Mohon tunggu...
Alaek Mukhyiddin
Alaek Mukhyiddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis Ahlusunnah Wal Jamaah

adalah penggagas Jam'iyah sastra di pondok pesantren Sidogiri, sekaligus menjadi ketua perdananya. saat ini menjabat sebagai pemimpin Redaksi Majalah Nasyith. ia juga aktif sebagai aktivis ahlusunah wal jamaah dan menjabat sebagai anggota tim fatwa Annajah Center Sidogiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bismillah, Akulah Bidadarimu

21 September 2022   13:27 Diperbarui: 21 September 2022   13:40 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Buku apa itu, Ndok?" ibu menatap buku dan wajahku bergantian.

"Em, anu, Bu." Aku dibuat dongkol harus jawab seperti apa.

"Anu gimana? Sayang toh buku bagus kalau dibuang," ujar ibu seraya beranjak mengambil buku itu.

"Aduh, mampus aku." Batinku menggerutu sambil aku menepuk jidatku. Pasti ibu akan marah-marah mngetahui aku berpacaran. Sejak kecil aku dididik untuk tidak berhubungan dengan seorang cowok. jangankan berpacaran, berteman dengan anak cowok saja aku dilarang keras.

Aku pasrah saja melihat ibu mengangkat buku itu. Ibu membuka beberapa halaman. Sekali lagi ibu menatapku lekat-lekat. Seketika tubuhku terasa ringanmendapati aura wajahku yang berbeda.

"Apa ini, Us?" sekali lagi ibu melontarkan pertanyaan yang lebih sulit kujawab dari pada soal matematika saat ujian nasional. Aku pasrah saja pada apa yang akan dimarahkan ibu padaku. Ibu mengambil sebuah foto di dalam buku itu. Fotoku selfieku dengan Amir beberapa tahun lalu.

"Siapa ini, Us?" tanya ibu. Diam adalah jawaban terbaikku.

"Pacarmu?" bertubi-tubi beberapa pertanyaan diajukan ibu padaku.

"Apa yang telah kau lakukan dengan orang ini?" Ibu semakin mendekatiku. dia menampakkan raut muka yang sulit untuk aku gambarkan. Ada sesuatu yang bergeletar di balik dadaku menghadapi hal seperti ini.

"Ingat Us, apa pesan nenekmu dulu sebelum wafat. Dia sangat melarang anak cucunya untuk pacaran. Lebih baik menikah dini dari pada pacaran." terdengar suara ibu mulai serak. Aku hanya berani melirik beliau sebentar. Mata ibu terlihat lembab. Tetesan kristal bening berjatuhan menggenangi pipi beliau yang tak kencang lagi. Rasa bersalah kini menyusup ke dalam hatiku.

"Maafkan Uswa Bu. Uswa selama ini menyembunyikan sesuatu dari ibu." ujarku berusaha menenangkan hati beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun