“Jangan membuatku terus bertanya!”
“Aku hanya bisa memberikan ini. Selanjutnya jiwa petualangmu yang harus bertanggung jawab!” jawab Kun. Ia merogoh saku celana. Mengeluarkan sobekan kertas bertuliskan kalimat bertinta hitam. Dengan cepat, kertas itu berpindah ke tangan Aven. Ada kelegaan luar biasa yang menjalari tubuhnya. Kun cengar-cengir. Lagi-lagi ia memperkosa kopinya.
“Bangsat kamu, Kun!” Aven mengumpat sekuat tenaga. Tapi Kun membalasnya dengan kerlingan mata merayu. Lidah Kun basah dengan kopi lagi. Bahagia. Ulala. Tralala-trilili.
***
Nama daerahnya, membuat Aven dehidrasi tingkat tinggi. Ia harus menemui Kun. Paradoks. Itu tidak seperti biasanya. Itu bukan tradisinya. Seperti ketika dulu. Dulu, dulu sekali. Kun sekarang bukan tujuan. Sekarang beda. Aven menjadi tujuan Kun.
Langkahnya cepat. Pintu kamar Kun tidak terkunci. Di dalamnya, Kun sedang meringkuk pasrah. Dadanya naik turun teratur. Ia pulas. Aven memutar badan. Acara mencekik leher Kun segera dibatalkan. Tetiba saja, Aven teringat Lumbung. Tidurnya mirip sekali dengan Kun. Aven dilanda kerinduan. Bagaimana lelaki itu? Anak yatim itu, Lumbung? Aven menghela napas panjang. Sudahlah. Semua sudah berlalu. Pasti akan ada takdir yang mengikat mereka lagi. Di langit-langit cangkir kopi. Bersama banyak tawa lagi.