"Mau buat apa, Ken? Jangan macem-macem!"
Aku melihat sahabatku menyimpan nomor itu sambil tersenyum. Kemudian, tengah mengetik pesan. Entah, pesan apa itu? Aku juga penasaran.Â
Niken mulai mengambil bungkus pempek. Saat mengunyah suapan pertama pempek. Niken dengan antusias berkata, "Sumpah, Rin. Ini empek-empek rasanya. Beh, nikmat banget nih. Kalau perlu, aku pesan tiap hari sama abangnya. Mumpung ada nomornya."
Sepertinya aku ikut terpengaruh. Bener juga kata Niken. Akhirnya, aku pun mau menyimpan nomor abangnya.Â
"Katanya nggak penting, uhuukk. Sekarang, mau disimpen. Suka sama empek-empeknya, atau sama Abangnya, Rin." Aku cuma bisa tertawa renyah.
...
Selepas salat isya, tiba-tiba ada yang mengetuk rumahku. Sebelum membuka pintu. Aku mengintip dulu dari celah jendela. "Astaufirallahalazim," ucapku lirih. Aku tidak menyangka si Abang pempek sudah berdiri di sana.Â
Aku segera membalas salamnya, "Walaikumsalam, Abang kok tahu alamat Rina."
"Maaf, Neng. Abang mengganggu Neng malam-malam. Kata sahabat, Neng Rina. Neng, mau makan empek-empek sekarang. Jadi, Abang langsung bawain. Inih, dimakan." mata kami bertemu, aku segera membuang muka.
Aku cuma bisa menggigit bibir, menahan marah pun malu karena mengenakan piyama di depan Abang pempek. Semua terjadi karena ulah Sahabatku.Â
***