Part 11.Â
Anak dari Keluarga Broken Home
'Suketi tetaplah Suketi. Anak dari Keluarga Broken home yang tak mengenal patah semangat.'
---
Hari Minggu Keti dan Mila mengunjungi perpustakaan umum dekat alun-alun Kota-- letaknya berdekatan dengan gedung pelatihan Bulu Tangkis. Mila menyandarkan sepeda motornya kemudian memasuki ruangan perpustakaan.
Mereka berhenti di dekat pintu masuk lalu mengisi daftar pengunjung. Keti lebih dulu berjalan ke sudut ruangan di rak yang paling belakang.Â
Di Perpustakaan ini koleksi buku fiksi begitu lengkap dan tertata rapi di raknya masing-masing.
"Mil, kamu mau sekalian pinjam nggak. Mau ku rekomendasi novel yang menarik."
"Nggak usah Ti, lagi malas baca. Lagian niat ke sini itu cuma mau nganterin kamu aja."
"Ya udah."
Sekejap melirik Mila yang tengah duduk mengamati setiap pengunjung. Mila tampak sedikit bingung karena baru sekali mengunjungi Perpustakaan umum. Bola matanya menatap ke sekeliling ruangan.Â
Keti kembali tertuju pada deretan Novel yang ingin ia pinjam. Di atas rak sudah tertera nama kategorinya. Misalkan saja kumpulan beberapa buku fiksi maka akan tertulis FIKSI. Jika tertulis 'AGAMA' tentu semua bukunya hanya terdapat pelajaran tentang agama seperti mempelajari Adap Kesopanan. Itu semua bertujuan untuk memudahkan bagi para pengunjung saat mencari buku yang akan dibacanya.
Sebuah novel berjudul 'Mimi Elektrik' menarik perhatian Suketi, cover depan buku terdapat remaja berseragam, dengan mengenakan kacamata lalu membawa setumpuk buku-- penulisnya bernama Zahra Zehra. Novel itulah yang Keti akan bawa pulang.
Mila dan Suketi beranjak dari sana, di perjalanan Mila mengajak Keti mampir ke rumahnya. Keti setuju akan tetapi dengan syarat pulang terlebih dahulu untuk berganti pakaian.
**
Dinding rumah berwarna putih, pinggiran jendela berwarna merah darah pekat itu adalah rumah Mila. Dalam bayangan Keti Rumah Mila sangatlah besar sebab dari penampilannya seperti orang kaya. Ternyata dugaan Keti salah, rumahnya begitu sangat sederhana.Â
Mila tinggal bersama Tante dan Om-nya. Awalnya Keti ingin bertanya padanya, mengapa dia tidak tinggal saja di Bandung bersama orang tuanya? Niat itu Keti urungkan karena Keti baru mengenal Mila beberapa bulan saja. Takut pertanyaan itu justru menyinggung perasaannya.
Eca teman sekelas mereka datang memakai sepeda mini lalu berkumpul bersama Keti dan Mila.
Gadis itu jika tengah mengenakan pakaian biasa, selain seragam sekolah tubuhnya tampak seksi. Eca bisa dikatakan berbadan gempal dan berisi. Ia juga suka mengenakan pakaian yang begitu ketat untuk menarik perhatian orang lain.
Pria memang senang memandangi tubuh seksinya akan tetapi jika seorang gadis remaja yang masih Sekolah melihat kawannya berpakaian seperti itu penilaian Keti sangatlah risi.
"Ti, rambutmu digerai saja kan cantik," ujar Mila.
Keti menolak Mila mulai mengacak-ngacak rambutnya dan menyisir kembali menjadi rapi.Â
Keti tertawa dan membiarkan kawannya bermain-main dengan rambut panjangnya. Mencatok hingga lurus. Keti mulai melihat cermin, tampilannya berbeda. Benar kata Mila, wajah Keti berubah menjadi cantik. Eca menatap Keti, dia ternganga memandang wajah Suketi.
"Mil, Keti cantik yah tetapi sayang dia nggak bisa dandan," celetuk Eca.
"Hemm, Keti sisa rambutmu masih banyak kalau lagi diiket. Kau tahu Ti, kata orang biasanya banyak yang suka," puji Mila serius.
Mendengar itu Keti tersipu malu, "masa sih Mil."
Deru motor terdengar merdu di telinga, tiga remaja putra berboncengan dalam satu motor dan berhenti di depan rumah Mila.Â
Mereka keluar untuk melihat siapa yang datang. Ada Deva, Yogi dan Sapto. Keti sangat malu karena mereka tiba-tiba muncul. Membuat Keti ingin beranjak pulang dan lekas bersembunyi di balik lemari. Sial, sudah lebih dulu ketahuan Sapto.
"Eh, ada Suketi."Â
Tawa Sapto saat menyebut namanya membuat Suketi semakin malu dan kesal.
"Aku mau pulang Mil."
"Loh, kenapa Ti? Duh, motorku dipakai Tante. Aku nggak bisa nganterin kamu."
"Ya sudah aku pulang jalan kaki saja," ujar Keti dengan nada ketus.
"Aku aja yang nganterin kamu balik, Ket." Deva tiba-tiba memberikan tawaran.
"Nggak usah, makasih."
Mereka semua paham jika Keti sedang marah. Deva hanya beralasan saja untuk mengantar. Gadis itu berpikir Deva hanya pura-pura kasihan. Padahal dalam hatinya, Keti yakin dia menolak.
"Rumahmu jaraknya jauh loh Ti," Mila pun merangkul Keti, membujuknya agar dia mau diantarkan oleh Deva. Keti pun pasrah lalu menuruti kemauan Mila.Â
.....
Baru pertama kali Keti berboncengan dengan seorang laki-laki. Sepanjang jalan Deva hanya diam, sekali bicara hanya ucapan maaf yang keluar dari mulutnya. Perasaan marah mulai reda ketika angin menyapa rambutnya yang terurai sepanjang dada.
Motor berhenti di depan rumahnya, "Ti, sebenarnya aku tak ingin ikut menertawakanmu. tetapi sungguh namamu sangat lucu. Ibumu dulu ngidam apa waktu melahirkanmu kok dikasih nama Suketi."
"Aku kira kau tak akan mengejek namaku lagi, ternyata_"
"Maaf, cuma bercanda gitu aja kok sewot. Nanti cantiknya hilang tahu." Sergah Deva.
Dimata Keti Deva sama saja dengan teman laki-laki yang selalu mengejeknya, Keti menutup telinga dan masuk ke dalam rumah meninggalkan Deva yang termangu sendirian. Pintu rumah Keti lekas ditutup sampai mengeluarkan bunyi yang sangat keras.
Mengapa dari dahulu selalu seperti ini? Keti berharap namanya bisa berubah. Ia benci dengan namanya sendiri.
Dadanya sesak marah yang kian memuncak, matanya mulai redup seperti langit yang akan turun hujan.
Untuk pertama kalinya Keti ingin tahu mengapa sang Ibu memberikan nama Suketi tanpa ada nama di belakangnya-- misal Suketi Rianti, Suketi Wicaksana atau Suketi Cahya. Pasti akan sangat menarik. Dan, ada panggilan lain selain Suketi atau Keti.
Ia sampai membandingkan namanya dengan sang kakak. Kakaknya bernama Akira Mekarsari. Dipanggil Kira bisa, Mekar atau Sari. Sang ibu sungguh tak adil. Keti buru-buru mencari sang Ibu.
"Bu, Ibu!"
Mak Yah tengah merebus air, dengan tungku yang dibuat sendiri dengan kedua batu bata yang berjejer dalam jarak sepuluh senti. Cara menyalakan apinya dengan plastik bukan menggunakan kayu karena sang Ibu tak mampu membeli kayu mau tidak mau memakai seadanya yang bisa dijadikan bahan pengganti nyala api.
"Ibu lagi di belakang, Ti."
"Bu, Keti benci sama Ibu. Kenapa sih namaku jelek sekali Bu? Ibu nggak adil, nama kakak aja bagus. Kenapa aku tidak Bu? Gara-gara namaku jelek aku sering diejek sama temen," cerca Keti dengan suara menggertak.
"Namamu bagus Ti, suatu saat kau akan mengerti dengan rahasia namamu itu."
"Aku ingin tahu sekarang, Bu. Jangan nanti-nanti. Alasannya apa, Bu. Sampai memberi nama Suketi padaku." Sang Ibu menundukkan kepala menyembunyikan kesedihan di balik bola matanya.Â
Keti masih menunggu jawaban dari ibunya. Tetapi tak ada suara apapun yang ia dengar. Hanya suara air yang akan mendidih, terdengar nging-nging di telinganya. Hembusan nafas panjang Keti bersama suara detak jantungnya kini yang semakin gemuruh mendengar kenyataan pahit.
Mengalahkan keheningan di antara sang Ibu dan anak. Mereka tenggelam dalam pemikiran masing-masing.
"Keti itu adalah nama pemberian bapakmu. Bapakmu sangat sayang padamu Keti. Dia memberi nama Suketi karena teringat adik kesayangannya yang sudah meninggal. Keluarga bapakmu semuanya diawali dengan huruf Su-. Bapakmu bernama Sutejo, Padhe kamu Suratmo, kedua Bulekmu Surati dan yang paling bontot itu almarhum Suketi," hening sesaat.
Air mata Suketi pun tumpah sebab tak mampu lagi dia bendung. Kemudian sang Ibu mulai melanjutkan ceritanya lagi.
"Keluarga Bapakmu di sana itu punya marga Su- zaman dahulu tertulis dengan Soe-, nama itu menjadi penyemangat. Seperti presiden pertama Indonesia yang bernama Soekarno tetapi kalau sekarang pasti ditulis Sukarno. Soekarno itu punya semangat yang tinggi. Ibu berharap kamu juga punya semangat hidup yang tinggi, Ti."
Mendengar kenyataan itu, Suketi terharu pun terluka karena rahasia tentang namanya yang tak terelakkan. Bahwa Suketi tak boleh menanam kebencian kepada sang Bapak. Yang sekarang tak pernah bertanggungjawab. Suketi tetaplah Suketi. Anak dari Keluarga Broken home.
Dia adalah gadis remaja yang tak pernah patah semangat. Hingga duri yang tajam sekalipun bisa dipatahkan sebelum mulai masuk ke dalam akar yang lebih dalam.
***
Pemalang, 30 Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H