Rina mendekat, meletakkan tangannya di bahu Dina. "Aku tahu ini berat, Din. Tapi kamu harus kuat. Ibumu pasti nggak mau lihat kamu terus begini."
Dina hanya mengangguk kecil. Tapi di dalam hatinya, ia merasa hancur.
---
Hari demi hari berlalu. Dina tetap menghabiskan waktu di rumah sakit, menjaga ibunya yang masih belum sadar. Dokter mengatakan ibunya mengalami koma akibat kelelahan fisik yang parah, dan masa pemulihan akan sangat bergantung pada kekuatan tubuhnya.
Setiap kali Dina melihat wajah ibunya yang diam tak bergerak, ia teringat pertengkaran terakhir mereka. Kata-kata kasarnya terus terngiang di kepala, seperti sebuah beban yang tak bisa ia lepaskan.
Sore itu, Dina sedang duduk di kursi dekat jendela rumah sakit, memandangi buku catatannya yang berisi cerita pendek. Ia sudah menuliskan cerpen yang akan diikutsertakan dalam lomba, tapi ia merasa tidak pantas melanjutkan.
"Din, kamu masih mau ikut lomba itu, kan?" tanya Rina, yang datang membawa makanan.
Dina menatap temannya dengan bingung. "Gimana aku bisa, Rin? Ibu kayak gini. Aku nggak mungkin ninggalin dia."
"Tapi, bukannya ini yang ibumu mau?" kata Rina, duduk di samping Dina. "Aku yakin, kalau ibumu sadar, dia pengen lihat kamu terus maju. Dia udah berjuang keras buat kamu bisa ikut lomba itu. Jangan sia-siakan, Din."
Dina menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. Kata-kata Rina masuk akal, tapi hatinya masih penuh dengan keraguan.
"Kalau kamu menang, Din, itu bakal jadi hadiah terbesar buat ibumu. Percaya deh," lanjut Rina.