Kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak atau siswa di Indonesia yang terus terulang saat ini adalah sebuah masalah yang mendalam dan meresahkan.Â
Terlepas dari perbedaan pandangan, ternyata sebenarnya bahwa negara ini tengah menghadapi darurat kekerasan di kalangan anak-anak adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diabaikan.Â
Silih-berganti, ada saja berita-berita mengenai insiden kekerasan yang melibatkan pelajar, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.Â
Rasanya tak terbayangkan betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh para guru dan pendidik, yang saat ini terus mencari solusi untuk mengakhiri "lingkaran setan" kekerasan oleh siswa ini.
Secara sekilas mungkin saja ada anggapan bahwa sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia tidak memiliki andil dalam munculnya perilaku kekerasan ini.Â
Jelas, para guru telah berjuang keras dalam membentuk karakter, akhlak, dan moralitas siswa dalam lingkup proses pembelajaran ilmu pengetahuan di kelas.Â
Karena yang harus kita semua ingat, bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan kepribadian akhlak mulia atau disebut dengan pendidikan karakter.
Dalam menghadapi darurat kekerasan anak/siswa ini, dibutuhkan tindakan konkret dan terkoordinasi. Pendidikan baik formal maupun informal harus menjadi fondasi untuk membentuk karakter dan moralitas pada anak-anak.Â
Saat ini, kita harus bersama-sama mengevaluasi sistem pendidikan dan mendalaminya lebih dalam lagi. Kita perlu mempertimbangkan bagaimana kita dapat memperkuat pendidikan karakter dalam kurikulum serta melibatkan lebih banyak peran orang tua dalam mendukung perkembangan anak-anak.Â
Darurat kekerasan ini tidak boleh diabaikan. Karena hal itu adalah alarm kepada kita semua untuk bersama-sama menciptakan masa depan yang lebih baik untuk generasi yang akan datang.
Kita tidak boleh melupakan peran berbagai faktor eksternal yang menjadi katalisator dalam munculnya perilaku kekerasan dan bullying di kalangan generasi muda.Â
Di era digital, era media sosial, era teknologi dan arus informasi yang begitu cepat, serta di era disrupsi dalam pola pergaulan anak-anak kita menghadapi tantangan begitu kompleks.
Pengaruh media sosial dan potensi paparan konten yang mungkin tidak sesuai untuk usia anak-anak ini dapat mempengaruhi perilaku, termasuk kemungkinan keterlibatan dalam tindakan kekerasan.Â
Pola pergaulan dan interaksi dalam masyarakat juga berperan besar dalam memicu tindakan kekerasan. Adanya tuntutan atau tekanan dari lingkungan sekitar, serta pengaruh teman sebaya dapat mendorong anak-anak untuk mengambil tindakan yang mungkin tanpa disadari akan membuat mereka menyesal di kemudian hari.Â
Dalam menghadapi tantangan ini, langkah-langkah preventif dan edukatif menjadi kunci. Masyarakat perlu berkolaborasi dalam membentuk lingkungan yang mendukung dan memotivasi anak-anak untuk tumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab dan berempati.Â
Apakah orangtua sudah sepenuhnya menjadi support system pembebasan tindakan kekerasan oleh siswa?
Kolaborasi dan sinergitas antara guru/sekolah dengan orangtua/keluarga adalah landasan utama dalam membentuk karakter anak-anak yang bebas dari kekerasan.Â
Kedua pihak ini seharusnya memiliki visi dan misi yang sejalan dalam upaya mewujudkan generasi muda yang berkualitas, berintegritas, dan tahan terhadap godaan perilaku kekerasan.Â
Di luar sana, masih ada tantangan besar yaitu kesadaran yang belum merata di kalangan orangtua mengenai peran mereka dalam pendidikan karakter anak. Terkadang tanpa disadari ternyata sikap orangtua yang kurang pemahaman dapat merangsang perilaku kekerasan oleh siswa.
Salah satu masalah utama adalah ketidakpahaman mengenai konsep "support system" dalam pendidikan karakter.Â
Beberapa orangtua mungkin masih memandang pendidikan sebagai tugas eksklusif sekolah, tanpa menyadari bahwa mereka juga berperan penting sebagai pilar pendukung dalam proses ini.Â
Ketika orangtua dan sekolah memiliki pemahaman yang berbeda atau tidak sinkron mengenai peran mereka, maka bisa menimbulkan kebingungan pada anak-anak yang akhirnya dapat mempengaruhi perilaku mereka.
Komunikasi terbuka dan kerjasama antara sekolah dan orangtua perlu ditingkatkan, sehingga dapat bekerja bersama-sama dalam membentuk generasi yang bebas dari kekerasan.Â
Hanya dengan kolaborasi yang kuat dan kesadaran yang mendalam dari orangtua maka kita dapat mengatasi masalah kekerasan oleh siswa di masa depan.
Tindakan orangtua yang dapat menumbuhkan benih kekerasan dalam diri anak
Salah satu penyebab yang menjadi akar permasalahan adalah ketidakseimbangan antara pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal yang diterima di lingkungan keluarga.Â
Khususnya orangtua dan keluarga memiliki peran kunci dalam membentuk karakter anak. Dan kurangnya perhatian terhadap aspek pendidikan non-akademis di rumah dapat menyebabkan kekosongan moral dalam diri anak yang berujung pada tindakan kekerasan.
Berdasarkan pengalaman saya dalam menghadapi siswa bermasalah terkait kekerasan ini, ada beberapa hal dalam respon orangtua yang sekiranya tidak sejalan dengan upaya pembinaan. Sehingga siswa bermasalah tersebut semakin menjadi-jadi.
1. Stop orangtua selalu membela anak meski berbuat salah
Fenomena yang sering kali kita saksikan adalah perilaku orangtua yang cenderung selalu membela anak-anak mereka, bahkan ketika anak-anak tersebut telah melakukan kesalahan atau bahkan melalukan kekerasan pada temannya.Â
Terlepas dari niat baik untuk melindungi anak, sikap ini seringkali dapat menginsyaratkan bahwa orangtua selalu menganggap anak mereka tak pernah salah. Padahal, dalam menghadapi kesalahan anak, berhati-hati dan memberikan arahan yang tepat adalah langkah yang sangat penting.
Ketika orangtua secara tegas membela anak yang telah bersalah, itu sebenarnya dapat mempengaruhi anak untuk tidak bertanggung jawab atas tindakannya. Ini dapat menciptakan pemahaman yang salah pada anak tentang hak dan kewajiban, serta mengajarkan mereka untuk tidak menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka.Â
Ketidakpedulian orangtua terhadap tindakan salah anak, baik di dunia nyata maupun online, bisa berdampak serius pada perkembangan anak.Â
Terutama dalam era digital, di mana anak-anak memiliki akses tak terbatas ke berbagai informasi, orangtua harus menjadi bijak dengan tidak semua harus dibela mati-matian.Â
Seharusnya ketika orangtua merasa bahwa anak telah melakukan kesalahan, penting untuk menghadapinya dengan pendekatan yang penuh kepedulian dalam upaya mendidik, bukan dengan membela mereka secara buta.
Ketika orangtua terlalu sering membela anak tanpa alasan yang jelas, kita sebenarnya mungkin sedang menciptakan sosok "monster" dalam diri anak.Â
Oleh karena itu, sebagai orangtua, mari bersikap bijak dalam mendidik anak-anak dengan memberikan arahan yang benar, dan membimbing mereka menuju perilaku yang positif bebas kekerasan.
2. Orangtua menentang guru/sekolah dalam proses pembinaan siswa
Mungkin terdengar sulit dipercaya, namun kenyataannya ada orangtua yang terlibat konflik dengan guru atau sekolah ketika anak mereka ketahuan melakukan kesalahan.Â
Kita lihat saja contohnya pada kasus orangtua yang mengketapel mata guru hingga menyebabkan kerusakan fatal atau buta, berita yang beberapa waktu yang lalu viral.
Perlu diingat bahwa seluruh guru dan sekolah memiliki niat baik dalam mendidik dan membina anak-anak dan selalu berupaya keras untuk melakukannya.
Dalam era teknologi pendidikan seperti saat ini, pembinaan bukan hanya tentang pengetahuan akademis, tetapi juga membentuk karakter misalnya lewat literasi digital-etika digital-tanggung jawab digital.Â
Guru dan sekolah saat ini berusaha mengintegrasikan aspek-aspek ini ke dalam kurikulum, seperti mengajarkan penggunaan yang bijak dalam media sosial.Â
Namun, terkadang orangtua bisa zkesulitan dalam menerima kritik atau saran dari pihak sekolah.
Kasus yang sangat ekstrem berupa kekerasan fisik terhadap guru adalah peringatan keras bahwa kita perlu mendekati permasalahan ini dengan pemahaman akan kompleksitasnya.Â
Orangtua memiliki hak untuk berperan aktif dalam pendidikan anak mereka, tetapi harus dilakukan dalam perspektif yang menghormati peran guru dan sekolah.Â
Kolaborasi antara guru, orangtua, dan sekolah adalah kunci dalam menciptakan lingkungan yang mendukung dan aman bagi anak-anak, di mana mereka bisa tumbuh tanpa terpengaruh oleh kekerasan.
3. Orangtua yang bersikap "kekanak-kanakan" dalam membina anak
Satu lagi, bahwa ada juga loh ternyata orangtua yang suka bertindak layaknya seperti kekanak-kanakan. Terutama ketika anak mereka terlibat dalam perilaku kekerasan.Â
Sikap ini mencerminkan bahwa orangtua mungkin belum sepenuhnya mampu menunjukkan kematangan dalam menghadapi permasalahan tersebut.Â
Sejatinya peran model (role model) yang dimainkan oleh orangtua sangat krusial dalam membentuk karakter anak-anak. dan tindakan serta sikap orangtua seringkali menjadi contoh yang paling dominan dalam mempengaruhi sifat dan kepribadian anak.
Anak-anak sering kali meniru perilaku yang mereka lihat di rumah. Oleh karena itu, orangtua harus berperan sebagai contoh positif dalam berinteraksi dengan orang lain, terutama kepada guru dan sekolah.Â
Ketika orangtua menunjukkan cara menyelesaikan konflik dengan bijak dan tanpa kekanak-kanakan, mereka memberikan contoh yang baik kepada anak-anak tentang bagaimana menghadapi masalah dengan cara yang semestinya.
Dalam konteks pendidikan karakter dan pencegahan kekerasan oleh siswa, orangtua memegang peranan penting dalam membentuk pola perilaku yang sehat pada anak-anak.Â
Orangtua harus mengajarkan anak-anak bagaimana mengontrol emosi, menyelesaikan konflik dengan cara yang positif, bertanggung jawab dan empati.Â
Orangtua yang mampu menunjukkan sikap dewasa dan bertanggung jawab dalam menghadapi masalah juga memberikan pesan penting kepada anak-anak bahwa kekerasan bukanlah cara yang benar untuk menyelesaikan masalah.
Wasana Kata
Ketika kita menyadari bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab bersama antara sekolah dan orangtua, kita dapat menciptakan lingkungan yang memungkinkan anak-anak terbebas dari kekerasan dan bullying.
Sebaliknya, kita sedang berusaha membentuk generasi yang berkembang menjadi individu yang bertanggung jawab dan berempati.Â
Oleh karena itu, mari bersama-sama berkomunikasi dengan baik, mendengarkan, dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam mendidik anak-anak kita.
Dalam mendidik anak/siswa, mari kita selalu ingat bahwa kita adalah panutan utama bagi mereka generasi penerus bangsa yang bermoral.Â
Dengan menjadi contoh yang baik, kita membantu membentuk generasi yang mampu mengontrol diri, berperilaku dengan baik, dan terbebas dari perilaku kekerasan atau bullying.Â
Dengan demikian, kita akan memberikan warisan berharga kepada generasi masa depan yang lebih baik.
Kepada Allah SWT, mari kita bermohon diberikan oleh-Nya petunjuk dalam mendidik dan membina anak bagi para orangtua, terutama bagi kami para pendidik. Insya Allah..
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI