"Selalu alasan yang sama," Dina menjawab sinis. Ia berdiri dan meninggalkan meja makan.
Ibunya hanya bisa menatap piring kosong di depannya. Di balik wajah tenangnya, ada luka yang dalam.
---
Hari-hari berlalu, dan hubungan Dina dengan ibunya semakin memburuk. Dina tidak lagi bicara banyak, dan ibunya pun tidak memaksa. Namun, di balik diamnya, ibunya terus bekerja keras. Ia menerima pekerjaan tambahan sebagai tukang cuci di rumah tetangga, meski tubuhnya sering terasa sakit.
Di sekolah, Rina mencoba memberi semangat pada Dina.
"Din, aku tahu kamu marah. Tapi kamu nggak boleh ngomong gitu terus ke ibumu. Dia pasti punya alasan," kata Rina.
"Alasan? Alasan apa, Rin? Selalu nggak ada uang, nggak ada waktu. Aku capek dengar itu," jawab Dina tajam.
"Tapi kamu sadar, kan, dia tetap berusaha buat kamu?"
Dina terdiam. Ada bagian dalam dirinya yang tahu Rina benar, tapi egonya terlalu besar untuk mengakuinya.
---
Satu malam, Dina terbangun karena suara batuk keras dari arah dapur. Ia keluar dari kamarnya dan melihat ibunya bersandar di dinding, terlihat lemas.