Mohon tunggu...
Ai Sumartini Dewi
Ai Sumartini Dewi Mohon Tunggu... Guru - Humanis, pekerja keras, dan ulet

Hidup yang singkat hendaknya diisi dengan kegiatan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Menulis merupakan salah satu kebermanfaatan hidup. Dengan menulis kita merekam jejak hidup dan mengasah otak supaya tetap tajam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengejar Mimpi

8 Januari 2021   09:52 Diperbarui: 8 Januari 2021   10:20 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu seperti biasanya Agus bangun jam empat dan bersegera mandi, lalu pergi ke masjid untuk menunaikan ibadah salat subuh. Letak masjid sebetulnya tidak terlalu jauh dari rumahnya, paling juga kira-kira 500 m. Namun, karena Agus kesulitan berjalan cepat, maka dia selalu pergi ke masjid terlebih dulu dari teman-temannya. Sambil menenteng sarung dia menyenandungkan puji-pujian dan selawat nabi. Tak terasa sampailah di masjid yang ternyata sudah banyak teman-temannya.

"Hey Agus, kamu baru datang?" tanya Asep.

"Iya Sep, tadi aku berangkat ke masjid sambil menikmati udara seger pagi ini," jawab Agus.

"Kamu jam berapa ke masjid Sep? Tumben lebih pagi?" tanya Agus.

"Iya Gus, tadi kebetulan aku berangkat bareng sama bapakku," jawab Asep.

"Eh Gus, kamu hari ini mau sekolah enggak?" tanya Asep.

"Iya Sep, aku pasti ke sekolah, emang kenapa?" tanya Agus.

"Aku nitip surat ya, hari ini enggak akan masuk sekolah soalnya mau nganter ibu ke rumah sakit," jawab Asep.

"Ibumu sakit apa Sep?" tanya Agus penasaran, karena kemarin pas pulang sekolah Agus berpapasan dengan ibunya Asep.

"Jatuh kemarin sore di pematang sawah saat mengusir burung-burung," jawab Asep lagi.

"Oh gitu Sep, ya udah boleh deh kamu titip surat buat kelas kamu entar aku sampaikan ya," jawab Agus sambil tak lupa dia bersyukur karena Allah sudah melimpahkan kesehatan kepada ayah dan ibunya. Tak terbayang oleh dia kalau ayah atau ibunya sakit, bagaimana dia bisa pergi ke sekolah. Dari rumah Agus ke sekolah memang agak jauh sekitar 10 km. Dan yang jadi permasalahan adalah karena di daerah Agus tak dilalui angkutan umum, baik mobil ataupun motor. Dia pun tak mungkin ikut dengan orang lain karena takut merepotkan.

Selesai salat subuh Agus dan Asep kembali ke rumahnya masing-masing yang berlawanan arah. Agus rumahnya di sebelah barat sedangkan Asep ke sebelah timur. Dan mereka janjian bahwa jam enam akan ketemuan di pertigaan untuk menitipkan surat izin dari Asep untuk wali kelasnya.

Sampai di rumah ternyata ibu sudah menyiapkan sarapan pagi untuk Agus dan Ayahnya. Pagi itu, ibu membuat sarapan nasi goreng dan telor mata sapi kesukaan ayahnya dan Agus.

"Wah ... ibu hebat, pulang dari masjid sarapan sudah jadi," kata Agus.

"Iya Nak, sana sarapan dulu bareng ayah," kata ibunya.

"Ayah di mana Bu? Tadi aku enggak bareng pulang dari masjid," kata Agus.

"Ada tuh di belakang," kata ibunya. Agus pergi ke belakang mau memanggil ayahnya dan mengajak sarapan. Ternyata ayahnya sedang memberi makan ayam kesayangannya. Ayah Agus adalah seorang wiraswastawan, jadi di sela-sela kegiatannya berwiraswasta beliau juga memelihara ternak ayam, bebek, dan ikan di kolam.

"Yah , ayah yuk sarapan dulu," kata Agus.

"Iya Nak, sebentar ya ... ini tanggung lagi ngasih makan si Burik," kata ayahnya. "Kamu duluan aja biar nanti kalau ayah selesai ngasih makan si Burik udah selesai."

"Iya Yah," kata Agus sambil balik kanan menuju ruang makan. Dia langsung menyuapkan nasi goreng kesukaannya dengan lahap. Setelah selesai langsung minum. Ibunya memang paling pinter menyiapkan sarapan untuk Agus. Setiap hari selalu divariasikan dan tidak membuat Agus bosan.

Tepat jam 06.00 Agus berangkat ke sekolah diantar ayahnya menggunakan motor. Dia menempuh jalan yang di pinggirannya pematang sawah. Kalau lagi musim panen semua cantik keemasan dan kalau setengah padi, maka akan terlihat hijau menyejukkan mata. Dan itu sangat dinikmati Agus dengan tak lupa bersyukur.

"Yah, boleh enggak aku minta dibeliin novel?" tanya Agus.

"Untuk apa Nak?" kata Ayahnya sambil tak menggubris perkataan Agus karena di mata ayahnya kalau sekolah itu bukan baca novel, tetapi harus baca buku pelajaran.

"Ya untuk dibaca, temen-temen aku pada beli," kata Agus sambil mencoba merajuk ayahnya walau dia tahu ayahnya pasti akan susah membelikan novel yang diinginkannya.

Ayahnya enggak menjawab dan itu sudah menjadi jawaban untuk Agus kalau ayahnya enggak setuju dengan keinginannya. Dalam hatinya dia akan mencoba menyisihkan uang jajannya agar bisa membeli novel yang populer seperti teman-temannya.

Sesampainya di sekolah, Agus turun dari motor dan pamit sama ayahnya.

"Yah, aku masuk dulu ya ..." kata Agus sambil salam ke ayahnya.

"Iya nak, belajar yang rajin ya ..." kata ayahnya.

Agus mengangguk menandakan iya setuju dengan ucapan ayahnya. Dia berjalan menuju pintu gerbang sekolah dengan menahan sakit di kakinya. Memang dalam beberapa hari ini Agus merasakan sakit yang sangat kuat dan luar biasa di kakinya. Namun, dia enggak pernah bercerita kepada siapapun termasuk ayah dan ibunya. Semuanya ia tahan untuk dirasakan sendiri. Ia enggak mau teman-temannya tahu dan nantinya akan merasa kasihan. Dia ingin semua temannya tahu bahwa dia itu laki-laki yang kuat.

Sampai di pertigaan mau masuk ke kelasnya dia merasakan sakit yang enggak bisa ditahan lagi. Dia menahan sakitnya sambil memegang pohon kecil yang ada di dekatnya.

"Gus, Agus," terdengar suara Hani tapi Agus tak segera menjawabnya. Hal ini membuat Hani heran.

"Gus tumben kamu diem aja aku panggil," kata Hani sambil menghampiri Agus.

"Iya Han maaf," kata Agus sambil terus memegangi pohon untuk menahan rasa sakit di kakinya.

"Hey kamu kenapa Gus, apa yang sakit?" kata Hani.

"Gak apa-apa Han, aku hanya sakit sedikit," kata Agus.

"Yuk ke ruang PMR kalau sakit," kata Euis menghampiri mereka berdua. Sambil bingung kedua teman Agus membantu memapah Agus menuju ruang PMR.

"Kamu sebetulnya sakit apa Gus?" kata Euis bertanya kembali. "Tak biasanya deh kamu merigis kesakitan?"

"Gak tahu Is, Han," jawab Agus. "Tadi pagi aku gak apa-apa kok, tapi barusan aku enggak kuat," kata Agus menjelaskan kondisi kakinya kembali.

"Ya sudah sekarang istirahat aja di sini ya, enggak usah ikut pembiasaan," kata Euis dan Hani berbarengan. "Entar Hani bilangin ke yang piket," tambah Hani sambil melirik Euis.

Agus enggak menjawab. Dia tampak semakin meringis menahan sakit. Hani dan Euis enggak tega melihatnya. Mereka berinisiatif memberi tahu Bu Erni sebagai Pembina PMR. Akhirnya mereka berbagi tugas. Hani menunggu Agus di ruang PMR, sedangkan Euis menuju ruang guru.

"Asalamualaikum Bu," sapa Euis.

"Iya Is, walaikumsalam," bu Erni menjawab salam Euis.

"Ada apa?" tanya bu Erni.

"Itu Bu, ada orang sakit," kata Euis.

"Siapa? Udah dikasih obat?" tanya bu Erni sambil mengambil kunci di tasnya untuk membuka laci kotak obat.

"Belum Bu, takut salah obat," kata Euis

"Oh, ya sudah ibu lihat dulu deh sakitnya kenapa," kata bu Erni sambil berjalan diikuti Euis menuju ruang PMR untuk melihat kondisi Agus. Sesampainya di ruang PMR bu Erni melihat Agus sedang merintih kesakitan.

"Sakit apa Gus? Mana yang sakitnya?" tanya bu Erni kepada Agus. Agus yang menahan kesakitan tidak menjawab dan hanya menunujukkan ke arah kakinya. Bu Erni bingung karena takut salah kalau dikasih obat sembarangan. Dan beliau memutuskan untuk menghubungi kedua orang tua Agus supaya bisa cepat memberikan pertolongan. Tetapi sebelum bu Erni menelepon kedua orang tua Agus, Agus melarangnya.

"Bu maaf, tolong orang tua Agus jangan diberi tahu," kata Agus sambil mengusap kakinya. "Agus gak apa-apa Bu, cuma sakit dalam tulang," Agus sambil memohon-mohon ke bu Erni.

"Kenapa Gus? Maksud ibu biar sakit Agus bisa cepet diobati, barangkali orang tua Agus sudah tahu obatnya," kata bu Erni

"Pokoknya jangan Bu," kata Agus. "Ayah kasihan kalau harus ke sini sekarang. Beliau pasti sedang mencari barang di kampung sebelah."

"Oh gitu Gus," kata bu Erni. "Ya sudah, kalau enggak boleh dikasih tahu Agus inget enggak obat yang pernah ayah atau ibu kasih kalau Agus sakit?"

"Agus enggak pernah minum obat Bu," kata Agus. "Kalau pilek atau batuk sama ibu cukup diberi gula sama asam Bu."

Sambil kebingungan bu Erni mengiyakan saja keinginan Agus untuk tidak menghubungi kedua orang tuanya.

"Han, boleh aku minta tolong enggak?" kata Agus. Dia teringat tadi pagi dititipi oleh Asep untuk menyampaikan surat ke kelasnya.

"Apa Gus?" tanya Hani sambil menghampiri Agus.

"Ini surat tolong sampaikan ke kelasnya Asep Setiawan kelas 8 F," kata Agus.

"Oh iya, sini Hani sampaikan ke kelasnya," kata hani sambil mengambil surat dan menuju kelas 8 F. Di perjalanan Hani ketemu Astri.

"Han mau ke mana?" tanya Astri.

"Mau ke kelas 8 F, mau ngasihin surat," kata Hani sambil tetap menuju kelas itu. Dia takut keburu bel masuk.

Sampai jam terakhir berbunyi, Agus tetap di ruangan PMR menahan rasa sakit di kakinya. Tepat pukul 15.00 Ayahnya Agus menelepon karena beliau tidak melihat anaknya di gerbang. Agus biasanya menunggu di jemput ayahnya selalu menunggu di depan pintu gerbang. Agus kaget ayahnya menelepon.

"Halo Yah, asalamualaikum," sapa Agus.

"Waalaikum salam. Kamu di mana Nak?" tanya ayah agus sambil tetep nengak nengok ke kiri dan ke kanan sekolah.

"Iya Yah sebentar, aku ke sana," jawab Agus tampak mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. Ia tidak mau ayahnya khawatir dengan sakit di kaki yang dideritanya. Tetapi kali ini sakit di kaki Agus tak dapat ditahan lagi. Walau sudah dipapah Hani dan Lia serta dibarengi Astri dan Euis tetapi tetap enggak bisa kuat dibawa jalan. Dengan terbata akhirnya Agus meminta dipanggilkan ayahnya yang sudah menjemput di pintu gerbang.

"Hani, bisa minta tolong panggilkan ayah aku?" kata Agus sambil meringis.

"Iya Gus, sebentar," kata hani sambil berlari kecil menuju gerbang untuk memanggil ayahnya Agus.

"Ayah Agus, Ayah Agus," sapa Hani.

"Eh Hani, Agusnya masih di mana? Masih mengerjakan tugas ya?" tanya ayah Agus.

"Itu yah, Agus di ruang PMR katanya sakit kakinya," jawab Hani.

Ayah Agus kaget dan berlari menuju ruang PMR. Dia khawatir anak tunggalnya kenapa-kenapa. Tiba di ruang PMR nampak Agus masih terduduk di tempat tidur. Ayahnya bingung lalu menghampiri Agus dan memegang kepalanya.

"Kamu sakit apa nak?" tanyanya sambil terus memegangi kepala Agus dan badannya yang enggak nampak panas.

"Enggak apa-apa yah. Aku pengen dijemput ke sini aja," kata Agus berusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Dia enggak mau lihat ayahnya khawatir dengan sakitnya.

"Yah, boleh enggak aku mau digendong ke depannya?" pinta Agus.

Ayahnya tertawa. "Emang kamu enggak malu dilihat teman-teman?" kata ayahnya bingung dengan polah anaknya hari ini.

"Enggak yah, mereka pasti ngerti aku lagi manja," kata Agus smbil senyum-senyum.

Dia berusaha bercanda dan tersenyum-senyum seolah dia sedang bercanda dengan ayahnya di depan teman-teman.

"Bener nih enggak malu?" tanya ayahnya lagi.

"Enggak apa-apa Om, kan Agus emang suka manja-manja gaje," kata Hani ngebecandain Agus dan ayahnya.

"Ok deh, kalau enggak malu," kata ayahnya sambil enggak yakin dan merasa aneh dengan keinginan anaknya. Tetapi kebingungannya itu dia tahan aja. Dia akan bertanya hal itu nanti di rumah kepada anaknya. Ayahnya menggendong Agus sampai gerbang dan naik ke motor dibantu satpam. Satpam yang mengenali Agus tertawa-tawa. Dia aneh dengan kelucuan Agus yang minta digendong di depan teman-temannya.

Sampai di rumah, Agus masih digendong sampai kursi dan istirahat di situ. Ayah dan ibunya heran dengan perilaku anak tunggalnya ini.

"Bu, kenapa ya anak kita hari ini?" tanya ayahnya.

"Iya yah, kenapa ya?" ibunya balik nanya.

"Tadi kata temannya anak kita sakit, tapi pas ayah pegang kepala dan badannya tak nampak panas Bu," kata ayahnya.

"Mungkin lagi manja aja Pak," kata ibunya.

Sambil duduk di kursi Agus tersenyum karena sudah bisa mengelabui ayahnya tentang rasa sakit di kakinya itu. Dia mau pura-pura manja aja supaya ayah dan ibunya tidak khawatir. Dia membaca beberapa buku lagi setelah makan siang dan ganti pakaian. Dan tepat minggu kedua dia sudah menyelesaikan tiga buku yaitu RA Kartini, Bumi, dan Ki Hajar Dewantara. Dia lalu mengisikannya ke dalam jurnal baca. Dia ingin pas minggu ketiga saat berkumpul dengan bu Gina dan teman-temannya sudah bisa menceritakan review dari buku yang dia baca. Dia sudah merencanakan teknik review yang akan dia buat di bulan pertama yaitu teknik fish bone. Dan sudah membayangkan warna tulang ikannya.

Sampai magrib, Agus masih asyik mengisi jurnal bacanya.

"Nak sudah magrib!" kata ibunya mengingatkan Agus yang biasanya salat magrib di masjid.

"Iya Bu, tapi hari ini aku salat magrib di rumah aja ah, boleh ya, agak cape nih," kata Agus menjawab ibunya.

"Oh ya tentu boleh Nak, yang penting salat dengan khusyuk dan ikhlas," kata ibunya.

Agus beranjak pelan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu. Dia nampak menahan kesakitannya. Selepas salat magrib dan makan malam Agus menelepon Hani menanyakan tugas besok.

"Han halo, besok ada tugas enggak?" tanya Agus

"Enggak ada Gus, tapi besok IPS ulangan," kata Hani.

Mendengar kata ulangan Agus langsung membuka buku dan membacanya dengan serius karena dia enggak mau mendapatkan nilai yang sedikit. Dia selalu ingin mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari teman-temannya. Saking seriusnya membaca sampai Agus tertidur dengan buku IPS-nya.

Ibunya geleng-geleng kepala melihat perilaku anak tunggal yang sangat disayanginya. Betapa sangat disayangi karena untuk mendapatkan Agus, ayah ibunya harus berjuang dengan sangat keras. Agus lahir setelah ayah dan ibunya menikah hampir 10 tahun. Dan dari bayi sampai usia tiga tahun Agus sering sakit dan baru bisa berjalan saat usia 3,5 tahun.

Oleh karena itulah, mereka sangat menyayangi Agus. Mereka ingin Agus bisa mencapai cita-citanya seperti anak lainnya. Diputuskan ayahnya untuk wiraswasta agar bisa fokus antar jemput Agus ke sekolahnya. Mereka berusaha memberikan motivasi kepada Agus untuk mengejar mimpinya. Dan berhasil. Agus tak pernah mengeluh dalam mengejar mimpinya. Dia mau bersekolah walau jaraknya agak jauh. Agus bercita-cita menjadi seorang dokter karena katanya supaya bisa menolong orang banyak dan bisa menyenangkan orang lain.

Kedua orang tuanya sangat bangga dengan prestasi putranya di sekolah. Mereka tak pernah menerima laporan kenakalan Agus. Agus yang selalu semangat itu yang selalu dilaporkan wali kelas Agus baik dari SD ataupun sekarang di SMP. Kalau ada yang bertanya mau melanjutkan sekolah ke mana? Maka dengan optimis Agus menjawab mau melanjutkan ke SMAN XX. Saat ditawari pilihan kedua swasta. Dia tak memilih sekolah manapun. Dia tetap mau masuk SMAN 1 XX.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun