Sore ini Wak jamil berjalan-jalan di alun-alun kota. Dia  melihat-lihat keramaian yang sedang berlangsung di alun-alun kota. Dia ingin mengurangi stress yang memenuhi otaknya, setelah seharian narik angkot, tapi tak dapat penumpang.
Akhir-akhir ini penumpang angkot Wak Jamil sangat sepi. Orang-orang lebih suka menggunakan kendaraan sendiri. Pelanggan angkotnya kebanyakan sudah mampu beli motor dan mobil sendiri.
Suara yang keluar dari microfon di atas panggung hiburan menebar ke seluruh pojok alun-alun. Para pedagang musiman yang ada di sisi alun- alun tampak sibuk tawar menawar dengan pembeli. Orang-orang lalu lalang berseleweran di sekitar alun-alun. Sebagian ada yang datang dengan keluarga. Anak-anak muda ada yang datang bersama pasangannya masing-masing.
Wak jamil datang sendiri ke tempat itu. Dia memang sudah tak punya keluarga lagi. Dia dengan istrinya sudah bercerai. Istrinya sudah menikah lagi dengan seorang laki-laki berstatus Aparatur Sipil Negara.
Anak-anak Wak Jamil sudah menikah dan sudah menjalani hidup masing-masing. Anaknya menemui Wak jamil satu kali dalam sebulan sambil memberi sedikit uang kepada Wak Jamil.
Di sudut alun-alun yang sangat riuh itu, Wak jamil melihat seekor kuda berbulu putih dan lehernya bewarna coklat. Di samping kuda tampak seorang pemuda yang sedang  mengelus-elus kepala kuda itu dengan rasa kasih sayang. "Anak muda itu pasti pemilik kuda itu," gumam Wak Jamil.
Hati Wak jamil tertarik dengan kuda itu. Dia berpikir alangkah enaknya jika bisa memiliki kuda. Ke mana-mana dia akan naik kuda seperti Koboy Mexico.
Kuda tidak perlu menggunakan bahan bakar pertalit. Kuda hanya butuh rumput dan jerami. Rumput dan jerami jumlahnya melimpah. Pikir Wak jamil dia bisa mengambil rumput di pinggir kebunnya. Soal jerami, dia bisa minta ke kenalan atau tetangga yang memiliki sawah.
Pak Jamil melangkah di tengah keramaian alun-alun. Dia menuju ke tempat kuda dan anak muda itu berada. Tiba di tempat itu dia tersenyum kepada anak muda itu.
"Ini kuda kamu ya, Jang!" tanya Wak Jamil kepada pemuda itu.
"Iya, Wak! Emangnya kenapa ya, Wak? Pemuda itu balik bertanya. Pemuda itu balas tersenyum kepada Wak Jamil. Kemudian dia balik lagi menatap kudanya sambil mengelus-elus kepala kuda itu.
"Enak jika punya kuda kayak  begini ya, Jang!" tambah Wak Jamil.
"Iya, saya bersyukur  sajalah, Wak! Kuda ini buat saya cari makan. Saya menyewa kuda ini untuk ditunggangi para pengunjung  alun-alun ini. Umunya yang menjadi pelanggan saya adalah anak-anak!" ujar pemuda Itu.
Tak lama kemudian ada anak kecil dan orang tuanya datang menyewa kuda pemuda itu. Anak muda itu meninggalkan Wak Jamil. Anak muda itu menarik tali kekang kuda untuk berkeliling. Anak kecil yang duduk di punggung kuda itu sangat senang. Anak kecil itu harus dipandu oleh anak muda pemilik kuda itu. Anak kecil itu belum bisa mengendalikan kuda sendirian.
Melihat apa yang dilakukan anak muda itu, Wak Jamil ingin mengganti angkotnya dengan kuda. Dia ingin menukar angkotnya dengan kuda milik anak muda itu .
Wak Jamil ingin menyewakan kudanya seperti anak muda itu. Di lain waktu Juga dia ingin memasang gerobak delman di belakang kuda itu. Dia akan menarik penumpang yang akan pergi ke pasar. Pikirnya, siapa tahu orang-orang sudah bosan naik mobil dan motor sehingga memilih menumpang kuda.
Pikir Wak Jamil dengan beralih profesi menjadi penarik kuda, keuntungan pasti lebih banyak. Dia tak perlu mengeluarkan uang untuk beli pertalit yang harganya sudah sangat melangit saat ini.
Wak Jamil cukup menyabit rumput di pinggir kebun. Kadang-kadang dia akan mencari jerami di sekitar sawah milik teman atau tetangga. Semua itu tidak butuh modal besar, Selain itu dia bisa bercengkrama dengan kudanya di padang rumput sambil menikmati hembusan angin, pikir Wak Jamil.
Wak Jamil tersenyum sendiri. Kedutan di sekitar wajahnya yang sudah tua tampak sedikit rata dan mengencang. Tampaknya dia sudah mantap hendak menukar angkotnya dengan kuda. Dia ingin memiliki kuda seperti anak muda itu.
Anak muda tadi sudah usai berkeliling menemani anak kecil dengan kudanya. Dia kembali ke tempat dia mangkal. Dia melihat Wak Jamil masih berdiri di tempat itu sambil tersenyum menatapnya.
"Apakah kamu mau menukar kuda ini dengan angkot aku, Jang? Aku rasa harga kuda kamu ini masih sebanding dengan harga angkot aku!" kata Wak Jamil.
Anak muda itu tertawa kecil mendengar Wak Jamil. Selama ini dia belum pernah berhadapan dengan orang yang mau menukar angkot dengan kudanya.
"Oh, tidak, Wak! Aku tidak mau menukar kuda ini dengan apapun! Aku sudah terlanjur sayang dengan kuda ini. Kuda ini satu-satunya peninggalan berharga dari orang tuaku. Sebelum orang tuaku meninggal  meninggal, dia berpesan kuda ini jangan dijual. Biarlah kuda ini nanti mati mengikuti takdirnya!" jawab anak muda itu sambil mengusap peluh di wajahnya yang hitam dengan handuk kecil. Dia melepas topinya. Lalu dia mengipasi wajahnya dengan topi itu
Wak Jamil sedikit kecewa dengan penolakan anak muda itu. Tapi dia memahami apa yang menjadi alasan anak muda itu. Apalagi memang menjadi haknya mau menukar kuda itu atau tidak.
Tekat Wak Jamil sangat kuat untuk menukar angkotnya dengan kuda. Di samping penumpang angkot semakin sepi, dia merasakan dirinya sudah terlalu tua untuk mengemudi angkot. Matanya sudah lamur. Dia harus menggunakan kacamata campuran dekat dan jauh yang sudah tebal untuk melihat. Konsentrasi Wak Jamil sudah mulai menurun. Dia pikir bahaya Jika dia masih terus mengemudi angkot.
Wak Jamil keliling mencari informasi orang yang mau menukar kuda dengan angkotnya. Semua orang yang dia kenal sudah ditanyai oleh Wak Jamil, namun tak seorang pun yang tahu. Dia sudah kelelahan mencari, tapi tak kunjung ketemu.
Memang tidak mudah mencari peternakan kuda di daerah tempat tinggal Wak Jamil. Di daerah tempat tinggalnya tidak banyak padang rumput yang sering dipakai untuk memelihara kuda.
Wak Jamil sudah bertanya kemana-mana, tapi belum ketemu dengan orang yang mau menukar kuda dengan angkot. Wak Jamil semakin penasaran. Namun dia tidak akan menyerah. Pantang baginya untuk menghentikan rencana yang telah dia buat.
Pada suatu malam Wak Jamil membuka media sosial yang menyediakan fitur jual beli di hand phone-nya. Matanya yang dibalut kaca mata tebal mencari-,cari iklan yang menukar mobil dengan  kuda.
Ternyata Wak Jamil menemui apa yang dicarinya. Dia merasa gembira keinginanya akan terwujud. Cepat-cepat dia menghubungi pemasang iklan lewat nomor kontak yang telah disediakan. Â Selanjutnya, dia dengan pemasang iklan itu sepakat untuk bertemu pada waktu yang telah mereka tentukan.
Beberapa hari kemudian Wak Jamil sudah berada di tempat peternakan kuda. Ada sekitar sepuluh ekor kuda yang dipelihara di tempat itu.
Wak Jamil melihat kuda-kuda itu berada dalam kandang yang luas dan ditumbuhi rerumputan. Kadang kuda dikelilingi oleh pagar  yang dibuat dari kawat berdiri. Sedangkan di tiap pojok terdapat bangunan berupa pondok untuk tempat kuda-kuda itu berlindung dari cuaca ekstrim.
"Mana kuda yang akan ditukar dengan angkot saya, Pak?" tanya Wak Jamil kepada penjual kuda.
"Baik akan saya ambil dari kandang dulu. Kudanya sedang makan," jawab penjual kuda.
Penjual kuda mengeluarkan kuda yang akan ditukar dengan angkot Wak Jamil. Dia mengambil kuda yang harganya sebanding dengan angkot Wak Jamil.
Wak Jamil sangat gembira melihat kuda itu. Kuda itu mirip dengan kuda milik anak muda yang dia temui di alun-alun beberapa waktu yang lalu. Dia merasa tidak sia-sia menukar angkotnya dengan kuda itu.
"Ini aku sangat setuju," ujar Wak Jamil sambil menatap penjual kuda dengan tersenyum.
Penjual kuda hanya manggut-manggut dan membalas senyum Wak Jamil.
"Ini kunci mobilnya, Pak!" Kata Wak Jamil. Tangannya merogoh kunci dari dalam kantong. Kemudian dia menyerahkannya kepada penjual kuda
"Baik, Wak Jamil! Saya terima angkotnya!" balas penjual kuda. Dia tersenyum ramah kepada Wak Jamil.
"Dengan cara bagaimana saya membawa kuda ini ke rumah saya, Pak? tanya Wak Jamil lagi
"Wak Jamil mau saya antar ke rumah atau bawa sendiri?" penjual kuda balik bertanya.
"Saya lebih suka bawa Sendiri," balas Wak Jamil.
"Baiklah kalau begitu, akan saya siapkan pelana, sanggurdi, helm serta tali kekang kuda untuk Wak." kata penjual kuda.
Kemudian penjual kuda mengambil peralatan untuk berkuda yang dia simpan di dalam rumahnya. Kemudian dia memasang peralatan itu di punggung kuda.
Setelah semuanya siap, Wak Jamil langsung naik ke punggung kuda. Wak Jamil memang sudah tahu cara menunggang kuda. Ketika masih muda Wak Jamil memang pernah belajar mengendarai kuda.
Kuda mengeluarkan suara meringkik, ketika Wak Jamil naik ke punggungnya. Namun itu hanya sebentar. Kemudian kuda itu jinak kembali setelah dielus-elus oleh Wak Jamil punggungnya. Kuda itu memang model kuda yang mudah jinak.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada penjual kuda, Wak Jamil langsung melaju dengan kuda barunya.
****
Sejak saat itu Wak Jamil selalu naik kuda jika dia berpergian. Dia tak pernah antri lagi untuk membeli pertalit. Dia tak perlu mengeluarkan uang lagi untuk beli pertalit yang menurut Wak Jamil harganya sangat tinggi. Setiap hari Wak Jamil pergi menyabit rumput untuk makanan kuda itu.
Di sekitar tempat tinggal Wak Jamil tidak ada padang rumput yang luas. Wak Jamil meletakkan kuda itu dalam kandang di belakang rumahnya. Hanya seminggu sekali dia membawa kuda itu ke padang rumput yang jauh dari rumahnya, agar kudanya tidak setress.
Pak Jamil juga sudah memasang gerobak andong di belakang kudanya. Terkadang dia pergunakan kudanya untuk menarik penumpang di pasar.
Namun semua yang dilakukan Wak jamil tak selalu berjalan mulus. Tetangga di sekitar rumah Wak jamil merasa terganggu dengan bau kotoran kuda. Apalagi terkadang kuda itu mengeluarkan kotoran di jalan depan rumah mereka, ketika lewat.
"Wak, sebaiknya kalau memelihara kuda jangan di tempat yang sempit. Buatlah kandangnya di padang rumput yang jauh dari rumah!" protes seorang tetangga kepada Wak Jamil.
"Ya terserah saya, dog, saya naruh kuda kan di rumah saya sendiri!" balas Wak Jamil. Dia merubah posisi kacamata tebalnya, sambil menatap ke tetangganya itu.
"Ya, betul, tapi kotorannya mengganggu hidung kami, jika dibiarkan begitu terus!" balas tetangganya dengan wajah tidak senang.
Wak Jamil tak membalas lagi perkataan tetangganya itu. Dia terus mengurus kudanya. Dia tak terlalu memperdulikan omongan tetangganya itu.
Tetangganya hanya geleng-geleng kepala. Kemudian dia pergi. Wajahnya nampak kesal dengan kehadiran kuda Wak Jamil itu.
Hari ini Wak Jamil pergi ke alun-alun kota. Wak Jamil ingin menyewakan kudanya seperti anak muda yang dia temui tempo hari. Pikirnya, dia juga akan menjadi teman bagi anak muda itu. Tempo hari Wak Jamil lihat, cuma pemuda itu saja yang punya usaha sewa kuda di alun-alun kota.
Namun Wak jamil heran. Dia tidak melihat anak muda itu lagi di alun-alun. Sudah tiga hari Wak Jamil menyewakan kudanya di alun-alun, tapi anak muda itu tidak kunjung kelihatan batang hidungnya.
Pada hari ke empat, anak muda itu datang ke alun-alun. Dia ditemani dua orang yang berseragam polisi. Anak muda itu melangkah sangat cepat  ke arah Wak Jamil. Wajah anak muda itu tampak kesal dan garang. Matanya tajam melihat ke arah Wak Jamil.
"Wak, kuda ini milik saya! Kuda saya hilang! Wak mencuri kuda saya, ya!?" tanya pemuda itu dengan mata tajam melotot ke arah Wak Jamil.
Darah Wak Jamil terasa mendidih. Wajahnya tegang. Dia kaget dan marah, karena tiba-tiba dituduh mencuri oleh anak muda itu. Seumur hidup baru kali ini dia di tuduh mencuri.
"Hai, Anak Muda! Kamu jangan nuduh sembarangan,ya! Kuda ini saya tukar dengan angkot di peternakan kuda jauh dari pinggiran kota!" balas Wak Jamil dengan suara meninggi.
Orang-orang di sekitar alun-alun banyak yang menoleh. Mereka ada yang tertarik untuk mendekat setelah mendengar pembicaraan Wak Jamil dan anak muda itu
"Kamu jangan bohong, Wak!" Saya punya bukti jika ini kuda saya!" ujar anak muda itu. wajahnya merah dan tajam membalas tatapan Wak Jamil.
Dada Wak Jamil berdebar dan tubuhnya tuanya semakin tegang dan gemetar.
"Hai anak muda. Saya menukar kuda ini dengan angkot saya! Jika kamu tidak percaya, mari kita menemui penjual kuda ini!" Wak Jamil menghela nafas sejenak untuk melepas ketegangannya. "Ayo, mana bukti Jika kuda ini milik kamu!" lanjut Wak Jamil. Wajahnya tampak kesal dan marah.
Anak muda itu mengelus-elus kepala kuda itu. Dia mencium moncong kuda itu.
Kuda itu langsung meringkik lirih. Dia membalas ciuman anak muda itu. Kuda itu menatap ke arah anak muda itu. Mata kuda itu tampak berkaca-kaca. Dia meringkik karena merasa senang.
Wak Jamil bingung dan kesal apa yang dituduhkan anak muda itu kepadanya. Dadanya masih bergemuruh karena dituduh mencuri. Kemudian dia menoleh ke arah dua orang anggota polisi yang bersama anak muda itu.
Dua pria yang berseragam polisi sejak tadi hanya memperhatikan apa yang dibicarakan Wak Jamil dan anak muda itu.
"Maaf, Wak! Untuk saat ini Wak ikut kami ke kantor polisi! Orang yang menukar kuda dengan angkot milik Wak sudah kami tahan. Dia sudah mengaku bahwa dia menjadi penadah kuda hasil curian!" Kata salah seorang polisi dengan tegas.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H