disebutkan bahwa urutan wali nikah adalah sebagai berikut:
a) Ayah kandung.
b) Ayah dari ayah (Kakek).
c) Saudara laki-laki seayah dan seibu (saudara kandung)
d) Saudara laki-laki seayah.
e) Anak laki-laki dari saudara sekandung yang laki-laki.
f) Anak laki-laki dari saudara seayah.
g) Saudara laki-laki ayah (paman).
h) Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu).
Â
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga jika ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin kepada urutan yang setelahnya.
Â
      Pada akhir buku ini menjelaskan bagaimana KHI mengatur pasal demi Pasal yang dimulai pada Pasal 107-112 bab XV tentang perwalian dan pasal 19-23 KHI bagian ketiga tentang Wali Nikah. (Dedi Supriyadi. 2011.53)
 Â
Bab III Membahas tentang
Â
Kreteria baligh menurut Fuaha dalam penerapannya dalam Perundang-undangan di Indonesia dan dunia IslamÂ
Dalam bab ini Pengarang menjelaskan problematika perbikahan usia dini baik dalam pandangan Islam maupun dalam pandangan undang-undang dimana dalam bahasannya mengkaji bagaimana kreteria baligh yang sebenarnya 2 tolak ukur dalam islam ketika baigh yaitu Rasyidin dan shalihin maksudnya cerdas dan mampu material dan spritual hal ini juga dalam bab ini akan dipaparkan bagiamana maksud dari hadits tentang kriteria memilih pasangan.Â
Selain itu juga dalam bab ini akan dipaparkan juga bagaimana penerapan usia perkawinan dalam perundang-undangan di dunia Islam mulai dari Turki, Cyprus, Lebanon, Israel, Mesir, Sudan, Yordania, Syiria, Irak, Iran sampai Indoensia