenangi pipi beliau yang tak kencang lagi. Rasa bersalah kini menyusup ke dalam hatiku.
"Maafkan Uswa Bu. Uswa selama ini menyembunyikan sesuatu dari ibu." ujarku berusaha menenangkan hati beliau.