"Tt..tapi,.. Tapi aku tidak mencintai Zultan, Bu, aku takut tidak bahagia berumahtangga dengannya jika tidak ada cinta di antara kita."
"Ndok, ibu yakin, Niat Zultan itu baik, niat keluarganya baik dan niat keluarga kita juga baik, yaitu sama-sama ingin melakukan sunnah Kanjeng Nabi. Sekarang tinggal niatmu saja. bulatkanlah niat di hatimu bahwa menikah bukan hanya untuk mencari kenikmatan fana saja, melainkan juga untuk mengikuti sunnah Rasullullah dan untuk memperoleh ridha Allah. Â Soal cinta tidak boleh hanya memandang dari fisiknya saja, karena fisik bisa berubah kapan saja. Bukan tampang yang mendatangkan cinta, tapi cinta yang akan mendatangkan tampang. Dan cinta juga tidak bisa diukur sebelum menikah, seperti dalam al-Quran, mawaddah wa rahmah itu akan dirasakan setelah menikah, bukan sebelum menikah. Ibu yakin kamu akan bahagia dengannya karena ahlaknya sangat mulia dan agamanya bagus. itulah yang akan menjadi bekalmu untuk mengarungi bahtera rumahtangga di laut samudra kehidupan yang sedemikian rumitnya." Petuah ibu terasa menyingkap sebuah tabir tebal yang menggangkangi hatiku selama ini, seakan membuka matahatiku yang selama ini ditutupi cinta semu seorang Amir. Petuah ibu membuatku mengerti betapa pentingnya ahlak yang baik dan agama yang baik dalam berumah tangga, bukan diukur dari fisik belaka.
"Bismillah..." kusebut kembali nama Sang Pemberi Kasih Sayang di dalam hati. Kutata niatku kembali dan kuyakinkan bahwa aku siap menjadi bidadari Zultan di dunia dan akhirat. "Bismillah, akulah bidadarimu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H