TUHAN MAHA PEMBERI KEJUTAN
Meditasi terganggu. Ia tidak mendapatkan energi semesta. Wajahnya tampak buram. Kusut.
Pagi yang gaduh. Menelan semua keheningan.
Berita itu terus menggodanya. Ia adalah manusia logis. Tak mudah pernah percaya dengan keanehan. Kali ini beda. Ia -terpksa- harus berdamai dengan kontradiksi itu.
Berita itu sangat sederhana. Biasa saja. Hanya tentang Bang Udin. Hanya, nama itu terus menggema di telinga. Bumbu-bumbu aneh terus diletupkan Kun. Memang Faktanya, dari pertimbangan nama, Bang Udin bukan sesuatu yang mengejutkan. Tukang bakso yang setiap jam empat sore selalu memukul kentongan kecilnya tepat di depan kos Aven namanya Bang Udin. Penjual lalapan jamur di dekat Musala namanya Bang Udin. Pemilik warung kopi di dalam kampus namanya juga Bang Udin. Banyak sekali Udin yang lain. Menjamur.
Bang Udin terlalu pasaran di Malang. Tapi ia melihat sesuatu yang beda. Seperti ada misteri. Teka-teki hebat. Dahsyat. Maka, ia merasa punya tanggung jawab besar memecahkan misteri itu. Teka-teki yang dahsyat itu.
Pagi berlalu dengan terburu. Nama itu menguasai kepalanya. Aku bukan siapa-siapa? Tapi aku juga bukan fatamorgana. Aku ada. Aku fakta. Aku nyata. Bisa dilihat. Carilah aku. Dan tidurlah jika semuanya sudah selesai!
Kau malaikat?
“Kun, di mana aku bisa bertemu dengannya?”
Sruft. Seruputan kopinya sangat tegas. Setegas gurat-gurat keningnya: Bung Karno. Lalu, Kun hampir saja meledakkan tawa. Kun bersorak bahagia. Ia melirik sahabatnya sejenak. Dan bersorak lagi.
“Ha ha ha. Bang Udin itu sakti, lo, Sam! Tidak. Tidak, ia itu absurd! Ah, bukan juga. Ia memang nyata. Ada. Punya rumah dan alamat lengkap. Ia tidak berada di alam malakut. Jadi, kakimu bisa sampai di sana. Asu. Bingung aku.”
Wajah Kun menunjukkan raut yang aneh.
“Terus? Semua kadung berantakan. Ah, bukan lelucon, kan? Cuk, mumet, aku.” Aven berusaha mengejar Kun.
“Ini nyata! Bukan imajinasi,” jawab Kun tegas. Wajahnya menjadi sangat serius.
“Aku bisa menemuinya di mana?” Aven tidak sabar lagi. Kun tenang. Ia menunjukkan kedewasaannya. Mulutnya menganga lagi. Membetulkan kerah baju seperti Bung Karno.
“Tapi sangat jauh! Aku khawatir kamu mampus di tengah jalan. Lalu ada laporan di televisi tentang kematian bocah tolol. Goblok. Kentir. Menyedihkan sekali.” Kun mengangkat dua bahunya.
“Sejauh apa itu?”
“Jauh sekali pokoknya. Sebentar, aku boleh nyeruput kopimu?” Tangan kanan Kun meraih cangkir yang ada di sebelah Aven. Kun dengan wajah bahagia meminum kopinya. Kun melupakan akad per-kopi-an yang belum disetujui Aven.
“Tempat terjauh itu masa lalu. Atau ia di puncak Mahameru?”
“Ha ha ha. Gayamu. Sok bijak. Peh. Mahameru? Jangan terlalu pendek dalam berpikir, Sam! Kita hanya butuh 12 jam untuk sampai ke puncak Mahameru. Coba, rasakan! Sejuknya Mahameru nyampai sini, kan?” kata Kun sedikit memberi penjelasan. Kali ini, Kun punya misi khusus. Kun ingin memamerkan tato temporari terbarunya. Aven mengira Kun serius berbicara tentang sentuhan dingin Mahameru. Tapi nyatanya, itu adalah upacara pamer tato kadal yang menjadi favorit Kun. Aven semakin muak dengan Kun. Apalagi Kun kembali menyeruput kopinya. Melihat kenyataan itu, Aven meracau tidak jelas. Setan, iblis, kuntilanak, kebo[1], jaran[2], kadal, dan curut keluar dari mulutnya. Tapi Kun seolah menjadi tuli. Kun tetap dirundung bahagia karena lidahnya kembali basah oleh kopi.
“Jangan membuatku terus bertanya!”
“Aku hanya bisa memberikan ini. Selanjutnya jiwa petualangmu yang harus bertanggung jawab!” jawab Kun. Ia merogoh saku celana. Mengeluarkan sobekan kertas bertuliskan kalimat bertinta hitam. Dengan cepat, kertas itu berpindah ke tangan Aven. Ada kelegaan luar biasa yang menjalari tubuhnya. Kun cengar-cengir. Lagi-lagi ia memperkosa kopinya.
“Bangsat kamu, Kun!” Aven mengumpat sekuat tenaga. Tapi Kun membalasnya dengan kerlingan mata merayu. Lidah Kun basah dengan kopi lagi. Bahagia. Ulala. Tralala-trilili.
***
Nama daerahnya, membuat Aven dehidrasi tingkat tinggi. Ia harus menemui Kun. Paradoks. Itu tidak seperti biasanya. Itu bukan tradisinya. Seperti ketika dulu. Dulu, dulu sekali. Kun sekarang bukan tujuan. Sekarang beda. Aven menjadi tujuan Kun.
Langkahnya cepat. Pintu kamar Kun tidak terkunci. Di dalamnya, Kun sedang meringkuk pasrah. Dadanya naik turun teratur. Ia pulas. Aven memutar badan. Acara mencekik leher Kun segera dibatalkan. Tetiba saja, Aven teringat Lumbung. Tidurnya mirip sekali dengan Kun. Aven dilanda kerinduan. Bagaimana lelaki itu? Anak yatim itu, Lumbung? Aven menghela napas panjang. Sudahlah. Semua sudah berlalu. Pasti akan ada takdir yang mengikat mereka lagi. Di langit-langit cangkir kopi. Bersama banyak tawa lagi.
Ia lalu duduk mematung di pinggiran ranjang. Bang Udin datang. Kepalanya terganggu lagi. Berkali-kali ia mengatakan tidak untuk perjalanan itu. Ia gagal. Kemudian meyakinkan, jiwa petualangnya memang sudah saatnya bertanggung jawab. Seperti di film-film. Kekuatan selalu datang tepat waktu. Hahaha. Kelas, joke-nya. Kepalanya bergejolak lagi.
***
Semua perlengkapan sudah siap. Kun juga sudah mempertontonkan bibir tebalnya tepat di depan kamar Aven. Matanya menyelidik cepat ke dalam kamar. Ia menangkap buruannya: secangkir kopi. Dua mata Kun mengerjap genit.
Aven hanya diam. Ia tidak menanggapi ulahnya. Kun semakin mendekat. Ada jalan pintas tersedia untuknya. Wajahnya yang menyebalkan terpampang dekat di depan wajah Aven. Aven tidak bereaksi. Hanya suara seruputan kopi yang menguasai kamar itu.
Tiba-tiba bibir tebal Kun bergerak-gerak.
“Kamu jadi ke tempat itu?”
“Jadi!” jawab Aven pendek. Tangannya tidak lupa mengangkat cangkir. Kun memilih diam. Suasana menjadi canggung.
“Batalkan. Batalkan saja jika kamu ragu. Jangan sampai tersesat. Atau menyesal. Jangan, pokoknya,” Kun meledek.
“Berikan alamat yang lebih lengkap! Maka, istana kopi yang ada di lemari ini resmi menjadi milikmu!”
“Peh! Dasar orang Indonesia. Dikit-dikit nyogok!” Kun terkekeh. “Ini bukan masalah tawar menawar kopi, Sam! Ini masalah prinsip dan jiwa petualang laki-laki. Pacarku saja pernah menawariku jaket baru asalkan aku batal ke Mahameru tapi dengan tegas aku terima. Ha ha ha. Begitu pula dengan kopimu!” lanjut Kun dengan mata berbinar-binar. Aven hanya menggelengkan kepala.
“Belajar dari mana kamu?”
“Pertanyaan kampungan, Sam! Sekarang, mana cangkirmu? Lidahku sukar berucap jika jam segini belum tersiram kopi!” jawab Kun santai. Tangan besarnya meraih cangkir kopi. Aven kalah lagi. Sudah ratusan kali Kun memperkosa kopinya di depan dua matanya.
“Aku kira lambungmu sudah banjir kafein. Sekarang beri aku gambaran yang lebih masuk akal tentangnya. Tentang tempat itu! Ojok-ojok kon goroh?[3]” Aven terus mendesak.
“Begini, Sam. Mungkin orang ini bisa menolongmu,” kata Kun sambil menyerahkan sebuah nama yang ditulis di lembar kertas.
“Siapa lagi ini? Kamu jangan gila, Kun! Ini tempat asing, lo. Masak iya, aku harus menemukan orang ini dulu. Kamu gila!” seru Aven sedikit berteriak. Dua alisnya hampir saja bertemu. Kun tidak berekspresi.
“Terserah kamu. Aku tidak memaksamu. Semua kembali ke kamu. Tidur manis atau memecahkan misteri ini,” jawab Kun. Bahasa tegasnya mengintimidasi Aven. Detik itu juga, air muka Kun menggambarkan rasa puas yang sudah lama tersimpan. Aven hanya diam sambil memandangi nama di kertas itu.
“Aku titip kamar ini! Boleh dibuka. Tapi jangan sampai dibuat tidur. Kamu atau orang lain. Bahkan pacarmu, jangan!” katanya sambil bangkit dari duduknya. Kun hanya mengangguk kecil.
Aven berangkat mencari Bang Udin saat itu juga. Perjalanan memang panjang. Namun, main petak umpet dengan persepsi tidak akan pernah membuahkan hasil. Ia bertekad, langkah kakinya harus tetap tegak dan kuat. Ia berjanji, ia tidak akan kecewa. Apa pun hasilnya. Mencoba adalah jalan terbaik. Jalan orang-orang terberkati. Sejak dulu kala.
Misteri butuh lelaku[4], tidak hanya menguatkan jiwa, pemahaman mata dan reaksi rasa yang kemudian tercipta kenyataan. Sebab itu, Aven hanya berjalan dengan hasrat dan keyakinan. Berjalan dengan ribuan serbuk hitam yang biasa mereka sebut kopi. Tuhan bersama para penggila kopi, semboyan Aven menggema di palung hatinya. Begitu sejak dulu. Selalu.
Dalam perjalanan menuju tempat jauh; negeri antah-berantah, paling sulit dilakukan adalah memulai perjalanan itu. Benak dan pikiran hanya ada tanah yang begitu luas nan gersang. Tidak terlihat tanda-tanda keramaian, bahkan kehidupan. Sejauh mata memandang, semuanya hanya terlihat putih. Risiko yang paling mungkin ditemui nanti adalah serbuan kesepian panjang. Merayapi semua alur hidupnya. Seperti dulu. Saat semua merenggut kedua orang tuanya.
Aven merenung sejenak. Ia tidak akan tertawa lepas dalam waktu yang tak terprediksi. Semua serba buram; abu-abu. Seperti buramnya gambaran tempat yang menjadi tujuan perjalanannya.
Kun telah berhasil mengubah hidup Aven. Kun telah berhasil memancingnya masuk dalam lingkaran keabsurdan Bang Udin. Aven bisa saja kabur dari itu semua. Namun, waktu telah mendudukkannya di atas kursi bus yang akan mengantarkannya sampai ke Jombang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H