Mohon tunggu...
Aisyatul Fitriyah
Aisyatul Fitriyah Mohon Tunggu... -

mahasiswa ulul albab,berjiwa pancasila

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari 'Cha' untuk 'Nji'

7 November 2016   13:47 Diperbarui: 7 November 2016   13:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

By: Ai Cha AF

Sekarang saatnya membentangkan sayap dan terbang setinggi tingginya. Hari yang dinantikan sudah tiba. Ya hari ini aku akan kembali turun lapangan setelah hampir setahun vakum tidak berkompetisi karena persiapan mengikuti Ujian Nasional di sekolah. Aku hidup di tahun 2036, bukan tahun 2016 yang mana kebijakan pemerintah khususnya bidang olahraga telah direvisi. Bagi atlet cabang olahraga apapun untuk usia dibawah 20 tahun dan masa menempuh pendidikan tidak diperkenankan mengikuti kompetisi olahraga menjelang persiapan Ujian Nasional. Dan pasti berbeda dengan zaman orangtuaku dahulu. Pada zaman mereka bahkan h-8 tanggal pernikahan ibu dan ayah mereka masih berkompetisi mengikuti kejuaraan Nasional mewakili provinsi. Oragtuaku tak segan melanggar tradisi “wong Jowo” mereka tidak menjalani prosesi pingitan sebelum menikah. Aku dilahirkan dan besar dilingkungan kelurga atlet lari. Ayah dan ibu seorang pelari professional yang disegani di masanya.

Tak lama lagi pertandingan akan dimulai peserta yang akan berkompetisi dipersilakan memasuki Stadion dan mempersiapkan posisi. Teman teman sesama atlet dari Club juga hadir memberiku support beserta coachHeru kordintor Club kami. Sebelum berkompetisi aku tidak banyak bicara dan mengontrol perasaan gugup dengan diam sambil membaca buku. Kulihat dia melangkah mendekat. Langkah Pandu semakin dekat membawa senyum yang menghantar energi positif untukku. Kami bergabung di Club yang sama, tetapi kali ini dia tidak ikut berkompetisi. Pandu juga atlet lari, entahlah apa mungkin sejarah orangtuaku akan kembali terulang padaku?

      “Sudah siap Cha?”

Aku mengangguk…

      “Lakukan yang terbaik, aku akan menunggu di garis finish…”

      Kami sangat kompak dan saling mendukung dalam urusan kompetisi. Ketika Pandu yang berkompetisi aku akan menunggunya di garis finish seperti yang dia janjkan padaku kali ini. Kemudian aku melanjutkan langkah memasuki Stadion ku amati arena lari yang panjang. Untuk pertama kalinya aku akan berlari sejauh 5000m, biasanya hanya berjarak sejauh 3000m.

      “Panchaaa.., semangaatt !!” suara ibu terdengar paling melengking dari Tribune mengalahkan teriakan riuh penonton yang lainnya. Ayah juga hadir diantara ribuan penonton yang memenuhi Tribune. Setiap ada pertandingan olahraga seperti ini warga kota Malang selalu antusias memberi dukungan seperti ketika pertandingan Arema yang selalu penuh dan riuh tak ada matinya.

      Aku mengambil posisi dan menyiapkan diri berdoa seperti yang diajarkan orangtuaku. Menatap ke depan mengumpulkan semagat menunggu petugas memberikan aba aba. Pada tiupan peluit panjang dari petuagas aku memulai langkah berlari. Untuk 5000m dan Pandu yang menunggu di garis finish, aku akan menjadi orang pertama yang menyentuh garis finish. Teriakan riuh dari penonton yang mendukung atlet jagoannya adalah pemompa semangat untuk menjadi yang terdepan menyentuh garis finish. Tak terasa aku berlari sudah mencapai separuh dari jarak yang dituju dan…, aku berada di posisi paling depan. Namun…

      Pada jarak 4000m aku mulai gelisah persendian kakiku terasa nyeri, meskipun semangat dan tenagaku masih penuh. Aku berusaha tetap berkonsentrasi. Situasi yang tak terencana seperti ini sering sekali terjadi dalam pertandingan. Seorang atlet yang profesional harus terlatih memiliki kontrol emosi yang tetap stabil dalam menghadapinya. Semakin jauh berlari rasa nyeri di telapak kaki semakin terasa. Aku mengendalikan diri berusaha tetap bertahan atas sebuah pilihan, sampai di garis finish sebagai pemenang atau kembali. Dan aku sudah memulai kompetisi ini jadi dirikulah yang harus menyelesaikan. Langkahku mulai tak seimbang, kontrol psikologisku juga mulai lengah. Akhirnya pada langkah berikutnya aku kehilangan kontrol salah menapakkan kaki kemudian terpelanting dan tersungkur jauh ke depan.

      Seketika kehidupan di dunia seperti berhenti. Hening. Teriakan dari penonton tak terdengar lagi. Langit perlahan terlihat kabur dan abu abu. Sebelum semua pandanganku terlihat gelap, teriakan melengking ibu mengawali teriakan gemuruh penonton yang lainnya. “Paanchaaaaa...” Disusul kemudian teriakan ayahku dan teriakan histeris ribuan penonton yang lain dari       Tribune.

      Pertandingan tetap berlanjut atlet yang lain meneruskan langkah menuju garis finish. Paramedis cekatan memberi pertolongan pertama padaku. Kesadaranku melemah dan entahlah apa yang terjadi dengan kakiku atas kecelakaan yang barusan terjadi.

# # #

      Kata ibu aku tidur pulas selama tiga minggu istilah medisnya, dalam kondisi koma. Setelah kecelakaan di Stadion kala itu kupikir hidupku telah sampai pada TITIK kehidupan yang membuatku terhenti menjadi makhluk-Nya di bumi. Ternyata hanya profesiku sebagai atlet lari yang diberhentikan oleh Tuhan, dan nyawaku hanya sebatas KOMA alias tidur ‘nyenyak’ selama tiga minggu. Ketika aku terpental jauh dan kemudian tersungkur kepalaku juga terbentur keras jatuh ke tanah yang menyebabkan aku koma. Bagaimana dengan kakiku?

Kabarnya sangat burukk !!

      Dokter mendiagnosa kakiku mengalami cedera fractures yang disebabkan karena tekanan yang berlebihan pada kaki bagian bawah yang mengalami shin splints. Rupanya rasa nyeri pada telapak kaki yang aku rasakan ketika berlari adalah gejala bahwa kakiku mengalami shin splints atau cedera pada kaki bagian bawah yang sering dialami oleh para atlet, salah satunya pelari. Karena aku tetap memaksakan diri untuk terus melanjutkan berlari, maka cedera di kakiku semakin mengalami tekanan yang membuat langkahku hilang keseimbangan dan salah menapakkan kaki kemudian terpental jauh. Akibat benturan benturan keras berikutnya menyebabkan cedera fractures yang lebih parah.

      Aku mencerna penjelasan dari dokter berulang ulang. Mencoba memahaminya kata perkata. Mengejanya lagi barangkali ada kesalahan aku mendengarnya. Dan hasilnya tetap sama. Dokter menyarankan aku istirahat total selamanya. Langit seakan runtuh berguguran mengenai kepalaku. Angin berhenti bertiup. Takdir terlalu kejam  merenggut segalanya. Hidupku seumpama lentera yang diciptakan tanpa cahaya. Hampa dan membosankan menjalani setiap detik di ranjang Rumah Sakit dan menjalani terapi berjalan yang melelahkan. Seperti memulai hidup sebagai balita yang tertatih berjalan. Penerimaanku terhadap kenyataan lebih tertatih daripada langkah kakiku. Ada yang hilang dalam hidupku. Hilang semangat, hilang gairah untuk melanjutkan hidup ke depan, juga kehilangan cinta !!

      Bisikan Pandu di telingaku sebelum aku bertanding masih terngiang jelas dan tak mau pergi, “Lakukan yang terbaik, aku akan menunggu di garis finish…”. Kalimat itu terkadang terdengar lebih dahsyat dari bunyi alarm membangunkan tidurku yang tak lagi pulas. Kemana Pandu? Sejak aku membuka mata dari koma, sekalipun tak pernah lagi menampakkan wajahnya di hadapanku. Apakah dia benar benar menungguku di garis finish? Setelah melihatku terjatuh, masihkah dia tak beranjak dari sana? Apa kesetiannya telah tergadaikan dengan sesuatu yang lain? Hanya wartawan yang datang dan pergi silih berganti mengunjungi Rumah Sakit tempatku dirawat untuk mencari tahu keadaanku. Meskipun pihak Rumah Sakit sangat kooperatif menjaga keamanan dan kenyamanan pasiennya. Bahkan wartawan belum ada yang tahu kalau aku sudah pensiun dini sebagai atlet lari. Apakah Pandu tahu kabar ini? Tidakkah dia penasaran dengan kabarku? Tahukah Pandu bahwa kakiku pincang dan tidak mungkin bisa berlari?

      “Apakah Pandu pernah menjengukku ibu?” tanyaku pada ibu setelah menjalani terapi yang lebih menguras tenaga daripada berlari.

Ibu tersenyum dan berdalih dengan topik yang lain.

      “Lho kok yang ditanya cuma Pandu, sama ayah dan ibu tidak kangen? Kamu koma selama tiga minggu lho Cha dan ibu sangat rindu dengan manja manjamu…”

      Aku menghela nafas panjang dan menghempaskannya dengan kasar. Interpretasi dari jawaban ibu adalah Pandu tidak pernah datang menjengukku. Kenyataan baru yang harus aku terima, bahwa aku juga kehilangan kekasih. Lebih tepatnya aku juga kehilangan teman bermainku sedari masa kecil. Pandu, bukankah sebelum kita beranjak dewasa kita adalah teman masa kecil yang menyenangkan? Banyak kenangan tentang kamu dan masa kecil hingga masa dewasa yang terlalui bersama menumpuk dalam memoriku…

# # #

      Akhirnya aku diizinkan pulang setelah berbulan bulan lamanya dibui di Rumah Sakit yang membuat psikis dan pikiranku juga sakit. Kata ayah dan ibu, aku berganti menjadi sosok yang lain. Mereka tak lagi mengenali anaknya sebagai Pancha yang bersemangat, ambisius, optimis, dan ramah. Menurut mereka emosiku menjadi labil dan sensitif. Pemarah, pendiam, tak mau bersosial dengan siapaun. Karena sejak kembali ke rumah aku lebih nyaman mengurung diri di kamar berteman sepi. Tak ingin berinteraksi dengan siapapun kecuali orangtuaku. Aku tidak mau melanjutkan kuliah meskipun nilai hasil UN-ku sangat bagus dan bisa menembus universitas terbaik di negeri ini. Akan tetapi belajar sendiri dan berteman setia dengan membaca buku adalah hobi baruku.

      Rasa rindu akan sensasi teriakan riuh penonton di Stadion ketika aku berkompetisi adalah candu yang selalu menghantui setiap detik. Rindu ketika pulang membawa piala dan berkalung medali kini hanya sebatas kenangan. Juga rindu peluk dan cium ibu ketika meraih juara yang takkan pernah lagi aku nikamati. Episode demi episode dari rangkaian memori itu silih berganti tayang di benakku. Menjadi seorang atlet lari sebenarnya adalah ambisi ayah dan ibu. Bukan bakat bawaan atau warisan turunan dari keduanya. Akan tetapi sejak kecil aku dikenalkan dengan olahraga lari dan dilatih dengan disiplin oleh mereka.

      Suatu kali ayah ke kamar mengajakku bermain golf di halaman belakang, “Cha, mau bermain golf bersama ayah? Nanti ayah ajarkan aturan permainannya. Wahh.., Pancha anak gadis ayah pasti bisa jadi jagoan berolahraga golf !!” ucap ayah dengan berbinar binar seraya merayu.

      Kemudian ibu juga muncul dari balik pintu, “Atau berenang sama ibu Cha…?” senyum rayuan ibu tak kalah dahsyat.

      “Maaf ayah, ibu, Pancha tidak tertarik !!” jawabku singkat.

      Ada mendung di raut wajah ibu dan ayah. Mendung yang menahan air di kelopak mata ibu. Ibu sanggup menahannya demi tidak menangis di hadapanku. Bukan airmata kecewa karena ajakannya kutolak, tapi... ayah dan ibu mengerti luka di hatiku belum sembuh. Belum pulih seutuhnya dengan sempurna.

      “Cha, ibu sangat merindukan celotehmu yang manja. Ibu merindukanmu yang dulu, anak ibu yang keras kepala dan disiplin. Ibu tidak sanggup dengan kesunyianmu begini” airmata ibu pecah dan berjatuhan di pipinya. “Bagaimana cara ibu membantu mengobati luka hatimu, nak? Katakan pada ibu !!”

      “Luka hati adalah luka abadi, ibu. Tidak dapat disembuhkan…” ucapku mengiba dan menggeliat manja.

      Pancha, anak gadis ibu yang manja sudah kembali, “Pancha ingin pergi jauh ke suatu tempat yang tak dapat ditemukan dengan wartawan atau orang orang yang mengenalku. Aku lelah dikejar kejar dengan wartawan ibu. Aku trauma bertemu dengan mereka”

      “Pergi kemana, nak?” ayah menimpali.

      “Bisakah ayah menitipkan Pancha ke rumah paman Gun dan bibi Fit di Madura? Tidak akan ada yang mencariku kesana ayah”

      Paman Gun dan bibi Fit adalah teman orangtuaku ketika mereka kuliah di kota ini. Mereka berasal dari ujung timur pulau Madura, tepatnya kabupaten Sumenep. Paman Gun dan bibi Fit sering berkunjung ke rumah kami di Malang. Ole ole buah kelapa segar dari Madura selalu keluarga kami nanti bersama kehadiran mereka di rumah kami. Paman Gun sering bercerita padaku tentang daerahnya yang indah. Ada banyak pantai yang eksotis di pinggir pinggir pulau Madura. Banyak desa dengan panorama alam berupa sawah sawah yang terhampar luas dan sejuk. Beserta batuan putih tinggi menjulang bekas tambang batu kapur yang mempesona bak di daerah salju. Dan budhaya masyakatnya yang kental dengan nilai nilai leluhur. Terakhir berbincang dengan bibi Fit seminggu sebelum aku ikut kompetisi terakhirku, kami bercakap cakap di telepon. “Bibi usai mengikuti pertandingan minggu depan Pancha akan jalan jalan ke Madura. Ditunggu yaa, oiyaa siapkan buah kelapa segarnya jangan lupa..!”.

# # #

      Salam kenal Sumenep, ucapku pertama kali di kota kecil dengan taman Adipuranya yang mempesona. Tahun 2036 kota kecil jauh berkembang pesat dari tahun 2016 (amin). Tata kotanya yang unik nan asri beserta hawa musim panasnya yang khas menjadi keistimewaan yang hanya di miliki kota kecil ujung pulau garam ini. Sumber daya alam seperti pertanian dan hasil laut yang berlimpah diolah oleh masyarakat lokal dan sangat memperbaiki perekonomian masyarakat. Sumenep juga kaya akan pulau pulau kecil yang terpisah dari daratan Sumenep. Salah satunya pulau Sapeken yang secara geografis batas ujungnya berdekatan dengan pulau Bali daripada ke daratan kota Sumenep sendiri. Di salah satu pulau yang ada di kecamatan Sapeken terdapat tambang minyak bumi yang megah menjulang di lautnya dan sekarang sudah dikelola oleh masyarakat lokal di daerahnya. Ini menjadi menjadi bukti kebijakan pemerintah setempat bahwa pendidikan berkembang sangat pesat dengan fasilitas yang memadai.

      Tak hanya tata kotanya yang unik di Sumenep ini warga mulai bijak berlalu lintas. Masyarakat mengalah pada sikap egoisme sepihak. Mereka yang belomba lomba mengoleksi kendaraan pribadi sudah tak berlaku lagi di kota ini. Masyarakat sudah lama meninggalkan budhaya konsumtif. Mereka lebih menyukai berjalan kaki atau menggunakan fasilitas umum yang disediakan pemerintah. Akses jalan dan lingkungan yang ramah dapat dinikmati oleh semua warga Sumenep termasuk warga pendatang sepertiku. Seperti di kota kota lain  yang maju, akses jalan sudah disediakanramp untuk pengguna kursi roda dan garis kuning yang timbul untuk warga Tunanetra. Kami semua dapat menikmatinya disini berbaur memanfaatkan fasilitas kota karena kami semua sama adalah bagian dari ragam keunikan manusia yang menjadi wayang wayang Tuhan di bumi.

      Ada lagi yang menakjubkan yaitu sektor wisata yang dikelola sempurna oleh dinas Pariwisata dan Kebudhayaan. Wisata alam sangat dijaga kelestarian dan kebersihannya. Serta didukung oleh komunitas pemuda pemudi Adipura yang mencintai alam dan lingkungan. Komunitas pemuda ini sangat peka dan cekatan mengatasi sampah terutama wilayah wisata alam ataupun wisata buatan. Begitupun dengan budhaya yang dahulu hampir habis terkikis zaman modern, namun dibangkitkan lagi oleh pemuda pemudi generasi mudanya untuk dilestarikan. Seperti warisan budhaya yang berupa nilai luhur salah satunya tata karma Sumenep sebagai budhaya Madura timur-an yang halus. Peradaban yang lain seperti bangunan bersejarah kuno yang dilestarikan serta tarian khas seperti tari “Muang Sangkal” (tolak balak) yang menjadi ikon Sumenep yang tak tergadaikan.

      “Selamat datang Pancha, tuan putri dari kota dingin. Semoga dapat beradaptasi di kota yang panas ini yaa..” sambut bibi Fit. Layaknya menyambut putri salju dari negeri dongeng.

      Paman Gun juga tak kalah ramah menyambut kedatanganku. Begitupun dengan si kembar jagoan paman dan bibi yang sudah menjadi kanak kanak yang menggemaskan dengan rambut ikalnya yang lucu. Mereka Nakula dan Sadewa berkejaran menghampiriku. “Kakak cantik akan tinggal di rumah kami yaa?” sapa Nakul.

      Aku mengangguk dan tersenyum padanya, “Assyyiikkk…” serunya riang.

      “Wahh, kak Pancha bisa baca dongeng nggak? Bisa berdongeng ngak? Bisa ngajarin aku menggambar nggak?” si Sadewa mencercaku dengan pertanyaannya yang menggemaskan.

      Serasa terdampar di surga dunia. Aku merasakan kehangatan keluarga yang alami tanpa tekanan apapun. Hidup yang mengalir dengan penuh warna bersama keluarga paman Gun. Rupanya paman dan bibi juga punya taman kanak kanak yang dikelolah tak jauh dari rumah mereka. Suatu waktu bibi mengajakku mengunjungi sekolahnya. Bangunannya unik sangat ergonomis untuk anak kecil belajar. Dindingnya penuh warna lingkungannya juga asri dan sejuk sangat kondusif belajar dan bermain. Namun aku terperangah ketika bibi menjelaskan kalau sekolah ini sebenarnya semacam tempat rehabilitasi untuk anak anak usia dini yang memiliki keunikan mental seperti Autis, ADHD, Retardasi mental atau keunikan mental yang lain. Meskipun jumlah anak anak dengan keunikan semacam Autis dan ADHD terbilang sangat sedikit di kota ini, tetapi bibi Fit dan paman Gun ini berbagi kesempatan pada mereka mendapatkan perlakuan yang selayaknya dan dibutuhkan oleh mereka. Setidaknya menghindari tumbuh kembang mereka agar tidak terjebak menjadi generasi stress.

      “Adik adik dengan kondisi psikologis yang seperti mereka itu bukan penyakit, Cha. Juga bukan kutukan, mereka adalah bagian dari beragam manusia unik yang  dicipta Tuhan sebagai renungan bagi kita untuk berfikir. Hanya cara memperlakukan mereka yang berbeda harus disesuaikan dengan kebutuhan mereka..”

      Aku tidak salah melangkah mendatangi rumah paman Gun dan bibi Fit. Disini bisa belajar banyak tentang ilmu kehidupan. Setelah berbulan bulan lamanya mendekam di Rumah Sakit, aku juga sakit secara psikologis di rumah bibi Fit dan paman Gun adalah tempat rehabilitasi mental yang tepat untukku. Aku menyadari selama ini hanya mengurung diri dan menangis di pojok kamar meratapi nasib yang sudah terlanjur terjadi.

                                                                                  # # #

      Di pusat kota terdapat bangunan bersejarah berupa Masjid Jami’ yang berusia ribuan tahun. Bangunan megah ini memiliki sisi arsitektur yang sangat unik karena mengungkap empat peradaban etnis. Diantaranya Tionghoa, Eropa, Jawa, dan Madura sendiri. Selain itu juga dilengkapi lonceng raksasa yang berbunyi setiap jam sesuai dengan waktu. Tak jauh dari Masjid terdapat taman Adipura yang merupakan ikon khas kota Sumenep. Ada yang unik jika menikmati akhir pekan di taman ini karena pengunjung akan disuguhi beragam pertunjukan kesenian budhaya. Tempat berkumpulnya para seniman dan budhayawan saling bercengkerama. Muda-mudi tak hanya disibukkan pacaran di pojokan tapi mereka lebih antusias menyalurkan bakat seninya. Ada pula yang belajar langsung pada sang maestro yang dapat ditemui di Stand masing masing sesuai bidang seninya.

      Lebih menariknya lagi disana juga terdapat panggung beragam pertunjukan. Seperti pertunjukan teatrikal, komedi, tari, menyanyi, pantomime, monolog serta beragam kreativitas kesenian lainnya. Malam ini aku mengunjungi taman Adipura untuk pertama kalinya. Aku sangat terhibur dengan sajian pertunjukan seniman seniman kreatif itu. Aku tercengang ketika menyaksikan pertunjukan “Musik Mulut” atau semacam perkusi tradisional yang semua pemusiknya orang Tunanetra. Mereka memainkan irama dengan sangat kompak. Menurut cerita paman Gun kesenian Musik Mulut dahulu sangat populer di kalangan masyarakat Sumenep. Cara memainkannya butuh keahlian khusus karena bunyi dihasilkan dari rongga ucap seperti bibir, lidah, dan tenggorokan.

      Pertunjukan berikutnya tak kalah membuatku takjub. Benar benar takjub… Penampilan seorang pemuda yang bisa kutebak masih seumuran denganku. Dia memasuki arena pertunjukan dengan auranya yang karismatik, kemudian menebar senyum pada penonton yang bersorak memanggil namanya. Ternyata pemuda rupawan itu bernama Dutta. “Sebuah puisi karya seniman sekaligus budhayawan lokal yang pasti kita kenal D. Zawawi Imran, IBU….”

kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan

namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu

lantaran aku tahu engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala

sesekali datang padaku

menyuruhku menulis langit birudengan sajakku

(D. Zawawi Imran, 1998)

      “Puisi yang barusaja saya baca teruntuk ibuku dan para ibu yang cantiknya bagai bidadari berselendang bianglala. Juga bagi calon calon ibu yang sedang menikmati pertunjukan malam ini”. Penampilan Dutta membuatku ketagihan dan semakin penasaran dengan karya karyanya yang lain.

      Aku menekuni hobi baru yaitu menulis. Beruntung fasillitas di taman Adipura sangat memadai dan bernilai ergonomis guna menciptakan suasana yang nyaman bagi pengunjung. Tak jauh dari bangku tempatku menulis kulihat seorang pelukis sibuk dengan kanvas dan kuas catnya. Kulirik lukisannya sangat bagus. Dia melukis wajah seorang perempuan dengan warna bibir merona dan berambut ikal panjang. Sesekali pemuda itu melempar senyum pada beberapa orang yang menghampiri dan melihat lukisannya.

      Sepekan telah aku jalani menjadi penduduk baru di kota kecil ini. Aku mulai beradaptasi dengan cepat tentu saja berkat dukungan paman Gun dan bibi Fit serta rekan bermainku yang baru, si kembar Nakula dan Sadewa. Mereka kembar tapi berkarakter unik yang berbeda. Sadewa terlihat lebih vocal, dia memiliki kecerdasan linguistic yang memadai. Hobinya bercerita dan berkomentar apapun yang dilihatnya. Kemampuannya megungkapkan perasaan sangat terlatih dengan baik. Nakula tak kalah unik dia pribadi yang tenang, pemikir dan aku yakin Nakula sangat berbakat menjadi ilmuan atau filosofis dengan kecerdasan intrapersonal yang dimilikinya.

      Suatu kali Nakula menghampiriku membawa gambar seekor burung, “Kak Pancha lihat deh burungnya punya sayap yang indah yaa…”

      “Wahh.. sayapnya cantik sekali. Emm, coba Nakul bayangkan kalau sayap burung ini  terkena panah atau tembak. Apa yang terjadi?” aku memberinya stimulasi untuk dia berfikir.

      “Sayapnya akan rusak dan burungnya jatuh kak. Pasti tak bisa terbang lagi…”

      “Nah.., makanya Nakula sama Sadewa jangan lagi melempar buah manga tetangga sebelah dengan batu yaa. Kalau kena sayap burung yang lewat kan kasian…”

      Nakula partner yang menyenangkan untuk diajak berdiskusi. Sosoknya yang tenang dan pemikir membuatnya lebih peka dengan situasi.

      Momen yang aku nantikan selama sepekan sudah tiba, malam Minggu. Karena aku akan menyaksikan penampilan Dutta. Aku datang lebih awal daripada minggu kemarin memanfaatkan waktu untuk menulis. Tak berbeda dengan seminggu yang lalu, pelukis bertopi pet yang khas itu lebih awal duduk di bangku sebelah dengan kanvas dan kuas beserta cat yang serbaneka ragamnya. Pemandangan yang asyik. Aku mengamatinya dari bangku tempatku duduk. Dia terlihat begitu antusias menikmati setiap liukan kuas di tangannya. Sorot makanya terlihat berbinar binar.

      Beberapa pengunjung juga menghampiri dan mengamati lukisannya. Dia dengan ramah mempersilakan duduk dan memamerkan lukisan yang lainnya dengan senyumnya yang ramah. Tapi.. menurutku ada ganjil dengan pelukis bertopi pet itu, kenapa dia selalu diam saja? Aku menjadi penasaran ingin mengenalnya lebih dekat. Ketika dia kembali melukis, aku menghampirinya. Rasa penasaran yang membuatku melangkahkan kaki menuju ke arahnya.

      “Permisi.., bolehkah aku melihat hasil lukisanmu?”

      Pelukis itu menyambutku dengan senyum yang ramah dan bersahabat. Dia memperlakukan hal yang sama seperti pengunjung yang tadi. Mempersilakanku duduk dan memamerkan lukisannya. Sekarang aku dapat melihat lukisannya dengan lebih jelas. Aku tidak begitu faham tentang karya seni yang satu ini, pemahamanku tentang sebuah lukisan masih sangat minim. Pada setiap lukisan yang bertema perempuan dia beri tulisan di bawahnya, aura-ku. Menurutku semua lukisannya bagus, unik, detail, intinya perfect lah…

      “Lukisanmu bagus. Maukah kamu menjelaskan tentang lukisan ini padaku?” tanyaku.

      Pelukis itu tetap dengan senyum abadinya yang khas, tapi dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia menulis sesuatu dan menyerahkan memo kecil padaku. Aku meraihnya dan membaca tulisannya, “Maaf aku Tuli. Silahkan ulangi ucapanmu disini..”

      Aku terperanjat. Diam. Sepertinya ada koneksi saraf kognisi yang error di otakku. Kemudian pelukis itu menyodorkan memo kecil lagi padaku. Aku baru menyadari dan keadaan kembali baik baik saja. Aku membaca memonya lagi, “Jangan melamun, namaku Panji..” tulisnya.

      “Ouhh.., maaf” aku menjadi salah tingkah dan gugup. Bingung harus berbuat bagaimana. Pelukis itu menyadari kebingunganku, dia tertawa kecil menertawakan wajahku yang bingung. Aku menghindari gugup dengan ikut tertawa juga. Kami tertawa bersama sama, sungguh pengalaman yang unik.

      Aku meraih memo dan pena di tangannya, “Namaku Pancha, aku ingin berteman denganmu. Bagaimana agar aku bisa berkomunikasi denganmu..?”

      “Jika bersedia datanglah ke pertunjukan ini minggu depan. Aku akan mengajarimu..” balasnya di memo itu. Kemudian dia mengemasi lukisannya dan melipat kanvas serta memasukkan kuas dan cat ke dalam ranselnya. Dia kembali melempar senyum padaku dan beranjak pergi.

      “Nji.. Panji, kamu mau kemana?” panggilku. Aku mengejar langkahnya, meraih pundaknya. Dia menoleh dan menunjuk ke panggung pertunjukan. Pertunjukan siap digelar. Dutta sudah berdiri disana menyapa penggemarnya. Malam ini Dutta akan mempersembahkan sebuah monolog. Penonton yang sedari tadi menunggunya antusias menyaksikan pertunjukan Dutta. Kulirik pelukis yang ternyata bernama Panji di sebelahku. Ternyata langkahnya sudah menjauh pergi dariku. Aku berbalik mendekati panggung pertunjukan menyaksikan persembahan monolog dari Dutta. Di akhir penampilannya dia mengakhirinya dengan sebuah puisi yang membuat penggemarnya bertepuk tangan dan ketagihan akan menyaksikan penampilanya lagi,

“… namamu pun rupanya tak mau kalah, masih tetap tersimpan di hati ini sejak waktu mempertemukan. Akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan.., ruh-ku bertasbih pada Tuhan semesta alam. Isyarat cinta kepadaNya dan kepadamu…”(puisi Reza Rahadian di film Ketika Tuhan Jatuh Cinta)

      Dutta penyair yang luar biasa, wawasannya begitu luas membuatnya serba bisa dalam berkarya. Totalitas yang tanpa batas ia tawarkan dalam bentuk mahakarya yang hebat. Ketika dia menampilkan aksinya di pentas aku melihat aura itu murni terpancar berkialuan dari sorot matanya. Tak jauh berbeda dengan ketika aku mengamati Panji melukis aura yang sama juga murni terpancar berkilauan dari sorot matanya. Bukankah orang bijak berkata bahwa mata tidak pernah berbohong ?

      Aku bercerita tentang penampilan Dutta yang memukau ketika di taman Adipura dan perkenalanku dengan Panji pada bibi Fit. “Sekarang Pancha sudah punya teman baru. Waahh, semakin kerasan ya di rumah bibi..” ujarnya. Kemudian bibi Fit memberi kejutan yang tak kuduga duga sebelumnya. Bibi Fit menyodorkan sebuah buku kesannya seperti buku lama, “Lumayan mengisi waktu luang dengan membaca. Itu buku karya seniman hebat seperti Dutta yang bibi beli sewaktu kuliah di Malang. Karya Sujiwo Tedjo…”

      Bibi Fit duduk bersebelahan denganku wajahnya yang ranum tersenyum hangat padaku. Kemudian bibi melantunkan sebuah lagu jawa, kutebak pasti lagunya Sujiwo Tedjo,

“Anut runtut tansah reruntungan, munggah mudhun gunung anjlog samudra…” (Sudjiwo Tejo)

      Tak pernah aku bayangkan bibi Fit yang asli Madura tulen bisa bernyanyi tembang jawa yang sulit. Padahal lidanya, lidah orang Madura tapi fasih nyinden dengan medhok yang sempurna. Skenario Tuhan memang mahadahsyat mempertemukan aku dengan beragam manusia dengan segala keunikannya di sudut bumi ini. Speechless. Hari hari berikutnya akan ada kejutan apalagi ?

# # #

      Panji menepati janjinya dia sudah datang lebih awal di taman Adipura pada malam minggu malam pesta rakyat bagi warga Sumenep. Aku sudah faham dimana aku bisa menemuinya di bangku tempat dia melukis seperti biasanya. Dia hanya membawa ransel dan mengenakan topi pet-nya, tidak kulihat peralatan lukis seperti kanvas, kuas, cat dan lukisannya yang lain. Dia peka dengan kebingunganku dan tanda tanya di benakku, tak mengulur waktu di mengajakku duduk. Pada detik berikutnya dia memberitahuku bahwa dia akan mengajariku bahasa isyarat.

      What ?? Isyarat ?? Apakah itu sulit untuk dipelajari, apa sanggup mengerti dan bisa melakukannya?

      Begitulah rentetan pertanyaan yang bergentayangan pada awal aku memulainya. Tidak ada sesuatu yang mudah sebelum diaksanakan. Tidak ada yang bisa menerka sulit atau mudah sebelum kita memulainya. Dan aku tidak berusaha sendirian Panji sangat sabar serta telaten mengajariku. Meskipun berawal dari banyak kesalahan yang aku lakukan, Panji hanya tertawa kecil dan kembali mengalirkan energi positif padaku untuk terus mencobanya lagi, lagi, dan lagi.

      Hitungan mingu, hitungan bulan, rupanya sudah berbulan bulan aku tinggal di kota ini. Hampir mendekati setahun hidupku berlanjut mengalir begitu saja. Aku mulai fasih berkomunikasi bahasa isyarat dengan Panji. Ketika di rumah paman Gun dan bibi Fit aku berlatih sendiri di kamar, di depan cermin. Dan yang paling lucu ketika diam diam Nakula dan Sadewa mengntip di balik pintu.

      “Kak Pancha sedang belajar menari yaa…” celetuk menggemaskan Sadewa.

      Mengunjungi pertunjukan seni di taman Adipura adalah ritual wajib yang berlaku padaku setiap akhir pekan. Menyaksikan penampilan Dutta si Penyair yang karismatik sudah menjadi sebuah candu yang harus segera dipenuhi. Aku tidak duduk sendirian lagi ditemani si Panji dengan beragam lukisannya yang semakin mempesona hasilnya. Menunggu memang membosankan, namun tidak lagi ketika dimanfaatkan dengan berdiskusi dengan Panji. Karena sekarang aku bisa berisyarat kami jadi ‘nyambung’ bercerita berbagai hal. Tentang pengalaman, atau belajar bersama tentang apapun. Di akhir percakapan kami, dia mengutarakan keinginan terpendamnya, “Cha, ingin membangun sebuah museum Tuli disini…”

      “Hahh..?” aku melongo mencerna ulang apa yang diutarakan padaku. Sepertinya efek benturan keras di kepalaku saat kecelakaan beberapa tahun yang lalu juga mengganggu sebagian saraf kognisiku.  Membuatku terkadang agak lemot memproses informasi yang baru kuterima. Dan sialnya, Panji sudah beranjak ketika aku masih melongo dengan tanda Tanya yang besar memenuhi benakku.

      “Mau kemana, Nji?” tanyaku. Dia menunjuk ke arah panggung. Pertunjukan akan digelar sebentar lagi Dutta sudah bersiap di pentas. “Nji, kamu tidak menemaniku menyaksikan penampilan Dutta? Nanti aku terjemahkan…” ajakku. Dia menggeleng dengan senyum abadi khasnya. Kemudian berbalik arah dan aku juga berbalik menuju pentas yang mulai dipenuhi pengunjung. Kejadian yang sama seperti pertama kali berkenalan dengan si Panji.

      Langkahku sudah sampai dan berkumpul diantara kerumunan penggemar Dutta. Ada yang berbeda dengan Dutta malam ini. Wajahnya tampak sedikit muram, senyumnya yang karismatik tak dapat menyembunyikan sirat kesedihannya dengan sempurna. Dia mempersembahkan sebuah monolog “RAHVAYANA” yang berkisah tentang Rama-Sinta versi Sujiwo Tedjo seniman asal Jember yang legendaris itu. Getar suaranya terdengar berbeda. Semacam menyimpan sebuah kepedihan yang mendalam. Aku merasakannya Dutta seperti tidak sedang bermonolog, tapi lebih terasa semacam curhat pribadi menyampaikan isi hatinya yang sedang lara. Penonton menyimak dengan hening ketika dia berkata dalam monolognya, “Tuhan, bila cintaku kepada Sinta terlarang, mengapa Kau bangun megah perasaan ini dalam sukmaku(Sujiwo Tedjo)

      Di akhir monolognya Dutta juga menuntaskannya dengan sebuah tembang yang sangat menggambarkan rasa pilunya, “Gugur bulan, gugur ke samudera. Gugur cinta, ke lautan rindu…”. Setetes airmata jatuh dari pelupuk matanya dan menggilinding di pipinya. Dia menangis. Ouhh baru sekarang aku melihat seorang lelaki menangis di depan mataku. Juga disaksikan oleh banyak penggemarnya. Ada apa gerangan senimanku?

      Desas desus bisikan pengunjung di kiri kananku menjawab pertanyaan di benakku. “Kasihan si Dutta bulan depan berencana menikah, tapi ditinggal pergi dengan kekasihnya…”

# # #

      Beralih dari kisah Dutta beserta dilemma yang menderanya. Esok hari dari malam itu Panji mengajakku mengunjungi galeri lukisannya di rumah. Dia berjanji akan memamerkan karya lukisan terbarunya. Rumah Panji tak seberapa jauh dari rumah paman Gun. Tak sampai 30 menit aku sudah sampai di depan galerinya. Dia menunjukkan sebuah lukisan yang unik namun sarat makna.  Lukisan seorang perempuan berambut panjang yang terurai indah dengan mata jelly yang berkilauan. Dan tulisan aura-ku di bawahnya. Lukisan ini setelah agak lama kupandangi terlihat magis seperti ada aura hidup di dalamnya. “Aku bingung mewarnai bibirnya dengan warna apa” ungkapnya. Namun dia segera menemukan solusi. Dia mengambil jarum dan melukai sedikit ujung jari telunjuknya.

      “Apa yang kamu lakukan, Nji?”

      Dia tidak menghiraukanku. Darah segar menetes perlahan dari ujung telunjuknya. Dia meraih kuas dan mewarnai bibir lukisan itu dengan warna merah darah. Aku benar benar tak mengerti. Sebenarnya apa yang ada di benak para seniman ketika dirinya sedang asyik menyalurkan bakatnya. Di mataku yang terlihat hanya sebuah totalitas tanpa batas dari seorang Panji untuk karyanya.

      Sesaat setelah itu dia segera ke belakang membersihkan darah yang masih menetes dari ujung telunjuknya. Kuamati lagi lukisan perempuan di hadapanku. Diantara lukisan yang lainnya lukisan ini tampak sangat magis. Benar benar seperti lukisan hidup. Atau perasaan paranoidku saja yang membuatnya terlihat magis.

      “Lho, rupanya ada tamu…” bibi Nun, ibunya Panji sudah berdiri di belakangku. Jantungkuku serasa lompat seketika saat itu. Aku jadi lemas, wajahku pucat pasih.

      Penyakit lamaku kumat gagap seketika saat gugup dan salah tingkah. Bibi Nun yang tampak lembut dan bersahaja tersenyum. Senyumnya tak jauh berbeda dengan yang dimiliki si Panji. Aku memandangi matanya yang tedu penuh kasih. Tiba tiba muncul wajah ibu dan ayah dibenakku. Aku merindukan mereka yang telah lama aku tinggakan di tempat kelahiranku. Bibi Nun mendekati lukisan Panji yang baru jadi itu kemudian dia menunjuk lukisan itu padaku. “Pasti Panji baru saja menyelesaikannya..” tebak beliau.

      Aku mengangguk mengiyakan.

      “Nak Pancha tahu tentang lukisan ini?”

      Aku menggeleng, “Panji tidak pernah bercerita padaku, bibi” sahutku kemudian.

      “Panji sering sekali mengabadikan wajah Aura dalam sebuah lukisan”

      “Siapa itu?” tanyaku memburu.

      “Sepupunya Panji” bibi Nun menawab cepat. Sejak kecil Aura tinggal di rumah ini bersama keluarga bibi. Panji sangat menyayanginya seperti saudaranya sendiri. Dua bulan yang lalu Aura menghadap yang kuasa. Anakku Panji sangat sedih, tetapi dia pandai menyembunyikan kesedihannya dari bibi”.

      Aku menyimak cerita bibi Nun dengan seksama. Hebatnya Panji tidak pernah berhasil kutebak misteri yang dia sembunyikan dalam dirinya. Sosoknya yang ramah dan murah senyum ternyata menyimpan luka yang sangat dalam. Dan dia pandai menyembunyikannya dengan sempurna. Dari kisah Dutta dan Panji aku menarik benang merah bahwa lelaki juga manusia yang memiliki hati dan airmata.

      “Nak Pancha jangan pernah bertanya tentang lukisan ini pada Panji. Agar dia tidak semakin larut dalam duka. Kecuali kamu bersedia menjadi penawar lukanya” bibi Nun kemudian berlalu dari hadapanku dengan sungging senyumnya yang indah.

      Sesaat setelah itu aku bergegas pulang. “… kecuali kamu bersedia menjadi penawar lukanya” aku mengulangi ucapan bibi Nun dalam benakku. Perhatianku beralih melihat paman Gun tergopoh gopoh menghampiriku. Napasnya tak beraturan seperti habis berlari keliling lapangan. “Ada apa paman?” tanyaku.

            “Dia mencarimu di rumah !!”

      Paman tidak mengatakan padaku siapa  gerangan yang menceriku di rumah. Aku bergegas mempercepat langkah penasaran ingin tahu. Dan… Kejutan apalagi ini Tuhan?

      Pandu orangnya. Dia duduk di teras rumah paman Gun. Aku tak dapat berbuat apapun. Hanya diam mematung statis di teras yang sama. Dia juga bungkam seribu bahasa tak memulai pembicaraan. Dalam benakku masih tersisa rasa rindu dibalik amarah yang tak kunjung padam. Tapi aku belum siap bertemu dengannya saat ini. Rentetan pertanyaan di benakku sudah lama mengendap dan basi untuk kembali diutarakan sekarang.

      “Apa kabar, Cha?” akhirnya Pandu memulai percakapan. Dan itu kata pertama yang kudengar setelah kata yang ia bisikkan di Stadion beberapa tahun kemarin. “Maaf aku datang terlambat, seharusnya aku datang lebih awal..”

      “Lebih baik tidak perlu datang sama sekali, pandu” tukasku ketus.

      “Panchaa…”

      “Kamu kemana saja selama ini, Pandu? Kamu menghilang dariku. Setelah kecelakaan aku membutuhkan keberadaanmu, tapi kamu raib dari hidupku. Selama masa pemulihan dan terapi di Rumah Sakit aku butuh penguatan positif darimu” aku mulai larut dalam emosi dan tak sanggup menahan airmata. “Aku kira kamu akan datang ke rumahku, aku menunggumu dan menangis di pojok kamar karena kamu tak kunjung datang. Apa itu definisi setia?” aku berteriak di depan mukanya. Amarahku mencapai puncaknya dan aku katarsis sepuasnya.

      “Aku bisa menjelaskan padamu Cha. Waktu itu aku benar benar menunggumu di garis finish, ketika melihatmu terjatuh, aku berlari mendekat tapi petugas medis lebih cepat menolongmu. Ketika aku datang ke Rumah Sakit aku tidak diperkenankan bertemu denganmu penjagaan sangat ketat, Cha. Kemudian aku mendapat kesempatan mengikuti marathon di Brazil, aku tinggal disana selama dua tahun. Setelah kembali dan mendatangi rumahmu, kau sudah tidak disana”

      “Cukup tak ada perlu dijelaskan lagi, aku sudah merasa baik baik saja tanpamu”

      “Bagaimana dengan hubungan kita, Cha?” suara Pandu melunak seakan mengiba.

      “Sudah selesai Pandu” jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

      “Cha, bukankan kita saling mengenal sejak kecil. Kita bermain bersama, bersekolah bersama, berproses menjadi atlet bersama. Kita pernah utuh dan saling melengkapi. Bagaimana bisa aku akhiri hubungan kita?”

      “Baiklah, aku yang menyelesaikannya” aku bergegas meninggalkan Pandu yang termangu mematung di tempatnya. Semua sudah selesai. Aku memilih hidup menjadi Pancha yang baru. Kenangan yang pernah terjadi biarlah berlalu. Sayangnya, Pandu menjadi bagian dari kenangan yang kuanggap berlalu.

# # #

      Menikmati senja hari di pantai yang sepi. Mendengarkan gemuruh ombak yang menyisakan busa busa buih di pasir. Beserta sensasi sepoi  angin yang mengacak acak rambutku. Menjadikan suasana hati sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sang surya berlarian ke peraduan senja menyemburat warna keperakan. Sebentar lagi petang akan datang dan langit mempersembahkan kerlip gemintang yang yang indah. Hamparan gemintang bak manik manik berkilauan, hanya dari mata si Buta ia menyembunyikan sinar indahnya. Aku merasakan sensasi sentuhan di telapak tanganku. Aku menoleh dan Panji sudah duduk bersebelahan denganku.

      “Masih marah?” dia bertanya. “Sudah tiga tahun berlalu luka hatimu belum sembuh?”

      “Maksudmu?” tanyaku tak mengerutkan kening.

      Panji menyerahkan sebuah surat kabar edisi lama padaku. Koran yang memuat berita tentang aku saat tragedi kecelakaan olahraga. Lengkap dengan pernyataan dokter yang menvonis bahwa aku harus gugur mewakili Indonesia berkompetisi di ajang Internasional. Dikemas dengan bahasa media yang terkadang dibumbui agar terkesan dramatis dari kejadian yang sebenarnya. Pasti Pandu yang membawanya kemari surat kabar ini. Aku mendengus kesal melempar Koran yang masih tergulung rapi itu. Lukaku kembali menganga perlahan, ohh Tuhan benarkah ini luka abadi?

      “Ada yang ingin kau ceritakan padaku Cha?” dia bertanya dengan bahasa tangannya yang indah. Kupandangi sorot mataya yang memancar tulus dan meneduhkan.

      Sejenak aku diam. Rasanya terlalu berat menuturkan kembali kenangan pahit itu. “Semuanya terjadi begitu saja Nji, di saat aku belum siap menghadapinya. Aku masih terlalu dini untuk mengalami kenyataan yang sangat berat dan menjelma luka abadi di benakku”.

      Aku menghela napas, memasukkanya ke rongga dada kemudian melepasnya perlahan. Sebisa mungkin aku menahan agar tidak menangis di hadapannya. “Orangtuaku mengenalkan dunia olahraga lari padaku sejak kecil. Mereka berambisi agar aku menjadi atlet lari seperti mereka. Mereka menerapkan disiplin yang ketat dan didikan mereka berhasil. Aju sering menjuarai kompetisi olahraga lari di kotaku. Akhirnya aku mengalami kecelakaan fatal dan merampas semuanya…”

      Aku terisak perlahan bersamaan dengan airmata yang juga berguguran menggelinding di pikpiku. “Sejak kejadian yang menimpaku itu semuanya jadi berubah. Kaki kiriku yang awalnya baik baik saja menjadi…” aku tak sanggup melanjutkan kata kataku lagi.

      “Tuhan tidak mengambil semuanya, Cha. Hanya menyuruhmu istirahat dan menggantinya dengan bakat yang lain” matanya masih berbinar binar tulus ketika bahasa tangannya mengatakan padaku. “Manusia kadang posisinya di atas, dan jangan takut untuk menjalani hidup ketika berada di bawah” imbuhnya.

      “Tetapi Tuhan terlalu keras membantingku ke bawah, Nji” isakan tangisku semakin membunca. Airmataku semakin deras menganak sungai wajahku.

      “Jangan berburuk sangka dengan Tuhan”

      Panji tersenyum bijak menatapku. Aku juga menatapnya. Menyelami lebih dalam sorot matanya yang berbinar mengagumkan. Kemudian Panji malanjutkan, “Cha, aku Tuli sejak kecil. Aku tidak pernah mendengar suara ayah dan ibuku. Ketika ibu berbicara memberi nasihat aku hanya faham maksudnya tanpa mendengar ucapannya. Begitu pula ketika aku pulang sekolah masih main di sungai gebyuran bersama teman teman. Ibu pasti marah dan ngomel sepanjang hari, dan aku hanya faham maksudnya tanpa mendengar omelannya. Apa aku marah dan protes pada Tuhan? Apa aku berontak pada Tuhan?” matanya menatapku runcing kali ini.  Aku menunduk menghindari tatapannya. Melanjutkan isak tangis tanpa suara.

      “Jawabannya tidak Cha !! Bukan begitu caranya menghadapi hidup yang tak selalu berjalan sempurna. Bukankah kamu yang bilang bahwa manusia adalah wayang wayang yang diutus untuk menjalankan skenario Tuhan di bumi? Kamu juga yang bilang bahwa manusia itu lengkap dengan beragam keunikannya!” Panji menatapku lagi dengan senyumnya yang indah serta sorot matanya yang teduh.

      Nasihat Panji seperti tamparan keras yang mendarat di pipiku. Membuatku bangun dari kesurupan amarah yang membelitku selama bertahun tahun lamanya sejak kecelakaan yang kualami. Takdir tak mengizinkan aku berlari lagi, tapi memberiku pemahaman baru bahwa aku sangat kaya dengan orang orang yang sangat peduli padaku.

      “Jangan marah marah lagi yaa, Cha…!”

      Aku mengangguk.

      Beruntung Tuhan memberi kontrol emosi yang kuat bagiku sehingga aku tidak terlalu larut dengan suasana. Masih menyadari bahwa aku dan Panji bukan anak dibawah 10 tahun lagi. Bahwa kami sudah sama sama beranjak dewasa. Bahwa di daerah ini ada nilai dan norma yang mengatur pergaulan muda mudi di masyarakat yang jika dilanggar akan menjadi gunjingan masyarakat. Jika tidak, akan kurebahkan kepalaku di pangkuannya. Akan aku tuntaskan airmataku disana sampai habis agar tak ada lagi airmata ketika menjalani hari berikutnya.

Dan…

      Aku sudah menemukan pilihan atas kebimbanganku, aku akan lebih lama tinggal di kota kecil ini melanjutkan kisah bersamamu, Nji…!

# # #

Malang, 9-14 Agustus 2016

#Berimajinasi yang menghasilkan sebuah cerita itu mudah. Yang sulit adalah menciptakan karakter unik untuk tokoh agar cerita seakan bernyawa. Kekuranganku yang minim wawasan dan pengetahuan, adalah warna yang mengasikkan dalam proses pembuatan karya yang jauh dari sempurna ini. Terkadang aku jatuh cinta dengan tokoh yang kucipta sendiri, adalah keunikan absurd-ku yang paling horror. Kehabisan ide dan imajinasi buntu ditengah jalan cerita yang paling sering terjadi, solusiku adalah harus tega membunuh karakter tokoh dan mengakhiri sebuah cerita…

#Sekedar meluapkan imajinasi liar-ku yang ternyata tertuang menjadi berlembar lembar tulisan. Tidak ada maksud yang lainnya. Semoga bisa menginspirasi. jika tidak, semoga bisa jadi bacaan sebelum tidur. Atau apalah yang penting sebagai makhluk Tuhan yang unik, manusia harus rajin membaca.

#Aku kesulitan mengungkapkan ‘unek2’ atau ide dalam pikiranku untuk membicaakannya denga orang lain. Jadi aku memilih menyuarakannya dengan menyusun diksi menjadi kronologi cerita. Beginilah caraku berorasi menumpahkan segala pemikiranku.

#Bisa diakses di sini (ada juga cerpen bertema psikologi)

#Bagi yang membaca ditunggu komentarnya untuk perbaikan tulisan saya…

#Karya ini saya dedikasikasikan untuk yang figure yang menginspirasi, (pnj)

#Terima kasih…  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun