Seperti tahu aku hendak memuji dagangannya, "Enak, Bang." Begitu menjawab abang Pempek tersenyum puas.Â
"Kalau enak tiap hari beli ya, Neng."
Aku tertawa, "Boleh, kalau Abang kasih gratisan, ya. Pasti Neng sering datang kemari." Candaku membuat si Abang lekas menjawab.
"Neng, ada nomor yang bisa dihubungi."
Aku mendelik. Baru kali ini ada pedagang keliling berani meminta nomor ponselku. Mau buat apa? Jangan-jangan.Â
"Kalau ada nomor, Neng. Kan, Neng tinggal bilang mau empek-empek. Nanti, Abang anterin ke rumah."
Waduh, berat. Ternyata candaku dikata serius. Aku tersenyum. Lekas membayar.Â
"Nomornya, Neng. Mana?"Â
"Eh, anu, Bang. Nggak usah repot-repot. Saya tadi cuma bercanda."
"Abang maunya serius loh, Neng. Ini, buat yang  di rumah."
Mau tidak mau, aku mengambil bungkusan itu. Pamit, pulang sama si Abang Pempek. Langkahku seakan dipercepat. Melihat si Abang terus memperhatikanku dari sana. Aku malu sama orang-orang, mereka akan mengira aku pacar si Abang Pempek.