Sempat terbersit di dalam hati mungilku sebercat penyesalan atas keputusanku itu. aku memutuskan memilih Zultan, lelaki yang di tunjuk ayah untuk menjadi pemanduku dan anak-anakku menuju surga. Dan aku meninggalkan Amir, lelaki berperawakan tinggi semampai yang sudah dua tahun memberikan keindahan cinta untukku. Mengingat ekspresi berat dari gurat wajah Amir untuk meninggalkanku, semakin menambah rasa ragu dalam hatiku. Apalagi ketika aku membaca pesannya di watshaap yang ia kirim tadi sore, semakin menambah beban di atas hatiku yang rapuh.
"Uswa. Tengoklah lebih dalam ke dasar hatimu, adakah namaku yang terukir indah di sana atau nama tunanganmu itu. Kau harus tahu, tujuan menikah adalah untuk menemukan kebahagian yang hakiki. Tapi apakah kau akan menemukan kebahagiaan jika menikah dengan orang yang belum tentu mencintaimu setulus cinta yang ada di hatiku dan hanya untukmu ini. Soal pergaulanku, oke, aku akui, aku memang terlalu bebas dalam hal ini. Tapi, bukankah manusia mempunyai hati yang mudah berubah dalam waktu satu detik? Dan aku juga manusia, Us. Aku pasti berubah dan bisa membuatmu bahagia. pikirkan secara dewasa, Us..." itulah pesan yang ia kirimkan dan sempat membuat hatiku goyah atas pendirianku yang telah kokoh kupertahankan. Tapi inilah diriku yang sekarang. sudah cukup aku berdosa karena berpacaran dengan laki-laki yang belum halal untukku. di satu sisi aku masih sangat mencintai Amir. namun aku sudah tak mau lagi menunggu keseriusannya yang selama ini menggantung cintaku.
"Maafkan aku Amir, cukuplah perjalanan kita di sini. aku hanya ingin yang terbaik untuk hubungan kita." begitulah sepintas jawabanku atas pesannya waktu itu. aku telah memblokir semua kontaknya di gawaiku, agar tak ada celah lagi jika suatu saat nanti aku tergiur untuk menghubunginya. Tenang, hanya masalah hati pasti akan sembuh dengan sendirinya. bismillah... Zultan aku memilihmu sebagai imam dan ayah dari anak-anakku kelak.
Waktu mengalir begitu saja. Walaupun hati ini masih terasa berat karena dipaksa untuk mebuang keindahan di dalamnya, tapi aku tetap berusaha enjoy menjalani hidup dengan senyuman dan tidak menunjukkan air muka kumuh di depan keluargaku. Aku yakin keputusan ini akan membawaku menuju gerbang untuk meraih ridha Allah, Insya Allah. Meski sejujurnya, hatiku masih belum sepenuhnya bisa melupakan Amir.
Pertunanganku dengan Zultan hanya tinggal menghitung jari. Tanpa malu aku meminta pada ayah agar segera mengkhitbahkan aku dengan Zultan. Setahuku, metode taaruf lalu khitbah merupakan proses awal dari pernikahan ala islam, bukan dengan pacaran.
Tentang Zultan, aku banyak memperoleh info dari kakakku. Kebetulan, Zultan dan kakak masih duduk dibangku pesantren yang sama. Jadi kakak pasti tau banyak hal tentang tabiat Zultan. Aku tak pernah ragu mseski aku belum tau persis seperti apa perawakannya. kata kakak, soal tampang dia masih di bawah Amir. Semoga saja tidak jauh-jauh amat.
"Zultan itu pendiam, Us, penampilannya rapi dan sederhana. Yang bikin kakak kagum sama dia, dia itu rajin shalat malam lho, Us." komentar kakak beberapa hari lalu. Soal penampilanya aku tidak mau terlalu peduli. Mendengar cerita kakak tetang Zulta, aku sedikit tersenyum malu. Membuatku mulai yakin bahwa dialah lelaki terbaik untukku. Semoga!
***
Selang beberapa hari setelahnya, aku mulai merapikan isi kamar sebagai persiapan pertunanganku. Di sela-sela kesibukan tanganku memilah barang-barang, tanpa sengaja aku menjatuhkan sebuah buku usang dengan inisial U&A di covernya. tidak salah lagi buku itu adalah buku memoriku dengan Amir. Cepat-cepat aku membuangnya ke tempat sampah di pojok kamar. Aku tak mau merecofery data yang telah mantap kuletakkan di ricle bin.
"Ndok, sudah belum?" suara lembut ibu mengagetkanku di seberang pintu.
"Iya,sudah, Bu." jawabku dari dalam. Â "pintunya tidak dikunci kok." kemudian pintu terbuka oleh dorongan pelan tangan ibu. sekilas ibu menoleh ke arah buku usang yang tergeletak di keranjang sampah.