Mengapa dari dahulu selalu seperti ini? Keti berharap namanya bisa berubah. Ia benci dengan namanya sendiri.
Dadanya sesak marah yang kian memuncak, matanya mulai redup seperti langit yang akan turun hujan.
Untuk pertama kalinya Keti ingin tahu mengapa sang Ibu memberikan nama Suketi tanpa ada nama di belakangnya-- misal Suketi Rianti, Suketi Wicaksana atau Suketi Cahya. Pasti akan sangat menarik. Dan, ada panggilan lain selain Suketi atau Keti.
Ia sampai membandingkan namanya dengan sang kakak. Kakaknya bernama Akira Mekarsari. Dipanggil Kira bisa, Mekar atau Sari. Sang ibu sungguh tak adil. Keti buru-buru mencari sang Ibu.
"Bu, Ibu!"
Mak Yah tengah merebus air, dengan tungku yang dibuat sendiri dengan kedua batu bata yang berjejer dalam jarak sepuluh senti. Cara menyalakan apinya dengan plastik bukan menggunakan kayu karena sang Ibu tak mampu membeli kayu mau tidak mau memakai seadanya yang bisa dijadikan bahan pengganti nyala api.
"Ibu lagi di belakang, Ti."
"Bu, Keti benci sama Ibu. Kenapa sih namaku jelek sekali Bu? Ibu nggak adil, nama kakak aja bagus. Kenapa aku tidak Bu? Gara-gara namaku jelek aku sering diejek sama temen," cerca Keti dengan suara menggertak.
"Namamu bagus Ti, suatu saat kau akan mengerti dengan rahasia namamu itu."
"Aku ingin tahu sekarang, Bu. Jangan nanti-nanti. Alasannya apa, Bu. Sampai memberi nama Suketi padaku." Sang Ibu menundukkan kepala menyembunyikan kesedihan di balik bola matanya.Â
Keti masih menunggu jawaban dari ibunya. Tetapi tak ada suara apapun yang ia dengar. Hanya suara air yang akan mendidih, terdengar nging-nging di telinganya. Hembusan nafas panjang Keti bersama suara detak jantungnya kini yang semakin gemuruh mendengar kenyataan pahit.