Mohon tunggu...
Alaek Mukhyiddin
Alaek Mukhyiddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis Ahlusunnah Wal Jamaah

adalah penggagas Jam'iyah sastra di pondok pesantren Sidogiri, sekaligus menjadi ketua perdananya. saat ini menjabat sebagai pemimpin Redaksi Majalah Nasyith. ia juga aktif sebagai aktivis ahlusunah wal jamaah dan menjabat sebagai anggota tim fatwa Annajah Center Sidogiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bismillah, Akulah Bidadarimu

21 September 2022   13:27 Diperbarui: 21 September 2022   13:40 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Serial Religi, penulis Alaek mukhyiddin & Baqir Madani/dokpri

Bismillah, Akulah Bidadarimu

Episode Pertama (Baqir Madani)

Masih saja dia memandangiku lekat-lekat. Sedang aku hanya tertunduk di hadapannya. Masih saja dia berbicara tentang momen-momen itu. Tanpa mengerti bahwa aku sudah bosan mendengar celotehnya.

"Jawab Us, apa yang kurang dariku? Aku bahkan lebih tampan dari pada dirinya." gertaknya dengan nada tinggi yang tertahan.

Aku tetap menunduk menunggu giliran agar bisa memberikan argumenku sendiri.

"Tidak dengan ketampananmu mampu menjadi imam dalam shalatku, tidak dengan ketampananmu mampu mengajariku ilmu agama yang tidak aku ketahui. Tidak juga dengan ketampananmu mampu membimbingku menaiki surga impianku." jawabku lembut berusaha melebur suasana yang memanas.

Suasan hening, aku menarik nafas panjang.

"Aku tidak memilihmu bukan karena dia, tapi karena keagamaanmu yang sudah terkikis pergaulan. Sebagai muslimah, apakah aku salah jika aku memilih dia sebagai imamku?"                                 

                                                             *   *   *

Malam yang dingin tak lagi bisa mendinginkan panasnya hatiku. Resah, gelisah, gundah, ah... Sudahlah. Memikirkan itu hanya menguras fikiran saja.

Sempat terbersit di dalam hati mungilku sebercat penyesalan atas keputusanku itu. aku memutuskan memilih Zultan, lelaki yang di tunjuk ayah untuk menjadi pemanduku dan anak-anakku menuju surga. Dan aku meninggalkan Amir, lelaki berperawakan tinggi semampai yang sudah dua tahun memberikan keindahan cinta untukku. Mengingat ekspresi berat dari gurat wajah Amir untuk meninggalkanku, semakin menambah rasa ragu dalam hatiku. Apalagi ketika aku membaca pesannya di watshaap yang ia kirim tadi sore, semakin menambah beban di atas hatiku yang rapuh.

"Uswa. Tengoklah lebih dalam ke dasar hatimu, adakah namaku yang terukir indah di sana atau nama tunanganmu itu. Kau harus tahu, tujuan menikah adalah untuk menemukan kebahagian yang hakiki. Tapi apakah kau akan menemukan kebahagiaan jika menikah dengan orang yang belum tentu mencintaimu setulus cinta yang ada di hatiku dan hanya untukmu ini. Soal pergaulanku, oke, aku akui, aku memang terlalu bebas dalam hal ini. Tapi, bukankah manusia mempunyai hati yang mudah berubah dalam waktu satu detik? Dan aku juga manusia, Us. Aku pasti berubah dan bisa membuatmu bahagia. pikirkan secara dewasa, Us..." itulah pesan yang ia kirimkan dan sempat membuat hatiku goyah atas pendirianku yang telah kokoh kupertahankan. Tapi inilah diriku yang sekarang. sudah cukup aku berdosa karena berpacaran dengan laki-laki yang belum halal untukku. di satu sisi aku masih sangat mencintai Amir. namun aku sudah tak mau lagi menunggu keseriusannya yang selama ini menggantung cintaku.

"Maafkan aku Amir, cukuplah perjalanan kita di sini. aku hanya ingin yang terbaik untuk hubungan kita." begitulah sepintas jawabanku atas pesannya waktu itu. aku telah memblokir semua kontaknya di gawaiku, agar tak ada celah lagi jika suatu saat nanti aku tergiur untuk menghubunginya. Tenang, hanya masalah hati pasti akan sembuh dengan sendirinya. bismillah... Zultan aku memilihmu sebagai imam dan ayah dari anak-anakku kelak.

Waktu mengalir begitu saja. Walaupun hati ini masih terasa berat karena dipaksa untuk mebuang keindahan di dalamnya, tapi aku tetap berusaha enjoy menjalani hidup dengan senyuman dan tidak menunjukkan air muka kumuh di depan keluargaku. Aku yakin keputusan ini akan membawaku menuju gerbang untuk meraih ridha Allah, Insya Allah. Meski sejujurnya, hatiku masih belum sepenuhnya bisa melupakan Amir.

Pertunanganku dengan Zultan hanya tinggal menghitung jari. Tanpa malu aku meminta pada ayah agar segera mengkhitbahkan aku dengan Zultan. Setahuku, metode taaruf lalu khitbah merupakan proses awal dari pernikahan ala islam, bukan dengan pacaran.

Tentang Zultan, aku banyak memperoleh info dari kakakku. Kebetulan, Zultan dan kakak masih duduk dibangku pesantren yang sama. Jadi kakak pasti tau banyak hal tentang tabiat Zultan. Aku tak pernah ragu mseski aku belum tau persis seperti apa perawakannya. kata kakak, soal tampang dia masih di bawah Amir. Semoga saja tidak jauh-jauh amat.

"Zultan itu pendiam, Us, penampilannya rapi dan sederhana. Yang bikin kakak kagum sama dia, dia itu rajin shalat malam lho, Us." komentar kakak beberapa hari lalu. Soal penampilanya aku tidak mau terlalu peduli. Mendengar cerita kakak tetang Zulta, aku sedikit tersenyum malu. Membuatku mulai yakin bahwa dialah lelaki terbaik untukku. Semoga!

***

Selang beberapa hari setelahnya, aku mulai merapikan isi kamar sebagai persiapan pertunanganku. Di sela-sela kesibukan tanganku memilah barang-barang, tanpa sengaja aku menjatuhkan sebuah buku usang dengan inisial U&A di covernya. tidak salah lagi buku itu adalah buku memoriku dengan Amir. Cepat-cepat aku membuangnya ke tempat sampah di pojok kamar. Aku tak mau merecofery data yang telah mantap kuletakkan di ricle bin.

"Ndok, sudah belum?" suara lembut ibu mengagetkanku di seberang pintu.

"Iya,sudah, Bu." jawabku dari dalam.  "pintunya tidak dikunci kok." kemudian pintu terbuka oleh dorongan pelan tangan ibu. sekilas ibu menoleh ke arah buku usang yang tergeletak di keranjang sampah.

"Buku apa itu, Ndok?" ibu menatap buku dan wajahku bergantian.

"Em, anu, Bu." Aku dibuat dongkol harus jawab seperti apa.

"Anu gimana? Sayang toh buku bagus kalau dibuang," ujar ibu seraya beranjak mengambil buku itu.

"Aduh, mampus aku." Batinku menggerutu sambil aku menepuk jidatku. Pasti ibu akan marah-marah mngetahui aku berpacaran. Sejak kecil aku dididik untuk tidak berhubungan dengan seorang cowok. jangankan berpacaran, berteman dengan anak cowok saja aku dilarang keras.

Aku pasrah saja melihat ibu mengangkat buku itu. Ibu membuka beberapa halaman. Sekali lagi ibu menatapku lekat-lekat. Seketika tubuhku terasa ringanmendapati aura wajahku yang berbeda.

"Apa ini, Us?" sekali lagi ibu melontarkan pertanyaan yang lebih sulit kujawab dari pada soal matematika saat ujian nasional. Aku pasrah saja pada apa yang akan dimarahkan ibu padaku. Ibu mengambil sebuah foto di dalam buku itu. Fotoku selfieku dengan Amir beberapa tahun lalu.

"Siapa ini, Us?" tanya ibu. Diam adalah jawaban terbaikku.

"Pacarmu?" bertubi-tubi beberapa pertanyaan diajukan ibu padaku.

"Apa yang telah kau lakukan dengan orang ini?" Ibu semakin mendekatiku. dia menampakkan raut muka yang sulit untuk aku gambarkan. Ada sesuatu yang bergeletar di balik dadaku menghadapi hal seperti ini.

"Ingat Us, apa pesan nenekmu dulu sebelum wafat. Dia sangat melarang anak cucunya untuk pacaran. Lebih baik menikah dini dari pada pacaran." terdengar suara ibu mulai serak. Aku hanya berani melirik beliau sebentar. Mata ibu terlihat lembab. Tetesan kristal bening berjatuhan menggenangi pipi beliau yang tak kencang lagi. Rasa bersalah kini menyusup ke dalam hatiku.

"Maafkan Uswa Bu. Uswa selama ini menyembunyikan sesuatu dari ibu." ujarku berusaha menenangkan hati beliau.

"Tidak Us, ini salah ibu. Ibu telah gagal melakukan wasiat nenek. Ibu telah gagal mendidikmu. Ibu telah gagal menjadi orangtua yang baik. Ibu tidak becus mendidikmu." Begitulah watak seorang i ibu, ia tak pernah mau menyalahkan oang lain. Sungguh kedaan ini tidak bisa membuatku merasa lebih baik, justru semakin membuatku merasa bersalah. Ibu, maafkan anakku ini.

Bersambung....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Episode Kedua

Kutengok jam yang melingkar di lengan kiriku, sudah menunjukkan Jam dua dini hari. Aku beranjak bangun dan membuka jendela kamar. Melihat cahaya rembulan yang begitu indah di mata. Menghisap dalam-dalam udara yang masuk ke rongga hidung. mendengarkan ocehan-ocehan para jangkrik dan katak-katak sawah yang hinggap di telinga. Hanya mereka yang kini setia menemaniku. Sampai larut malam, mataku tidak bisa tertutup rapat menikmati mimipi indah. Hah... Perasaanku masih kalang kabut. Rasa berdosa kini yang menyelimuti kesedihanku. Rasa berdosa kepada Tuhan juga kepada ibu karena berani membohonginya. Dan entah mengapa, perasaanku pada Amir seakan hadir kembali. Tak kunyana, buku yang sudah lama hilang itu telah membuka lembaran kenanganku dengannya. Kelopak mataku tak bisa lagi membendung debur air mata. Sebagai wanita, hatiku terlalu lemah untuk mengemban perasaan kalang kabut sedahsyat ini.

"Ya Allah, aku tahu aku telalu banyak melakukan dosa hingga Kau menghukumku dengan hukuman seberat ini. namun aku sadar,kau sangat kuasa untuk melenyapkan semua kegundahan di hatiku." jerit hatiku di bawah rembulan yang bersinar terang.

                                                                           ***

"Kenapa kamu, Us?" tegur kakak ketika melihatku merenung menatap ruang kosong. "tidakkah kamu bahagia atas pertunanganmu yang sudah dekat ini?"

"Eh, tau tidak Us, kata teman-teman Zultan berhasil memenangkan lomba tartil Quran tingkat Nasional. Dia hebat, ya." Aku tahu, kakak hanya berusaha menghiburku.

"Justru karena kehebatannya itu yang fikiranku seperti ini. Aku terlalu buruk untuk lelaki sebaik dia."

"Husy, jangan ngomong seperti itu, tidak baik."

"Kakak, ayah dan ibu sudah tau sendiri kan seperti apa aku yang sebenarnya. Bukankah menurut islam wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan wanita yang buruk juga untuk laki-laki yang buruk." kakak hanya terdiam mendengar argumenku. seakan-akan dia setuju kalau aku bukan wanita baik-baik.

***

Aku kira, semua gejolak di hatiku akan berpudar seiring dengan menggelindingnya waktu. Tapi tidak, ketenangan yang kuharap tidak kudapatkan samasekali. bahkan kegelisahan yang akhir-akhir ini mengelabui hatiku. Ya, hatiku gelisah karena ada beberapa faktor yang mengusiknya. Faktor yang paling dominan adalah karena aku masih belum bisa membuang rasa bersalahku pada ibu. Kurasa, aku telah resmi menjadi anak durhaka karena menyakiti perasaan beliau, membuat beliau menangis karena ulahku yang melanggar undang-undang keluarga besarku. Walaupun sikap beliau tidaklah berubah, tapi tetap saja aku merasakan kekecewaan di balik setiap senyumnya. Dan juga aku tidak bisa memungkiri bahwa Amir seakan datang bersahaja kembali ke dalam hatiku. Oh Tuhan, apa lagi ini.

"Us!" suara lembut ibu membuyarkan lamunanku.

"Iya, Bu."

"Sini keluar, Nak." Suara ibu dari luar. Aku merapikan kerudung cokelatku dan bergegas ke ruang keluarga yang berada tepan di depan kamarku. Aku melihat seuntai senyum di bibir ibu. Seakan menyembunyikan rasa kecewanya terhadapku.

"Pakai baju ini."

Aku menelan ludah mendengar perintah itu.

"Berhiaslah yang rapi, nanti Zultan mau ke sini." lanjut ibu melihatku hanya celingukan. Lantas aku kembali lagi ke kamar membawa pakaian yang bandrol harga dan mereknya belum dilucuti. Ah, aku baru sadar kalau hari ini adalah hari pertunanganku. Zultan, seperti apa penampilanmu.

"Uswa?" ibu membuka pintu kamarku. "sudah dipakai bajunya?" ibu menghentikan kakinya di ambang pintu.

"Loh, kok belum dipakai sih? Tamunya sudah datang lho." Senyum hambar sengaja kurekayasa demi menyenagkan hati ibu.

"Ayo cepat dipakai, ibu tunggu di luar, ya?" ibu beringsut sedetik setelah anggukan kepalaku.

Aku masih ragu untuk mengenakan gaun itu. Pantaskah aku bersanding dengan lelaki seperti Zultan. Dia adalah laki-laki yang baik, sedangkan aku? dengan keraguan yang masih menempel di dinding hatiku, aku paksakan tanganku untuk memakai baju spesial itu.

"Bismillah..." kumantapkan hati dengan menyebut nama agung-Nya, langkah kaki terasa berat kuayunkan menuju ruang keluarga untuk menemui lelaki pilihan keluargaku dan diriku sendiri. Kubuka pintu kamarku pelan. Dari celah-celah pintu, aku bisa melihat dua keluarga yang sama-sama memiliki tujuan baik sedang bercengkrama.

Aku tertegun ketika melihat seorang laki-laki memakai jas silver dan peci hitam. Kedua bola mataku seperti mau menggelinding melihatnya. "Itu pasti yang namanya Zultan." firasatku berkata. Memang benar kata Amir dan kata kakak, bahwa  penampilan Zultan tidaklah terlalu menarik, bahkan sangat tidak menarik. Tubuhnya agak gemuk, lebih pendek dari pada tubuhku. Warna kulitnya lumayan hitam dan... Ah. Naluri wanita yang cenderung menyukai lelaki tampan kini mulai menguasai lajur hatiku. Prinsipku dari awal yang tidak mau mempermasalahkan masalah penampilan terasa mulai gentar. Aku perempuan, sama seperti mereka. Setahuku,Kufu (setara) antara dua pasangan sangatlah diprioritaskan dalam agama. Dan aku mulai merasa bahwa antara aku dan Zultan sepertinya ada ketidakkufuan. Dia adalah lelaki baik-baik dan pintar, berbanding seratus delapan puluh derajat denganku. Dalam urusan penampilan dia jauh di bawah yang aku bayangkan. Kufukah itu?

Pergolakan itu semakin memanaskan hatiku, sebelum ibu datang menjemputku yang tertahan di belakang pintu.

                                                                       ***

"Uswa, aku ucapkan selamat atas pertunanganmu. Bagaimana? Kau pasti tahu sendir bagaiaman lelaki yang bernama Zultan itu, dialah yang telah kau tukar denganku. Semoga kau bisa menerimanya dengan lapang sebagaimana kau telah melepaskanku dengan lapang pula. Kendati sejatinya, aku masih meragu, apakah kau bisa mencintainya dan bisa bahagia hidup bersamanya sepanjang hidupmu. Aku harap, kau mau memikirkan ini masak-masak. Jika kau berubah pikiran aku siap menerimamu kembali."

'Yang kau campakkan, Amir'

Setelah membaca surat tang di hantarkan seseorang tadi pagi, seakan memantik sebercat penyesalan di dalam hatiku. Tanganku terasa berat memegang kertas itu. Rasanya linangan airmata lagi-lagi memaksa keluar, tapi kutahan dengan sekuat perasaanku.

Amir? Kalau boleh berkata jujur, sebenarnya aku masih menyimpan rasa terhadapnya. Dia telah berhasil membuat hatiku bimbang. Aku berfikir keras dalam kebimbangan ini. Kurasa dia memang benar, bahwa kebahagian dalam berumahtangga itu bisa hadir jika ada cinta. Sedangkan aku, meski berusaha sekuat-kuatnya, sampai detiki inipun masih belum bisa menghadirkan Zultan di hatiku? Sungguh, inilah puncak dari siksaan batin yang selama ini mengusikku.

"Loh, ada apa lagi denganmu toh, Us.?" ibu tiba-tiba menghampiriku cemas. Aku menyambutnya dengan senyuman yang kupaksakan.

"Kau tidak perlu menyembunyikan gundahmu di balik senyummu itu. Ibu dari kecil merawatmu, Ndok. Pastilah ibu tahu bahwa kau sedang menyimpan beban yang berat. Ayo, ceritakn ke ibu." ibu mengelus ujung kerudungku dengan kasih sayang sejati, sebuah tindakan yang membuat dadaku sejuk. Tanpa ragu lagi kini, aku jatuhkan tubuhku ke dalam pelukan ibu. Kutumpahkan semua airmataku di sisinya. Hanya ibu yang bisa membuatku damai saat problem menghimpit hidupku.

"Bicaralah, Nak. Ibu siap menjadi pendengar yang baik." tanggap ibu ketika melihatku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Kuberikan saja surat dari Amir pada ibu. Ibu terlihat membacanya dengan serius.

"Kamu masih mencintainya?" ucap ibu sehabis membaca kertas itu. "itulah salah satu risiko pacaran, faidahnya tidak ada, justru hanya menyiksa hatimu saja." ibu mulai memberikan petuahnya.

"Tt..tapi,.. Tapi aku tidak mencintai Zultan, Bu, aku takut tidak bahagia berumahtangga dengannya jika tidak ada cinta di antara kita."

"Ndok, ibu yakin, Niat Zultan itu baik, niat keluarganya baik dan niat keluarga kita juga baik, yaitu sama-sama ingin melakukan sunnah Kanjeng Nabi. Sekarang tinggal niatmu saja. bulatkanlah niat di hatimu bahwa menikah bukan hanya untuk mencari kenikmatan fana saja, melainkan juga untuk mengikuti sunnah Rasullullah dan untuk memperoleh ridha Allah.  Soal cinta tidak boleh hanya memandang dari fisiknya saja, karena fisik bisa berubah kapan saja. Bukan tampang yang mendatangkan cinta, tapi cinta yang akan mendatangkan tampang. Dan cinta juga tidak bisa diukur sebelum menikah, seperti dalam al-Quran, mawaddah wa rahmah itu akan dirasakan setelah menikah, bukan sebelum menikah. Ibu yakin kamu akan bahagia dengannya karena ahlaknya sangat mulia dan agamanya bagus. itulah yang akan menjadi bekalmu untuk mengarungi bahtera rumahtangga di laut samudra kehidupan yang sedemikian rumitnya." Petuah ibu terasa menyingkap sebuah tabir tebal yang menggangkangi hatiku selama ini, seakan membuka matahatiku yang selama ini ditutupi cinta semu seorang Amir. Petuah ibu membuatku mengerti betapa pentingnya ahlak yang baik dan agama yang baik dalam berumah tangga, bukan diukur dari fisik belaka.

"Bismillah..." kusebut kembali nama Sang Pemberi Kasih Sayang di dalam hati. Kutata niatku kembali dan kuyakinkan bahwa aku siap menjadi bidadari Zultan di dunia dan akhirat. "Bismillah, akulah bidadarimu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun