Mohon tunggu...
Aksara Sulastri
Aksara Sulastri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance Writer Cerpenis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lewat aksara kutuliskan segenggam mimpi dalam doa untuk menggapai tangan-Mu, Tuhan. Aksarasulastri.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Antara Sahabat, Aku, dan Bakul Pempek

19 November 2022   02:03 Diperbarui: 23 November 2022   16:24 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari Tokopedia

Sudah dua hari yang lalu, Niken membuat janji, aku menunggunya dari pukul setengah lima sore di pinggir jalan. Waktu ku terbuang sia-sia. Ia tidak kunjung datang. Terpaksa aku pergi tanpa di temani siapapun.

Meskipun sempat menggerutu sepanjang jalan, memasuki Toko Buku-- keluar dengan membawa buah tangan. Buku ini akan ku hadiahkan saja untuk Kakaknya.  Bagaimana nanti reaksi Niken? Setelah melihat hal ini.

Sesampainya di Parkiran motor, aku tak sengaja membaca gerobak keliling: Pempek. Tak jauh dari tempatku berdiri.

"Bang, berhenti!" Dengan suara menekan aku berhasil menghentikan bakul empek-empek.

Aku segera melajukan motor, turun, dan berdiri di samping gerobak.

"Bang, beli pempeknya." 

Baca juga: Cerpen: Pintu

"Mau berapa porsi, Neng?" 

"Satu saja."

Aku memperhatikan di balik kaca gerobak, ada pempek isi daging, dan isi telor. Pempek itu baru saja diangkat dari penggorengan. Kemudian ada empat botol bekas sirup yang dijadikan tempat isi kuah pempek. Diletakkan paling pinggir di sebelah panci, kompor gas.

Bakul pempek tengah merajang mentimun hingga menjadi potongan yang tipis-tipis. Memotong pempek menjadi empat bagian.

Lalu, bertanya lagi kepadaku, "Mau dibungkus atau mau dimakan di sini, Neng."

"Em, terserah," jawabku singkat.

Bakul pempek tertawa mendengar jawabanku. Aku tak merisaukannya, lebih fokus membalas pesan Niken. "Aku sudah ke toko buku. Sekarang, aku lagi pesan pempek. Kamu mau, Ken?"

Aku menawari Niken empek-empek, namun tak ada balasan. Seseorang membuatku terperanjat, "Neng ini, mau makan sambil berdiri? Mendingan duduk sini."

Si bakul pempek menyodorkan piring, memberikan bangku plastik untuk kududuki. Ternyata aku belum sempat bilang mau makan di rumah, minta dibungkus. Terlambat. Akhirnya, kunikmati saja.

Pada suapan pertama, rasanya betul-betul menggoda lidah. Padahal pempek isi telor, kulit tepung empek-empek seperti ada daging ikannya. 

Kenyal sekali. Kuahnya lumayan pedas, ada sedikit rasa manis, asam cuka. Rasanya nikmat sekali. Ah, aku ingin segera melahap semuanya. Sayang, harus menjaga image. Ini bukan sedang di rumah. Banyak pejalan kaki yang lewat.

Aku bertanya, "Bang, orang mana sih?"

"Palembang."

"Jauh ya, Bang. Sejak kapan jualan di sini?"

"Gimana rasanya, Neng?" Abang ini bukannya menjawab pertanyaanku, ia balik bertanya.

Seperti tahu aku hendak memuji dagangannya, "Enak, Bang." Begitu menjawab abang Pempek tersenyum puas. 

"Kalau enak tiap hari beli ya, Neng."

Aku tertawa, "Boleh, kalau Abang kasih gratisan, ya. Pasti Neng sering datang kemari." Candaku membuat si Abang lekas menjawab.

"Neng, ada nomor yang bisa dihubungi."

Aku mendelik. Baru kali ini ada pedagang keliling berani meminta nomor ponselku. Mau buat apa? Jangan-jangan. 

"Kalau ada nomor, Neng. Kan, Neng tinggal bilang mau empek-empek. Nanti, Abang anterin ke rumah."

Waduh, berat. Ternyata candaku dikata serius. Aku tersenyum. Lekas membayar. 

"Nomornya, Neng. Mana?" 

"Eh, anu, Bang. Nggak usah repot-repot. Saya tadi cuma bercanda."

"Abang maunya serius loh, Neng. Ini, buat yang  di rumah."

Mau tidak mau, aku mengambil bungkusan itu. Pamit, pulang sama si Abang Pempek. Langkahku seakan dipercepat. Melihat si Abang terus memperhatikanku dari sana. Aku malu sama orang-orang, mereka akan mengira aku pacar si Abang Pempek.

...

Setibanya di depan gerbang rumah Niken, aku turun dari jok motor. Niken keluar menyambut kedatanganku.

"Maaf, Rin. Aku nggak bisa nganterin kamu karena ada urusan mendadak."

"Kamu memang selalu menomorduakan aku, Ken. Urusan lain memang lebih penting ketimbang pergi bersamaku, begitu 'kan!"

Niken mengacak rambutku. "Ih, bukan begitu sih, Rin. Udah ah, marahnya."

Aku menjelajahi rumah Niken, mencari kakaknya. Niken menarikku untuk duduk di sofa. Aku memberikan bungkusan plastik berisi empek-empek.

"Duh, sahabatku. Makasih yah," Niken membukanya, lalu, "Rin, ini nomor ponsel siapa?"

Aku terperangah melihat kertas coretan nomor ponsel itu. "Buang saja, itu nomor si Abang pempek."

"Cie-cie, Rin. Jangan-jangan Abangnya naksir lagi sama kamu. Apa ini cuma dikasih doang?"

Aku mengangguk. Niken semakin menggodaku.

"Kalau gitu biar aku yang simpan nomor abangnya."

"Mau buat apa, Ken? Jangan macem-macem!"

Aku melihat sahabatku menyimpan nomor itu sambil tersenyum. Kemudian, tengah mengetik pesan. Entah, pesan apa itu? Aku juga penasaran. 

Niken mulai mengambil bungkus pempek. Saat mengunyah suapan pertama pempek. Niken dengan antusias berkata, "Sumpah, Rin. Ini empek-empek rasanya. Beh, nikmat banget nih. Kalau perlu, aku pesan tiap hari sama abangnya. Mumpung ada nomornya."

Sepertinya aku ikut terpengaruh. Bener juga kata Niken. Akhirnya, aku pun mau menyimpan nomor abangnya. 

"Katanya nggak penting, uhuukk. Sekarang, mau disimpen. Suka sama empek-empeknya, atau sama Abangnya, Rin." Aku cuma bisa tertawa renyah.

...

Selepas salat isya, tiba-tiba ada yang mengetuk rumahku. Sebelum membuka pintu. Aku mengintip dulu dari celah jendela. "Astaufirallahalazim," ucapku lirih. Aku tidak menyangka si Abang pempek sudah berdiri di sana. 

Aku segera membalas salamnya, "Walaikumsalam, Abang kok tahu alamat Rina."

"Maaf, Neng. Abang mengganggu Neng malam-malam. Kata sahabat, Neng Rina. Neng, mau makan empek-empek sekarang. Jadi, Abang langsung bawain. Inih, dimakan." mata kami bertemu, aku segera membuang muka.

Aku cuma bisa menggigit bibir, menahan marah pun malu karena mengenakan piyama di depan Abang pempek. Semua terjadi karena ulah Sahabatku. 

***

Pemalang, 19 Nopember 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun