...
Setibanya di depan gerbang rumah Niken, aku turun dari jok motor. Niken keluar menyambut kedatanganku.
"Maaf, Rin. Aku nggak bisa nganterin kamu karena ada urusan mendadak."
"Kamu memang selalu menomorduakan aku, Ken. Urusan lain memang lebih penting ketimbang pergi bersamaku, begitu 'kan!"
Niken mengacak rambutku. "Ih, bukan begitu sih, Rin. Udah ah, marahnya."
Aku menjelajahi rumah Niken, mencari kakaknya. Niken menarikku untuk duduk di sofa. Aku memberikan bungkusan plastik berisi empek-empek.
"Duh, sahabatku. Makasih yah," Niken membukanya, lalu, "Rin, ini nomor ponsel siapa?"
Aku terperangah melihat kertas coretan nomor ponsel itu. "Buang saja, itu nomor si Abang pempek."
"Cie-cie, Rin. Jangan-jangan Abangnya naksir lagi sama kamu. Apa ini cuma dikasih doang?"
Aku mengangguk. Niken semakin menggodaku.
"Kalau gitu biar aku yang simpan nomor abangnya."