Dina duduk di meja belajarnya yang kecil, matanya terpaku pada sebuah buku catatan tua yang penuh dengan coretan. Udara pagi masih sejuk, tapi pikirannya terasa panas. Kertas-kertas bertumpuk di sebelahnya, berisi cerita-cerita pendek yang ia tulis diam-diam. Dina bermimpi menjadi penulis terkenal suatu hari nanti, tapi mimpinya terasa jauh, terlalu tinggi untuk diraih.
Di luar kamar, terdengar suara langkah-langkah cepat. Ibu Dina, yang setiap pagi sibuk menyiapkan dagangannya, tampak terburu-buru. Dina mendengar ibunya menggeser kursi di dapur, mungkin untuk mengecek sesuatu di rak atas. Tidak ada hari tanpa kesibukan bagi ibunya, tapi Dina merasa semua itu biasa saja---ia sudah terlalu terbiasa dengan pemandangan itu.
"Dina! Sarapan udah siap!" panggil ibunya dari dapur.
Dina tidak langsung menjawab. Ia menatap hasil tulisannya, mengernyit. Cerita itu belum selesai, tapi ia merasa tidak cukup waktu untuk menyempurnakannya. Suara panggilan ibunya terdengar lagi, kali ini lebih tegas. Dina menghela napas panjang dan menutup buku catatannya dengan kasar.
Di meja makan, ibunya menyajikan nasi goreng sederhana. Dina mengambil piring tanpa banyak bicara. Ibunya duduk di seberang, memperhatikan Dina dengan wajah lelah tapi tetap tenang.
"Kamu belakangan ini sering ngurung diri di kamar. Lagi sibuk apa?" tanya ibunya pelan.
Dina hanya mengangkat bahu. "Cuma belajar, Bu."
Ibunya mengangguk, walau raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tahu Dina menyembunyikan sesuatu. Tapi seperti biasa, ibunya memilih tidak memaksa. Dina kadang merasa lega dengan sikap itu, tapi di sisi lain, ia juga merasa jengkel. Kenapa ibunya tidak pernah benar-benar ingin tahu?
--
Setelah sarapan, Dina langsung bergegas ke sekolah. Di sana, ia bertemu dengan Rina, sahabatnya sejak kecil. Rina selalu tahu kapan Dina sedang tidak baik-baik saja.
"Dina, kamu kenapa? Mukanya kusut banget pagi ini," tanya Rina sambil melirik tas besar yang Dina bawa.