Hitungan mingu, hitungan bulan, rupanya sudah berbulan bulan aku tinggal di kota ini. Hampir mendekati setahun hidupku berlanjut mengalir begitu saja. Aku mulai fasih berkomunikasi bahasa isyarat dengan Panji. Ketika di rumah paman Gun dan bibi Fit aku berlatih sendiri di kamar, di depan cermin. Dan yang paling lucu ketika diam diam Nakula dan Sadewa mengntip di balik pintu.
“Kak Pancha sedang belajar menari yaa…” celetuk menggemaskan Sadewa.
Mengunjungi pertunjukan seni di taman Adipura adalah ritual wajib yang berlaku padaku setiap akhir pekan. Menyaksikan penampilan Dutta si Penyair yang karismatik sudah menjadi sebuah candu yang harus segera dipenuhi. Aku tidak duduk sendirian lagi ditemani si Panji dengan beragam lukisannya yang semakin mempesona hasilnya. Menunggu memang membosankan, namun tidak lagi ketika dimanfaatkan dengan berdiskusi dengan Panji. Karena sekarang aku bisa berisyarat kami jadi ‘nyambung’ bercerita berbagai hal. Tentang pengalaman, atau belajar bersama tentang apapun. Di akhir percakapan kami, dia mengutarakan keinginan terpendamnya, “Cha, ingin membangun sebuah museum Tuli disini…”
“Hahh..?” aku melongo mencerna ulang apa yang diutarakan padaku. Sepertinya efek benturan keras di kepalaku saat kecelakaan beberapa tahun yang lalu juga mengganggu sebagian saraf kognisiku. Membuatku terkadang agak lemot memproses informasi yang baru kuterima. Dan sialnya, Panji sudah beranjak ketika aku masih melongo dengan tanda Tanya yang besar memenuhi benakku.
“Mau kemana, Nji?” tanyaku. Dia menunjuk ke arah panggung. Pertunjukan akan digelar sebentar lagi Dutta sudah bersiap di pentas. “Nji, kamu tidak menemaniku menyaksikan penampilan Dutta? Nanti aku terjemahkan…” ajakku. Dia menggeleng dengan senyum abadi khasnya. Kemudian berbalik arah dan aku juga berbalik menuju pentas yang mulai dipenuhi pengunjung. Kejadian yang sama seperti pertama kali berkenalan dengan si Panji.
Langkahku sudah sampai dan berkumpul diantara kerumunan penggemar Dutta. Ada yang berbeda dengan Dutta malam ini. Wajahnya tampak sedikit muram, senyumnya yang karismatik tak dapat menyembunyikan sirat kesedihannya dengan sempurna. Dia mempersembahkan sebuah monolog “RAHVAYANA” yang berkisah tentang Rama-Sinta versi Sujiwo Tedjo seniman asal Jember yang legendaris itu. Getar suaranya terdengar berbeda. Semacam menyimpan sebuah kepedihan yang mendalam. Aku merasakannya Dutta seperti tidak sedang bermonolog, tapi lebih terasa semacam curhat pribadi menyampaikan isi hatinya yang sedang lara. Penonton menyimak dengan hening ketika dia berkata dalam monolognya, “Tuhan, bila cintaku kepada Sinta terlarang, mengapa Kau bangun megah perasaan ini dalam sukmaku” (Sujiwo Tedjo)
Di akhir monolognya Dutta juga menuntaskannya dengan sebuah tembang yang sangat menggambarkan rasa pilunya, “Gugur bulan, gugur ke samudera. Gugur cinta, ke lautan rindu…”. Setetes airmata jatuh dari pelupuk matanya dan menggilinding di pipinya. Dia menangis. Ouhh baru sekarang aku melihat seorang lelaki menangis di depan mataku. Juga disaksikan oleh banyak penggemarnya. Ada apa gerangan senimanku?
Desas desus bisikan pengunjung di kiri kananku menjawab pertanyaan di benakku. “Kasihan si Dutta bulan depan berencana menikah, tapi ditinggal pergi dengan kekasihnya…”
# # #
Beralih dari kisah Dutta beserta dilemma yang menderanya. Esok hari dari malam itu Panji mengajakku mengunjungi galeri lukisannya di rumah. Dia berjanji akan memamerkan karya lukisan terbarunya. Rumah Panji tak seberapa jauh dari rumah paman Gun. Tak sampai 30 menit aku sudah sampai di depan galerinya. Dia menunjukkan sebuah lukisan yang unik namun sarat makna. Lukisan seorang perempuan berambut panjang yang terurai indah dengan mata jelly yang berkilauan. Dan tulisan aura-ku di bawahnya. Lukisan ini setelah agak lama kupandangi terlihat magis seperti ada aura hidup di dalamnya. “Aku bingung mewarnai bibirnya dengan warna apa” ungkapnya. Namun dia segera menemukan solusi. Dia mengambil jarum dan melukai sedikit ujung jari telunjuknya.
“Apa yang kamu lakukan, Nji?”