"Ngomong untuk apa? Jawabannya pasti sama," kata Dina akhirnya.
---
Sementara itu, di rumah, ibu Dina tidak pernah berhenti memikirkan apa yang diinginkan anaknya. Malam-malam panjang dihabiskannya menghitung uang dari hasil dagangannya. Jumlahnya belum cukup untuk biaya lomba Dina, apalagi untuk transportasi ke kota besar. Tapi ia tetap mencoba mencari cara, meski tubuhnya mulai sering terasa lemas.
Suatu malam, Dina pulang lebih lambat dari biasanya. Ia membuka pintu dan melihat ibunya tertidur di meja makan, dengan buku kecil terbuka di hadapannya. Dina mendekat dan melihat angka-angka yang ditulis di buku itu. Hatinya berdesir, tapi ia buru-buru mengabaikan perasaan itu.
"Selalu sibuk sendiri," gumamnya sambil berjalan ke kamar.
---
Keesokan harinya, saat sarapan, Dina mencoba mengangkat topik tentang lomba lagi.
"Bu, jadi gimana? Aku masih mau ikut lomba itu."
Ibunya terdiam sejenak. "Ibu masih berusaha, Dina. Sabar, ya."
"Sabar? Sampai kapan, Bu? Sampai aku nggak bisa ikut?" Dina meletakkan sendoknya dengan keras. "Bu, aku ini udah kerja keras buat nulis cerpen ini. Aku cuma minta ibu dukung aku sekali aja!"
"Bukan ibu nggak mau, Dina," jawab ibunya pelan. "Tapi kita harus lihat dulu keadaan. Uang kita pas-pasan."